Perihal Jatuh Cinta #1



Aku tak pernah mengingat engkau kecuali satu kali. Di gerbang kota itu. Engkau memasang wajah muram yang kukenali sebagai kesedihan. Wajah itulah yang menyihirku. Aku terpana dan tak sempat menanyakan namamu, alamatmu, atau nomor teleponmu. Engkau menyampirkan rambut bagian depanmu ke telinga. Bagiku itu adalah pesona.

Ini adalah hari ketiga-puluh-satu bulan ini. Sudah akhir bulan dan engkau tak juga hengkang dari kepalaku. Tanpa sadar, aku kembali ke gerbang kota tempat aku dan kamu bertemu pertama kali. Setiap hari. Berharap kamu menaiki bus yang sama. Membawamu entah ke mana. Akan tetapi, kali ini aku akan ikut.

Pada tanggal 1 bulan baru, aku menjumpaimu di gerbang kota. Mengenakan kemeja wanita merah hati dengan jins warna biru tua. Oh, engkau cantik sekali. Engkau memasuki bus dengan muram yang sama; dengan ketenangan yang sama. Lalu, aku seperti orang gila. Belingsatan menuju ke arahmu tak peduli makian-makian yang sedang dilontarkan sayup-sayup kepadaku.

“Ah…”

“Dasar tak punya sopan santun.”

“Hei, antri anak muda!”

Saat naik bus, aku menyaksikan si supir bus dimarahi oleh kondekturnya. “Aduh, anak muda! Melow kalilah kauitu pasang lagu, hah! Laki macam aku dengar lagu begitu? Bah! Bisa jadi omongan anak istriku nanti.” Demikian oceh si kondektur. Si supir bus menerawang.

Lama tak dijawab, kesalah si kondektur itu. “Hei, kau! Tak sopanlah kau sama orang tua. Ditanya tak menjawab. Bah! Dangdut coy! Dangdut!”

Si supir masih bergeming. Akhirnya, si kondektur memukul si supir dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya. “Huh! Orang tua tak kaujawab. Ada apa pula dengan anak satu ini? Entah kauini jatuh cinta apa patah hati. Awas kau nabrak. Besok aku ngenek di tempat lain saja!”

Beberapa penumpang terdekat supir dan kondektur yang mendengar itu tampak kaget dan sedikit pucat pasi. Tapi, bus langsung melaju. Benar-benar tidak pengertian.

Aku tetap bersegera. Aku melihat bangku di samping perempuan muram itu masih kosong. Syukurlah. Aku duduk di sampingnya. Dia membelingsut menjauh dariku. Ada yang salah dengan diriku? Aku mencium ketiak bajuku dan penampilanku sekalian. Wangi. Parfum rekomendasi iklan televisi yang menggambarkan kemampuan memikat wanita ini begitu sempurna. Bajuku pun sempurna. Eh, tapi kenapa dia menjauh dariku?

Aku melihat ke arahnya lagi. Ternyata, dia menyandarkan sebagian kepalanya ke samping jendela bus. Sial! Dia semakin cantik saja.

“Hai…” Suaraku seperti burung pipit kejepit. Memalukan! Apa ini pantas untuk menyapa seorang wanita?

Perempuan di sampingku geming. Hanya sekali terdengar desahan nafasnya yang berat.

Aku merasa diam-diam dia bicara kepada angin. Apa itu mungkin? Tapi perasaan apa ini? Aku seperti obat nyamuk di sini.

Perjalanan memasuki waktu satu jam menurut perhitungan jam tanganku. Aku pun mulai bosan.

Dia… (dia…) Pencuri hatiku.
Akankah dia mengenalku?
Dia… (dia…) Pencuri hatiku.
Akankah dia mengenalku?
Sadarkah dirinya?
(aaa…aaa…aaa…aaa)
Akankah dia mengenalku?

Suara lagu sendu dialunkan lagi dari alat elektronik di samping supir itu setelah satu jam dihentikan. Mungkin, pada awalnya, si supir berusaha mematuhi si kondektur. Akan tetapi, kegalauan hatinya mengembalikan keberaniannya menyetel lagu melow di bus itu. Tapi, keberanianku di sini ciut melihat perempuan muram itu seperti mematung tak henti menatap jalanan dan sawah yang silih berganti. Patung yang cantik.

Si kondektur melotot melihat punggung si supir. Lalu, kembali menagih uang perjalanan ke penumpang dengan raut muka dan suara yang lebih kasar.

Aku hendak mengabarkan kawanku bahwa hari ini aku akan membolos kuliah sebelum mengetahui handphone-ku menghilang entah di mana. Bisa begitu? Handphone hilang. Tapi dompet tidak.

“Ada apa?” Sebuah suara merdu terdengar di telingaku. Kekisruhanku rupanya telah menyadarkan dia dari lamunan panjangnya.

Aku terkesima beberapa detik sebelum menjawab, “Anu… Handphone saya hilang. Saya harus mengabari kawan tentang sesuatu.”

“Oh…”

“Bisakah saya meminjam handphone Anda? Eh, siapa?” Sedikit modus. Tapi aku berharap dia terpancing dengan menyebutkan namanya sebelum dia menjawab cepat…

“Maaf. Saya membawa handphone. Tapi saya sedang butuh ketenangan sejenak. Handphone saya, saya matikan.”

Lalu, dia tersenyum seadanya. Gigi taringnya ginsul! Dan senyum itu… Membuatnya tampak seperti bidadari di mataku. Pikiranku berkecamuk. Ada peperangan argumentasi masalah siapa yang lebih cantik? Wajah muram atau wajah cemerlang perempuan ini.

Aku diam seribu bahasa setelahnya. Pikiranku masih berkecamuk dan tak reda juga. Tanpa kusadari semua penumpang telah turun. Tinggal dia dan aku saja. Tiba-tiba, dia berdiri dan beranjak. Aku kikuk mengikuti langkahnya. Aku bagaikan tersihir. Bagaikan ada benang yang mengikat diriku padanya.

Kami pun turun. Bus melaju. Kemudian, aku bingung ini di mana. Tak ada siapa-siapa. Tempat padang yang tenang. Dia jalan saja tanpa mengindahkanku. Aku mengikutinya dengan segera.
Tiba-tiba, dia berbalik. “Apa yang Anda lakukan?” Suara formalnya yang tenang dan tegas menjalari diriku. Perasaanku carut-marut. Sementara jantungku berdegup kencang.

Aku kehabisan ide.

“Kalau memang Anda butuh handphone untuk menghubungi teman Anda, sedari tadi Anda punya banyak kesempatan untuk meminjam handphone orang lain. Anda tidak sedang mengejar saya, kan?”
Kata-katanya tegas dan berarti. Aku sudah berkali-kali memutuskan, mendekati, dan menghadapi perempuan. Tapi baru kali ini: aku merasa menyerah. Mana tubuh perempuan menarik ini dengan lantang menghadapku geming. Benar-benar menantang. Aku harus mendapatkannya! Tapi pertama-tama, aku harus selamat dari kata-katanya.

Bandarlampung, 26-8-2016
Prima Helaubudi
#cerbung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA