Pendidikan dan Esensi yang Terlupakan

Pendidikan bukan persiapan untuk hidup
Pendidikan adalah hidup itu sendiri
-John Dewey-

Dulu, ketika saya masih berusia 10 tahun dan baru belajar tentang apa itu kritik dan saran dari orang lain yang dengan keegoisan seorang anak kecil untuk mementahkan semuanya, saya merasa malu sekali dimasukkan kedalam sekolahan swasta di lingkungan dekat rumah saya. Kebetulan sekali, ada sebuah tradisi unik untuk menyilang tempat duduk para murid di mana satu bangkunya diduduki oleh perempuan dan laki-laki (berpasangan). Awalnya sebagai anak kecil yang notabenenya hanya mengerti tentang bermain dan belajar dengan pikiran yang murni, saya kurang mengerti di kala para orang tua murid mendiskusikan sekolahan negeri dan swasta dengan air muka yang mencibir. Apa itu sekolah negeri? Apa itu sekolah swasta? Kenapa dipermasalahkan kalau depannya sama-sama diawali oleh kata sekolah? Maklum saja, saat mata pelajaran Bahasa Indonesia yang dituliskan oleh guru-guruku selalu: Budi berangkat ke sekolah. Tidak pernah guruku menulis: Budi berangkat ke sekolah negeri. Atau: Budi berangkat ke sekolah swasta.



Jujur, aku malu sekali saat bertemu dengan orang tua murid di jalan yang selalu memandangiku aneh saat memakai seragam bermodelkan dress. Sementara anak-anak mereka selalu baju merah putih, olahraga, atau pramuka yang disesuaikan hari. Mereka bernada mengejek mengiyakan saat tahu aku dari sekolah swasta. Saat menapak bangku SMP, orang tua saya mengalami krisis finansial karena memang sedang krisis moneter saat itu sehingga memutuskan memasukkan saya ke sekolah negeri yang lebih murah, katanya. Namun, terkaget-kaget. Itu yang kudapat saat tahu seperti apa sekolah negeri. Sekolah Menegah Pertama (SMP) Negeri yang aku masuki memang tergolong salah satu yang berkualitas bagus dari jumlah 36 sekolah negeri di kota Bandar Lampung. Benar. Total Sekolah Menengah Pertama Negeri di kota Bandar Lampung tempatku bernaung adalah 36 sekolah. Dengan rincian total sekolahan jenjang tersebut secara keseluruhan adalah 142 sekolah. Dengan demikian, jelaslah bahwa 106 sisanya adalah sekolah swasta.

Berdasarkan fakta pula yang dilampirkan di Data Pokok Pendidikan Wilayah Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Bandar Lampung Periode 2010 / 2011 bahwa total Sekolah Menengah Atas adalah 69 sekolah dengan rincian 19 sekolah negeri dan 50 sekolah adalah sekolah swasta. Saya pun didampuk masuk kedalam salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri selepas menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama yang tergolong bergengsi, katanya.

Memang, pada awal saya masuk kedalam lingkungan sekolah negeri, saya sangat tercengang dengan biaya SPP yang berbeda nyaris 100 persen dengan sekolah swasta yang dahulu saya tempati. Namun, lambat laun, sayapun mengerti bahwa ternyata sekolah swasta yang sebelumnya saya masuki adalah salah satu sekolah swasta terbaik di kota. Maka, wajarlah biaya SPP yang melambung menjadi bukti konkrit kualitas yang berbanding terbalik dengan kuantitas.

Seiring perkembangan jaman, anak murid dituntut untuk menguasai Bahasa Inggris sebagai bekal menghadapi persaingan global yang semakin mendekat di pelupuk mata. Dan pemerintah kita pun merespon fenomena ini dengan membuka kelas akselerasi dan kelas internasional di beberapa sekolah sesuai jenjang. Sekolah-sekolah yang disuntikkan kelas tersebut adalah sekolah yang notabenenya adalah sekolah berprestasi dan tentu saja negeri. Dan akibat dari hal tersebut, tiba-tiba biaya SPP yang dahulu dianggap mumpuni oleh keluarga semakin menjulang bak bangunan pencakar langit. Akibatnya, aku harus mulai menabung sedikit demi sedikit guna membayar beberapa perangkat sekolah seperti LKS, buku-buku cetak sebagai peringan orang tua.

Di sisi lain, prasarana dan sarana yang didampuk untuk meningkatkan pemahaman dan kinerja karyawan berupa ruangan ber-AC dan alat-alat digital masih sulit dipenuhi. Kendala-kendala muncul mulai dari anggunan listrik yang tak berberes hingga kurangnya biaya yang dikucurkan pemerintah untuk menyuntikkan berbagai software pendidikan dewasa ini. Hal ini sungguh membuatku miris di kala orang-orang mencaci-maki apa itu sekolah swasta, namun faktanya sekolah negeripun tidaklah jauh lebih baik. Bagaimana tidak? AC, prasarana dan sarana yang disebutkan tadi telah saya nikmati dengan kualitas yang saya anggap cukup di sekolah swasta yang saya masuki pada awal jenjang pendidikan.

Buku-buku yang disiapkan pula sesungguhnya sama saja. Hanya perbedaannya, pada sekolah swasta antrian buku lebih terorganisasi dibandingkan dengan negeri. Terkadang saya sedikit menaruh kasihan pada diri sendiri setiap ada buku-buku yang sengaja dipersuasifkan oleh guru. Dan tidak hanya satu. Tapi sangat banyak yang dipersuasifkan yang jatuhnya sama saja harganya baik terorganisasi maupun tidak.

Sementara itu, mari bermain dengan kedisiplinan. Dari segi kedisiplinan, sekolah negeri sangat jauh tertinggal dengan sekolah swasta terutama dengan sekolah swasta yang memiliki tingkat kredibilitas dan kapabilitas yang sama akreditasinya dengan negeri. Di sekolah swasta apabila ditetapkan pada peraturan tata tertib pukul 07.00 WIB adalah waktu masuk, maka itulah waktunya. Satu detik saja terlambat, Anda jarang bisa masuk kecuali dengan beberapa trik khusus. Berbeda halnya dengan negeri. Sekolahan negeri terkenal dengan lebih longgarnya waktu masuk. Seperti yang diketahui bahwa sekolahan negeri kini kebanyakan di kota saya tinggal masuk pukul 07.15 WIB yang berarti lima belas menit lebih lambat daripada sekolahan negeri. Namun, ketika sang murid terlambat, sanksi yang seharusnya diberikan lebih sering terjadi pengabaian disamping ada juga trik khusus yang bahkan lebih ramai ditemukan disini, di sekolah milik pemerintah.

Hanya saja, masih banyak orang tua yang memasukkan anaknya ke sekolahan negeri dengan berbagai cara. Dan kini dapat kita temui dimana-mana sekolahan negeri bergengsi yang penuh dengan asap knalpot yang kini bermetamorfosis menjadi rentengan mobil-mobil varian merek dan jenis. Ironisnya, pengecapan kognitif yang kini kian ditekankan dalam keseharian pendidikan kita, membuang hal pokok disamping hal itu. Lihatlah saja ekstrakulikuler yang mendorong perkembangan EQ generasi penerus semakin tergerus dengan waktu peningkatan kognitif yang tak kunjung memudar. Berbicara tentang SQ, legitimasi agama pun kerap kali hanya bagaikan angin lalu. Hanya sejerjak tempelan pada kurikulum dan ekstrakulikuler yang tak kunjung mendapat sambutan hangat dan gerakan nyata dari berbagai fasilitator pendidikan.

Kini, komersialisasi pendidikan telah merajalela di negara kita tercinta ini. Mahalnya biaya pendidikan berbanding lurus dengan kualitas pendidikan yang diberikan oleh instansi ini. Negara terkeciap dengan bombardir teknologi. Di aliran darah muda-mudi harapan bangsa ini tersesap konsumerisme, termasuk pendidikan berkaitan dengan komersialisasi. Murid-murid kian asik dengan teknologinya hingga melupakan esensi daripada belajar. Benak mereka dicambukkan dengan keras tentang perkara nilai dan prestise orang tua. Gengsi kalau tidak di sekolah negeri.

Lebih jauh, kembali pada sebuah kata yang kuat di awal pembicaraan yaitu egois. Telah terjadi pencapan (labeling) dalam masyarakat kita tentang sekolah negeri dan swasta. Masyarakat egois menganggap sekolah negeri adalah lebih baik dengan dibuktikan oleh prasyarat masuk di mana nilai harus mumpuni dan prestise yang pasti meningkat. Sementara itu, mereka yang masuk kedalam sekolah swasta sebagus apapun dianggap tidak cerdas dan hanya kaya kantong saja. Masyarakat lupa tentang esensi sebuah pendidikan di mana pendidikan mengubah seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Bukanlah masalah yang berarti apakah itu negeri atau tidak. Apakah nilai akhir bagus atau tidak. Tapi, lihat proses pembelajarannya. Tidak sedikit mereka yang masuk ke sekolahan swasta memenangkan kejuaraan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) mengalahkan sekolah negeri. Lalu, apakah sekolah negeri tetap dianggap yang terbaik?
Arah yang diberikan pendidikan
Untuk mengawali hidup seseorang akan menentukan masa depannya
-Plato-

Sumber : Tulisanku sendiri di http://blog.intisari-online.com/2011/05/pendidikan-dan-esensi-yang-terlupakan/
Tanggal  by Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA