Kamu Sampai Mana, Prima?

Kamu Sampai Mana, Prima?

Belakangan ini akibat aku sering di rumah disebabkan suatu hal, terjadi sesuatu hal dengan kepribadianku. Aku menyimpulkan aku sangunis-melankolis sekarang. Belakangan ini karena di rumah terus, aku cenderung mengeluarkan kemelankolisanku. Jadi suram-suram bagaimana begitu.

Aku jadi sering menyalahkan diriku sendiri. Jangan bilang ini tidak boleh. Karena ini dicontohkan juga oleh para tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam beberapa literatur yang aku baca. Menurutkau pribadi, ini juga lebih baik dibandingkan aku memarahi orang-orang sekitarku. Sama sekali tidak elegan. Aku pernah mendapati diriku demikian. Sewaktu berusia belasan.

Aku merasa tertinggal jauh. Orang-orang sampai mana, aku masih sampai mana. Alhasil, aku tertinggal jauh sekali. Mungkin aku bisa menyalahkan keadaan. Momentum yang tidak ada, keadaan yang tidak memungkinkan. Begini dan begitu. Akan tetapi, ketika melakukan itu, tidak ada yang terjadi, bukan? Itu menyalahkan takdir Allah, bung! Sementara aku ingin menjauh sejauh-jauhnya. Apalagi mempercayai takdir dengan sepenuh hati itu susah. Aku tidak mungkin ingin menghancurkannya dalam sekejap.

Aku ingin ke luar negeri? Iya, dulu. Sekarang sejak tahu harus menggunakan mahram, aku mundur. Aku ingin bekerja? Ya, dan sampai sekarang. Tapi aku berhenti karena banyak ke luar rumah. Banyak bisikan di telingaku bahwa aku bodoh. Aku begini, dan aku begitu. Aku mencari jawaban syubhat yang lewat tersebut. Banyak. Akan tetapi, buatku pribadi tidak cukup kuat. Hingga suatu hari aku memutar kajian yang telah aku unduh di laptopku. Di dalam kajian itu, ada yang bertanya kenapa para orang yang mengikuti Salaf susah bergaul. Bergaul yang seolah-olah di hadapan orang lain cuma hal yang ringan. Ustadz Badrusallam (maaf, aku tidak ingat nama lengkapnya) menyatakan demikian,

“… Kenapa begini dan begitu. Orang bertanya, “Apa susahnya?”
(diam sejenak) Kita jawab, ya, akhi. Karena itu berat buat hati kita. Karena berat buat hati kita untuk mengkhianati syariat dari Allah dan rasulNya. Karena berat buat diri kita melakukan amal-amal yang tidak dilandasi ilmu…”

Aku terhenyak mendengarnya. Itu benar. Aku telah tahu bahwa ke luar negeri untuk perempuan tanpa mahram itu tidak boleh. Pun dalam fatwa Syaikh Utsaimin yang dibacakan oleh kawanku yang memiliki bukunya dinyatakan. Dinyatakan bahwa mengelabui—jika ini diksi yang tepat—syariat semisal pergi dengan pesawat, atau diantarkan mahram lalu ditinggal itu tidak diperkenankan. Aku juga telah tahu bahwa perempuan itu fitnah kalau keluar rumah. Perempuan itu di rumah, mengurus rumah tangga. Meskipun boleh bekerja. Akan tetapi, sunnah-nya adalah di rumah. Jadi, aku sangat acuh dengan kata-kata orang yang menyatakan bahwa perempuan harus keluar kalau tidak siapa yang berdakwah ke luar, siapa yang duduk di parleman, dan lain-lain. Pertanyaan besarku adalah: “Jadi syariat Allah dikemanakan?” Pun jika begitu, betapa banyak ahli fikih untuk perempuan yang notabenenya adalah laki-laki. Pun kita banyak yang merujuk ke sana. Kefaqihan itu lebih penting ketimbang dipegang oleh gender yang sama. Ayolah.

Ketika itu sudah berhenti, aku memfokuskan diri mencari apa yang memang disyariatkan. Jujur, nafsuku amat tidak suka.  Allah membantuku dengan banyak hal. Aku bersyukur kepadaNya.

Aku mendapati kisah dari kawanku yang jago literasi media mengenai laki-laki Korea yang dalam dua tahun telah menguasai Bahasa Arab dan pergi ke Madinah. I am feeling useless, ow, man! Aku pribadi belajar Bahasa Arab mengulang terus-terusan. Memang aku akui, belajar bahasa asing adalah salah satu kelemahanku selain angka dan sejarah. Belajar fi’il balik lagi. Sudah ada kali setengah tahunan balik ke sini-sini lagi. Menyedihkan. Padahal yang lain entah sudah sampai mana.

Aku sudah memeriksa diriku. IQ-ku 117. Hanya sedikit di atas rata-rata. EQ-ku 120. Flawless. Sangat di atas rata-rata. Jadilah aku berpikir bahwa aku sudah tahu bahwa aku lemah soal logika. Sementara soal sikap, aku tidak buruk-buruk amatlah. Kenapa tidak aku bekerja lebih keras? Aku selama ini menyatakan bahwa ada momentum memang penting. Tapi juga berproses sambil menunggu momentum juga tidak kalah penting. Kemudian, aku melakukan apa saat menunggu momentum datang? Kamu ngapain, Prima?

Ibarat kata, sudah tahu akan ada ujian besar, ingin dapat nilai 9. Akan tetapi belajarnya H-1. Bisa sih, kalau Allah mengizinkan. Tapi alangkah hilangnya pahala usaha itu?

Lihatlah. Sebenarnya, aku sudah tahu. Akan tetapi, demikian. Layaknya pernyataan Ibnu Jauzi Al-Baghdadi bahwa yang namanya nasihat itu ibarat cambuk. Setelah cambuk itu selesai, terkadang tidak menyisakan. Sebab yang dicambuk tidak mau mengingat cambukan itu terus-menerus. Mungkin aku sedang membentengi diri. Harusnya tidak boleh. Ayolah, Prima. Ayo!

I will force myself harder than ever, insya Allah!


Bandarlampung, 10-5-2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA