Filosofi Sebuah Sungai
“Kiyora,
berasal dari bahasa Jepang yang berarti kejernihan dan ketenangan.*”
“Apa
yang kaupikirkan?” tanya nenek tua itu kepadaku. Kepadaku, remaja tanggung
berusia 19 tahun dengan baju berwarna merah muda dan jilbab hitam segi empat.
“Kata-katanya.”
“Apa
kata-katanya berarti sesuatu bagimu?”
Aku
memutarkan bola mata sembari berpikir. Perlukah nenek tua ini kubagikan pikiran
melankolis? Ah, sudahlah. Toh, dia hanyalah seseorang yang asing bagiku. “Aku
ingin mempunyai anak dan kunamai Kiyora.”
“Hahaha.”
Nenek itu tertawa.
“Shht…!
Kenapa kautertawa? Kaumembuat tatapan mata orang tertuju pada kita. Apalagi kaumengenakan
baju hitam.”
“Seorang
anak kecil sepertimu?”
“Apakah
berdosa menginginkan sesuatu?”
“Tidak,
tidak. Hanya lucu saja seumuranmu.”
“Ada
apa dengan umurku?” Aku melejitkan pernyataan tajam kepada nenek tua itu
sembari menyipitkan mata. Aku mengatur posisi badanku 40 derajat ke kanan,
tempat nenek itu duduk menatapku. Jujur, aku punya masalah ketersinggungan jika
urusannya adalah umur. Bagiku, umur muda bukan berarti harus menjadi yang
terbelakang.
“Seumuranmu,
biasanya hanya berpikir sekolah dan bermain.”
“Itu
juga betul.”
“Lalu?”
“Tidak
apa-apa. Hanya saja untukku bertambah masalah menikah dan memiliki anak.”
Setelah
deklarasi setengah tegas dariku, kami hening. Nenek tua itu menatap tajam jalan
yang sudah menjadi hitam. Diikuti hitamnya pohon, rumah, dan segala-gala yang
tak diterangi lampu—dan makhluk langit bulan dan bintang, tentu saja.
Kami
berada di pelataran sebuah supermarket mini sambil meminum dari satu gelas yang
sama. Entah darimana nenek tua ini berasal. Aku hanya tahu tiba-tiba dia duduk
begitu saja di hadapanku. Terangnya lampu tak juga membuatku awas terhadap
nenek tua ini.
“Kejernihan
dan ketenangan.”
“Apa,
Nak?”
Aku
mengulangi, “Kejernihan dan ketenangan.”
“Aku
ini tidak tuli. Tak perlu kauulang dua kali pernyataanmu barusan itu. Ada apa? Ini
bukan masalah penamaan anak bodoh itu saja, kan? Ada hal lain yang kaupikirkan.”
Aku
menyipitkan mata. Berani sekali anakku di masa depan dilabeli bodoh. Tapi, ah,
sudahlah. Aku sedang tidak ingin marah hari ini. “Aku suka kejernihan dan
ketenangan. Sesuatu yang damai. Kedamaian takkan dimengerti oleh mereka yang
bersimbah ambisi.”
“Kaubenar.
Bertahun aku mengejar ambisi. Dan lihatlah aku…”
Dia
memutus kata-katanya sembari mengangkat bahu.
“Aku
tidak jadi apa-apa.”
“Nek,
apakah menurutmu manusia itu bisa jernih dan tenang.”
“Tergantung
isi hati mereka.”
“Loh,
bukan isi kepala?”
“Isi
kepala manusia, baik-bodohnya, itu bisa disesuaikan dan diatur. Akan tetapi,
hati. Itu perkara lain. jeleknya hati akan menyebabkan kehancuran.”
Aku
diam dan memutuskan mendengarkan lebih lanjut. Sepertinya ini akan bersambung.
“Kamu
punya imajinasi yang bagus, kan anak muda? Coba bayangkan sungai.”
“Tentu
saja. Aku masih muda.” Aku menutup mata dan membayangkan sungai. “Sekarang aku
membayangkannya.”
Nenek
tua itu terkekeh dengan tingkahku yang pakai menutup mata segala. “Perhatikan
aliran air. Apa yang terjadi saat aliran air itu tenang?”
“Dia
bersih. Batu-batuannya terlihat.” Aku menelengkan kepala, “Ya, tentu saja
dengan hipotesis sungai itu bersih.”
“Lalu,
bagaimana dengan aliran air yang tidak tenang?” Nenek tua itu melanjutkan
tanyanya.
“Air
yang tidak tenang akan membuat tanah, lumpur, dan pasir naik ke permukaan. Tergantung
sebanyak apa riak yang dihamburkan.”
“Bisa
kaubayangkan sesuatu mengenai hal ini?”
“Aku
pernah membaca bahwa riak air sungai dapat digambarkan sebagai kemampuan
berpikir seseorang. Semakin dalam sungai, maka akan semakin tenang permukaannya.
Sementara semakin dangkal sungai, maka akan semakin berisik permukaannya.”
“Itu
benar. Tapi ada filosofi lain yang menurut nenek pas, Nak.”
“Apa
itu?”
“Aliran
air sungai diibaratkan jalan kehidupan manusia. Manusia memiliki dua cara
menghadapi kehidupan dan manusia di sekitarnya. Satu, dengan heboh. Dua, dengan
tenang. Air yang tenang akan membuat jernih, bukan? Itulah yang dimaksud tidak
heboh dalam menghadapi kehidupan. Setiap masalah yang datang dihadapi dengan
tenang. Semua masalah yang datang akan terlihat jernih. Demikian juga dengan
menghadapi manusia. Semakin kita tenang dengan konfrontasi, kesalahan, dan
hal-hal yang mengesalkan tentang mereka, menurut kita, akan semakin tenang
hidup kita.”
“Jadi,
berlaku juga sebaliknya? Setiap masalah yang datang dihadapi dengan heboh akan
semakin keruh dan sulit dipecahkan. Demikian juga dengan menghadapi manusia. Semakin
kita heboh dengan konfrontasi, kesalahan, dan hal-hal yang mengesalkan tentang
mereka, menurut kita, kita tidak akan selamat dari hidup berdampingan dengan
mereka?” Aku melengkapi filosofi nenek tua ini.
“Kamu
cerdas, Nak.”
Entah
mengapa pujian nenek tua itu membuatku sedikit melayang.
“Nenek
masih merasa haus, Nak. Bisa minta teh susu strawberry-mu?”
“Boleh.”
Aku menyetujui ringan. Tapi saat hendak kuberikan, barulah aku sadari bahwa teh
kemasan itu telah habis. “Maaf, Nek. Ternyata sudah habis.”
“Tidak
mengapa. Nenek juga sudah mau pulang. Nanti biar buat saja di rumah.” Nenek itu
bangun susah payah dari tempat duduknya. Badannya yang bungkuk membelakangiku.
Nenek
itu tersenyum kepadaku. Akan tetapi, aku merasa tidak enak kepadanya. Aku menunduk
mengambil dompet di dalam tas seraya berkata, “Nek, aku traktir satu buah teh
kemasan lagi saja. Mari kita berbincang-bincang lagi menghabiskan malam.”
Tapi saat membalikkan badan, dia sudah tak ada. Meninggalkanku sendiri di hadapan kaca supermarket kecil itu. Aku melihat seorang perempuan berusia 19 tahun dengan pakaian hitam nenek tua tadi. Bermimpikah aku? Tapi semua terasa begitu nyata. Delusi? Bisa jadi. Bisa jadi mereka adalah diriku. Masa lalu dan masa depanku yang berdiskusi di dalam kepalaku.
Bandarlampung,
26 Agustus 2016
Prima
Helaubudi
*Tulisan
berupa di teh kemasan “Kiyora”.
Komentar
Posting Komentar