Kata Hati


Aku bangun pagi ini dengan perasaan yang teramat buruk. Saking buruknya, hampir saja aku ingin memaki pintu, jendela, bahkan udara yang teramat pelan berhembus.

“Bodoh,” ucapku kalem dalam ruangan kosong, kamarku.

Aku lihat lagi tugas kuliahku. Ah, nanti dulu. Lambat aku lihat lagi, ah... Tetap saja nanti dulu. Bukannya menyelesaikan pertikaian batin yang terus-menerus menerorku layaknya kumpulan sarang lebah... Tunggu! Itu berlebihan! Seperti aktor yang memerankan monolog yang saling kontradiksi, aku justru mendengarkan lantunan suara-suara merdu yang aku sukai.

Berdekatan dengan waktu yang diharapkan untuk pergi menuju kampusku, aku baru menyelesaikan tugas. Tentu dengan bumbu-bumbu makan yang diperlambat, minum yang diperlambat, mandi diperlambat, memilih pakaian yang diperlambat, dan membenahi kamar yang juga diperlambat. Serba lambat! Tapi melihat jam di kamar yang mulai mendelik menunjukkan angka 9, aku menyelesaikan tugas kuliahku dengan setengah kesetanan.

Seorang kawan berjanji akan menjemputku pukul 9 pas. Waktu kamarku yang kecepatan setengah jam, tentunya. Tapi mereka tidak kunjung muncul. Aku melihat lagi handphoneku yang seperti bangkai, mati suri tergeletak pasrah di atas tempat tidurku yang berwarna oranye lusuh. Wah! Mereka sudah meneleponku 5 kali!

Alhasil, aku mengirimkan SMS singkat berisi : “Belum.”

Mereka menanyakan apakah aku sudah berangkat ke kampus ataukah belum. Dan dalam hitungan detik, kawanku menelepon.

Suara di ujung telepon berisik. Sepertinya mereka sudah pergi terlebih dahulu.

“Kamu di mana?”
“Di rumah.”
Kitaorang sudah di gang PU, Neng. Tadi di telepon nggak balas. Maaf, ya?”
“Ya. Santai saja.”

Aku pun beranjak dan buru-buru berangkat. Dan... Wah, rupanya jalan bisa selenggang ini? Luar biasa!

Aku berlari-lari kecil menuju tempat kuliah. Dan yes! Aku tidak terlambat!

Aku mendengarkan penuturan dosenku. Dan dalam hati aku bertanya, ‘Bahasa alien macam apa ini?’ Semua angka, huruf, dan entahlah. Makanan apalagi yang dituliskan di atas papan tulis.

‘Hei, papan tulis, kamu ditulisi apa sih?’ Barang tentu papan tulis itu tidak menjawab gumaman hatiku yang rancu dan pusing. Kemudian, tiba-tiba dosenku membuyarkan semua lamunan gilaku ini.

“Tuliskan semua yang saya jelaskan tadi. Saya beri waktu 10 menit!”

Aih? Wah... Gila... Mengerti pun aku tidak. Ya sudahlah, kutuliskan saja semua yang ada di atas catatan binderku yang suram. Semua bentuk coretan, tipe-x-an, dan juga bentuk huruf kocar-kacir bak terkena kebakaran di tengah pagi bolong.

Dan terkumpulah itu semua. Dan aku merasa kacau. Sudah dua tahun berselang. Waktuku di kampus ini juga akan segera habis dan berganti dengan kehidupan masyarakat yang katanya super keras. Tapi bagaimana mungkin mata kuliah ini belum ada yang benar-benar bersahabat dengan benakku yang abnormal ini? Ya Tuhan. Dosaku pada ilmu yang telah tercurah ini demikian besar! Belum lagi masalah dosa pada orang tuaku yang sangat mengharapkanku masuk ke fakultas ini.

Kami mengerjakan tugas yang akan dikumpulkan 4 hari lagi. Dan berhubung semua punya jadwal kuliah yang berbeda, kesibukan berbeda, dan rasa malas yang berbeda dengan segera kami berkumpul dan menyelesaikan tugas tersebut.

Sungguh, aku sama sekali tidak dapat mengonsentrasikan pikiran ini. Entah ke mana dan sedang apa akal sehat ini. Dan langsung saja itu berpengaruh pada tubuhku yang ringkih karena pikiran yang melankolis ini.

“Kamu kenapa?” tanya kawanku tiba-tiba dan aku hanya berkata bahwa ini masalah kodrati yang sedang aku dapati. Padahal bukan hanya itu.

Setelah beberapa lama, dan akupun tidak merasakan apa-apa tentang tugas yang kami kerjakan, aku hendak pulang dan menghukum diriku dengan cacian yang pantas. Namu, aku merasa bertanggung jawab atas kesalahan yang aku buat. Sangat ingin menyendiri, tapi itu bukan jawabanku.

“Temani aku mencari buku, yuk? Ujarku pada kawan yang memboncengku menuju rumah. Sayangnya, dia tidak mau. Dan alhasil, aku diturunkan di sebuah supermarket lama yang di bawahnya ada toko buku bekas. Dengan setengah gila, aku memaksakan mencari buku-buku kuliah yang sangat tidak aku sukai. Dan tidak ada yang aku beli setelah lama sekali sang pemilik toko mencarikannya.

Lagi. Aku mengerjai orang lagi.

Dan aku beranjak ke toko buku khusus. Dan aku membeli buku tipis yang tidak seberapa mahal sebagai pelipur lara. Aku tidak tertarik seperti biasa untuk memberli buku-buku dahsyat dan merona bahagia melihat warna-warna pakaian yang terbilang muda dan aku sukai. Tapi hampir tidak pernah terjadi apapun di antara kami selain berpandangan tanpa aku memilikinya.

Aku tidak punya tempat berlibur lainnya yang paling ampuh mengobati rasa suntukku selain toko buku. Maka, aku merancang perjalanan kecil untuk menuju dua toko buku yang nyaris bersebelahan dengan jarak yang kata orang cukup wow jika berjalan kaki.

Aku berjalan kaki menuju sebuah toko buku yang biasa saja. Toko buku ini lebih cenderung menjual alat-alat tulis dan perkantoran dibandingkan dengan buku-buku. Dan benar saja, tidak ada yang membuatku membeli satu-dua buku.

Aku berjalan lagi, dan aku menginginkan seorang sahabat dekat hadir. Dan dia hampir saja aku SMS. Dan deg... Rupanya dia dengan kawan-kawannya sedang makan bakso di dekat toko buku terakhir yang akan kusinggahi. Aku datang menyapa mereka. Namun aku tidak mengungkapkan pikiranku sebelumnya untuk mengajaknya ke toko buku. Apalagi setelah kawannya yang juga adalah kakak tingkatku mengatakan mereka baru saja memasuki toko buku yang akan aku masuki.

Entah. Aku tidak tahu apakah kerisauanku terlihat jelas dari wajahku. Karena kata sahabat-sahabatku, kini wajah risauku sangat pandai aku sembunyikan. Dan haruskah aku bahagia dengan hal itu? Entahlah.

Aku berlalu meninggalkan kawanku dan memulai penjelajahanku memasuki toko buku itu. Memilah dan memilih buku-buku kuliahku yang semakin aku lakukan, dadaku semakin sesak dan air mata sudah sampai di pelupuk.

‘Hem... Teori semua. Saya ini kuliah fakultas apa sih? Kok isi bukunya tidak ada yang bersesuaian? Semuanya adalah pilihan. Kenapa?! Kenapa?!!!’ Desakku marah pada diriku sendiri. Sebenarnya itu cara agar aku tidak harus menumpahkan air mata di toko buku itu.

Aku menyerah. Sudahlah. Aku akan pulang dengan tangan hampa.

Dan di depan kasir, aku bertemu dengan seorang kakak tingkat SMA. Kami saling bertegur sapa, menanyakan kabar masing-masing, dan juga organisasi yang dahulu kami geluti bersama.

“Kamu ngapain di sini?”
“Nyari buku kuliah, Mbak.”
“Wih. Sip.”
“Tapi aku masih galau, Mbak.”
“Halah.”
“Ya sudah. Aku mau pergi ya, Mbak?”
“Oke, deh.”

Aku pun berlalu. Tapi ketika aku menyebutkan kata ‘kuliah’ itu, bayangan orang tuaku yang kini single parent menghantui pikiranku.

Aku kembali dan mengenggam buku yang tadinya sudah berkali-kali aku ambil-letakan.

Sesak. Setelah diambil, dadaku semakin sesak. Dan aku melompat ke bagian novel dan sastra. Aku menemukannya! Novel yang sudah dua bulan aku tunggu kehadirannya lagi di toko buku ini. Tanpa ragu, aku mengambilnya dan mengelus-elus sampulnya yang hendak jadi milikku.

Aku kembali lagi untuk menimbang apakah buku kuliah ini paling bagus untuk kubeli. Dan... Aku bertemu dengan kakak tingkatku lagi.

“Lho? Belum pulang juga?”
“Belum, Mbak,” ujarku sambil cengengesan.

Aku kembali dan memantapkan diri membeli buku yang ada di hadapanku itu setelah berkali-kali lagi aku pegang-lepas.

Aku menuju kasir. Dan kasir sedang memiliki masalah dengan pelanggan. Aku menunggu dan melihat-lihat buku lainnya. Dan...

Lagi-lagi aku bertemu dengan kakak tingkatku.

“Belum pulang juga?”
“Belum, Mbak. Mau bayar sih.”
“Beli apa?”

Kutunjukkan sebuah novel dan buku kuliah yang akan aku bawa. Aku mengatakan jujur tentang bagaimana aku risau dengan kuliahku tanpa sadar.

“Aduh, Mbak. Aku ini kuliah kayak nggak kuliah. Harusnya aku konsentrasi dengan kuliahku.”
“Lho? Kok gitu? Hidup kok dipaksakan.”
“Ya gimanalah, Mbak? Aku kuliah tapi kok nggak tahu apa-apa.”
“Gimana nilaimu? Aman?”
“Lumayan sih, Mbak.”
“Ya sudah. Jangan dipikirkan. Hidup itu dinikmati. Atau... Kamu pindah jurusan.”
“Mbak, sudah mau lulus. Dua tahun lagi.”

Kemudian, kakak tingkatku itu menceritakan tentang seorang yang juga aku kenal. Meninggalkan universitas yang tergolong sangat jaya demi impiannya untuk masuk di fakultas pilihannya.

“Kamu mau ke mana?”
“Sastra.”
“Ke situ tuh...”

Dia menyebutkan kembali sebuah tempat yang dahulu aku sangat inginkan. Dan aku tapik karena orang tua.

Segera setelah percakapan berakhir, aku kembalikan buku itu. Dengan harapan diberikan keteguhan oleh Tuhan jikalau memang pantas aku beli. Dan novel? Tetap aku beli. Dan kemudian, aku bagaikan domba yang kehilangan arah. Tadinya aku hendak menuju rumah dengan berjalan kaki. Tapi hatiku masih belum lega. Maka, aku menuju supermarket di sebelag toko buku ini. Dan aku memutuskan membeli es krim dan juga segelas minuman favoritku teh susu. Dan aku duduk di sebuah kursi taman panjang, menatap jalanan dan derumnya yang semakin santer. Sempat digoda oleh EO acara juga. Yah, yang bagian terakhir ini sungguh merusak acara dan tidak ada pentingnya.

Ada mereka yang kuat untuk menentang dunia hingga dunia menyerah dan menuruti keinginannya.
Ada mereka yang lemah dan menyerah hingga dunia menelan mereka dalam arusnya.
Tapi, inilah pilihanku.
Semua dapat memintaku untuk apa yang mereka katakan baik untukku. Tapi dalam hatiku aku tetaplah wanita bebas yang menyukai penjelajahan, kebahagiaan, dan karakter manusia.
Mereka mempertanyakan kebebasan.
Dan  aku jawab kebebasan di dunia adalah omong kosong. Tapi kebebasan jiwa, adalah kenyataan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA