Inkonsistensi

Hari ini 13 September 2012 aku merasa sangat berlemah-lemah hati. Aku diwajibkan tsiqah pada hal yang kurang aku senangi. Aku menangis di hadapan umum. Banyak hal yang membuatku menangis saat itu, hingga saat aku mulai membuat postingan ini aku pun harus terbangun dalam keadaan yang menangis.

Bagaimana mungkin seorang aku merasa orang yang benar? Sementara seorang yang lulus dari ujian riya' dan ujub haruslah merasa bahwa dirinya adalah orang terburuk dari semua makhluk yang ada. Sementara para shalafush shalih dengan mudahnya menangis karena melihat ombak yang bagaikan sebuah dekapan kematian dalam hari-harinya?

Aku setengah berlari menuju suatu tempat yang tadinya aku pikir sudah tidak ada orang di sana. Namun ternyata aku salah dan seorang adik tingkat melihatku menangis. Dia menegurku dengan teguran halus dan penuh getar.

"Mbak, jangan menangis... Sungguh, di luar sana banyak orang yang memiliki masalah lebih dari kita namun mereka tidak menangis."

"Dik, menangis karena merasa berdosa adalah suatu hal yang disyariatkan Allah pada hamba-Nya."

"Tapi, Mbak, jangan sampai kawan-kawanmu melihatmu seperti ini. Di hadapan mereka mbak adalah orang yang sangat kuat. Jangan biarkan mereka melihat air matamu."

Lalu, sepintas... Karena aku bukanlah orang yang dapat diganggu saat hatiku sedang muram, ingin sekali aku hamburkan kata-kata dari shirah bahwa betapa banyak tokoh-tokoh muslim yang menangis karena hal-hal yang lebih remeh-temeh daripada aku dan bahwa sesungguhnya aku adalah orang yang paling keras hatinya.

Tapi sungguh, aku tidak ingin membuat orang yang menasihatiku ini kecewa. Belum paham, ujarku dalam hati.

Aku berpikir...
Dulu ketika awal berhijrah mengenakan hijab ada orang-orang yang mengataiku 'monyet', 'singa' sebagai analogi bahwa neraka akan sangat senang menerima kehadiranku karena tidak mengenakan hijab. Belum ditambah kritik-kritik pedas yang cukup menyakitkan dari beberapa orang yang sekarang masih aku temui di kampus yang tatkala itu menganggapku bukan apa-apa dalam dakwah. Rasanya sakit sekali hingga akhirnya datang suatu masa aku dapat bersikap biasa saja karena imun.

Sungguh, aku malu dengan diriku yang saat itu. Dia masih tidak berhijab namun tangguh menerima hujatan karena yakin itu benar. Aku sekarang? Baru begini saja ciut? Ke mana nyalimu? Sudah hilangkah?

Aku mencerna lagi kata-kata menyakitkan yang diberikan padaku sedari tadi. Sesungguhnya itu benar. Namun, cara penyampaian yang langsung menusuk hati itu sedang pas sekali dengan keadaanku yang sedang rapuh. Namun aku bersyukur pula tak henti aku tidak berjahat-jahat dengan orang tersebut.

Aku mengangkat kepala dan kusaksikan saudariku juga ikut menangis di sampingku karena melihatku menangis. Duh ya Rabbi... Rasanya bersalah sekali. Rasanya kok ya dosa itu jadi bergunung dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Alhasil, aku berusaha tegar agar tangisannya berhenti. Aku tidak tega walaupun sesungguhnya diriku tidak sepaham dengannya.

Dengan refleks, kupeluk dirinya, dan dia pun memelukku. Aku tidak sepantasnya marah padanya karena diriku sendiri. Dia tidak bersalah. Dan rasanya sepertinya Allah menguji perubahanku saat itu. Maka dalam hati aku beristighfar.

Aku masuk kembali ke mushala, terdiam. Dan seorang saudari seiman mengajakku pulang karena sudah teramat sore. Namun, hatiku belum tenang. Aku masih menangis walaupun tidak sehisteria sebelumnya.

"Ya Allah... Tsiqah, Prim! Tsiqah!!!"

Aku paksakan diriku dan melihat substansinya saja bukan dari cara penyampaian orang tersebut.

"Belajar Prim melihat substansi! Bukan siapa yang mengatakannya!!!"

Aku keras pada diriku. Sepintas setan membayangi di hatiku. "Itu hakmu untuk marah! Itu hakmu!!!"

Aku pun tergoda untuk menamainya 'hak'. Tapi kemudian aku mengingat sebuah cerita lelaki dengan gunung hitam yang ternyata adalah kemarahan. Bahwa kemarahan akan berbuah manis bagis siapa yang menahannya.

Aku juga sadari, orang yang membuatku sakit hati ini bukanlah sosok Abu Bakar yang sampai ketika Umar bin Khattab datang keheranan melihatnya menarik lidahnya sendiri dengan kedua tangannya dan berkata, "Lidah ini yang akan memasukkanku ke neraka!" Dan... Aku juga bukan Ali bin Abi Thalib yang bisa sabar setelah diludahi karena takut kemarahannya bukan atas nama Allah.

Memang hina. Belum sampai ke tahap itu. Dan menyadari itu, aku merasa semakin menaruh hormat pada generasi terbaik umat ini.

Aku melihat ketidakkonsistenan dari beliau yang tadi membuatku sakit hati. Kata-katanya yang paradoks, sikapnya yang paradoks dengan kenyataan, ketidakamanahannya, akhlaknya yang kurang, dan lainnya. Dan nafsuku berkata, "Ya, benar... Dia juga salah."

Sesungguhnya, mudah bagiku saat itu membuka aibnya karena hal tersebut. Tapi kukoreksi lagi diriku dengan sebuah ayat Al-Quran yang aku sukai dari surat Thahaa ayat 111-112 bahwa orang-orang beriman itu tidak takut hak-haknya dikurangi. Jadi? Bukankah lebih baik aku abaikan hak-hakku itu?

Lagipula.. Aku ini sebagus apa sih? Apakah aku sendiri sudah konsisten? Apakah aku sendiri sudah baik? Aku rasa tidak. Dan daripada berbanyak bantahan tentang orang itu, bukankah lebih baik kuperbaiki diriku dulu?

Lalu, aku teringat bahwa inilah kesempatanku berdoa dan kudoakan yang baik. Sungguh, banyak suara dalam hati ini yang menginginkan hal buruk kudoakan padanya. Dan itu sangat menarik. Tapi kemudian, mengingat malaikat akan mengaminkannya untukku juga, aku urungkan.

"Jangan kototi hati untuk hal-hal yang tidak penting!!!"

Begitulah tegasku dalam hati dan aku merasakan kebencian itu sirna. Buat apa berpayah-payah coba?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA