The Beginning #1
The
Beginning #1
Aku akan menceritakan masa SMA-ku,
insya Allah. Entah Bulan Januari atau Februari pendaftaran PKAB Unila dibuka. Dan
aku, sebagai seorang anak perempuan yang tidak bolah keluar kota, mencoba
pendaftaran itu. Sebenarnya sebelum melakukan pendaftaran, semester 5 aku sudah
diwanti-wanti untuk masuk secara PKAB. Biar tidak menghabiskan biaya katanya.
Padahal ingin sekali rasanya aku kabur secepat-cepatnya untuk mengambil UI atau
UGM.
Keputusan di tangan orang tuaku. Dan semua
yang kuinginkan ditepis kala itu. Dan aku iya saja. Sudah, sami’na wa atho’na
saja. Toh tidak ada ruginya untukku dalam menjalani hal ini. Ibuku dan ayahku
bersepakat memilihkan aku manajemen sebagai pilihan pertama. Dan aku memilih
akuntansi saat itu. Karena ayahku memiliki keidealan bahwa anaknya harus masuk
ekonomi.
Ibuku tidak bersepakat. Katanya aku
adalah anak dengan tipe pemikiran yang sangat luas dan bebas. Tidak cocok untuk
mata kuliah yang kata ibuku, maaf, sempit. Dan orang-orang akuntansi, keuangan
adalah tipe orang yang terlalu serius dan, maaf lagi, menyedihkan jika di
tempat kerja ibuku dulu.
Ya, aku memang adalah seorang
perempuan yang dididik untuk menjadi seorang wanita karir. Makanya aku tidak
kenal apa itu dapur, apa itu bersih-bersih. Kalo bukan karena Allah membuka
hatiku untuk Islam, sampai sekarang mungkin aku tidak akan peduli dengan semua
itu.
Sejak menerima Islam menjadi prinsip
hidupku, aku sudah menyampingkan keinginan berkarir, dan jujur keinginan untuk
tidak menikah. Kamu kaget? Mungkin akan kuceritakan.
Latar belakangku tidak terlalu baik. Dan
dalam banyak hal, makhluk bernama laki-laki menjelma menjadi setan jahat
penindas dalam bayanganku. Makanya aku sangat menghindar dari kerja kelompok
dengan laki-laki. Dan aku juga sering bertengkar dengan mereka sebagai bentuk
kefeminisanku bahwa aku setara dengan kalian. Menunjukkan superioritas. Dulu. Aku paham
tidak semua laki-laki itu jahat. Tapi, aku tidak berani banyak menaruh harapan
bahwa laki-laki baik itu banyak. Jangan berharap kamu dapat pangeran berkuda
putih kalau kamu adalah seorang pelayan. Aku sangat suka dengan cerita dongeng
dan/atau kenyataan yang berakhir bahagia. Tapi, rasionalku menyatakan bahwa itu
tidak mungkin. Perbandingannya kecil. Jadi jangan bermimpi terlalu tinggi soal
ini. Nanti jatuhnya sakit.
Aku normal. Jangan khawatir. Aku sangat
menentang homoseksual. Aku sudah pernah jatuh cinta. Aku normal, sekali lagi,
normal.
Hanya saja, aku sangat anti dengan
kata “ikatan” dan “pernikahan”. Aku baru saja menghilangkan ketakutanku ini
setelah menginjak 20 tahun. Allah memberikanku hidayah dengan banyaknya
kawan-kawanku yang gemar membicarakan menikah. Setiap masuk topik ini, aku akan
kabur. Dan sigap, mereka menahan tanganku, mencegah, dan memaksaku mendengar.
Sedihnya, setelah sekarang aku
menghancurkan halangan bahwa aku tidak lagi takut masalah pernikahan dalam
skala tertentu, justru salah seorang kawanku berbalik mengambil pemikiranku
dahulu menjadi pemikirannya kini untuk tidak menikah.
Lanjut, setelah itu, aku dengan berat
hati memilih manajemen sebagai pilihan utama. Jujur, aku menangis, kesal,
sedih, saat itu. “Aku ingin pergi. Aku ingin melihat dunia. Aku ingin…” begitu
jeritku dalam hati.
Aku dikatakan cukup cerdas di kelas. Maka
dari itu, saat keputusanku mangambil manajemen—yang jujur aku tidak tahu dari
mana ini datang—tersebar, dengan sigap salah seorang kawan laki-laki kelas yang
berminat dan terbilang preman duduk di hadapanku. Dia berkata dengan
sungguh-sungguh dan memelas. Tidak cocok untuk tubuh kekarnya, “Prim, gue mau ambil manajemen. Please, Prim, lo pinter. Lo bisa pilih yang lain. Gue mau ke sana. Dan kalo lo
ambil, kemungkinan gue kecil, Prim.
Prim, please.”
Sejujurnya hati ini ingin bilang, “Ambil!
Ambil. Aku tidak butuh.” Tapi yang keluar dari diriku justru, “Maaf, ****. Aku
mau ambil manajemen. Aku sudah janji dengan ibu dan ayahku.” Aku menatapnya
dengan dingin. Sebisa mungkin harus menolak. Padahal air mata sudah mau keluar
dari mata.
Salah satu persyaratan mengajukan PKAB
saat itu adalah fotokopi rapor. Dan aku belum melakukannya. Saat senggang, aku
keluar menuju fotokopian di luar sekolah. Kawanku berujar, “Prim, mau ditemenin?”
Aku menjawab dingin sambil berlalu
membawa raporku, “Nggak. Aku mau
sendiri dulu.”
Rapor yang kubawa di tanganku terasa
amat berat. Berkali-kali kuganti posisi membawanya. Sebentar aku dekap,
sebentar aku menjinjingnya.
Allah, apa yang harus aku
lakukan?
Haruskah aku melakukan keinginan
orang tuaku?
Mimpiku bagaimana?
Sambil terus berpikir, tak terasa
langkahku hampir sampai gerbang. Gerbang terbuka lebar. Dan tidak seperti
biasanya, aku tidak menegur satpam sekolah. Aku bingung dan bingung. Air mataku
sudah mau jatuh (atau sudah jatuh). Aku hanya memandangi aspal di depanku.
Hingga melewati gerbang aku merasa
ganjil. Tapi aku abai dan terus berjalan. Tapi baru tiga langkah, aku berhenti.
“Seperti ada yang memanggil?” ujarku dalam hati.
Aku menoleh. Tapi tidak ada suara. Aku
hanya melihat sesosok laki-laki entah siapa. Pakaiannya rapi. Tebakanku dia
pasti bukan anak jurusan sosial. Terlalu rapi. Dan aku terpaku melihat
punggungnya cukup lama.
Fotokopi!
Ingatanku
memanggil dan aku kembali berjalan dengan setengah terburu-buru. Ingatanku melayang
di tempat fotokopian. Semua masalahku bergantian. Dan tiba-tiba barisan
fotokopi rapor telah rapi tersusun meminta bayaran.
Setelah kubayarkan, aku kembali masuk
dan mengurus semuanya.
Akhir Bulan Maret, para siswa ujian. Jangan
tanya berapa yang jujur di kelasku. Mungkin hanya tiga. Dan Alhamdulillah, aku
salah satunya. Di antara semua pelajaran, aku sangat takut menghadapi matematika.
Prediksiku saat itu, nilai matematikaku tidak lebih dari 5,00. Jadilah aku
sedih dan galau.
Aku dan kawan-kawanku se-geng (?)
mungkin lebih baik jika se-klik bersepakat untuk tidak hadir di acara
perpisahan. Aku juga tidak mau buang-buang waktu dengan acara super tidak
penting di mataku itu. Dua hari kemudian, aku dipanggil wali kelasku saat itu
diminta menghadiri. Dan sebagai seorang murid yang lumayan baik, aku tidak bisa
menolak. Payah.
Tanggal 1 April 2010, aku pulang dari
rumah sakit. Tidak seperti biasanya, ayahku mengelus kepalaku. Aku mengelak. Ini
aneh. Tidak biasanya. Dan serta-merta ibuku menarikku ke kamar dan mengatakan
hal yang mencengangkan, “Nak, ayahmu kena kanker paru-paru.”
Beliau menangis. Ayahku masuk dan
berkata, “Nguk, jangan diceritakan
dulu. Masih ujian juga dia itu.” Aku tahu sebagai seorang yang terbiasa
menyembunyikan tangisannya, aku punya suatu aturan sendiri. Jangan menangis
saat orang lain menangis. Jadilah pendengar yang baik. Jangan memaksa. Dan aku
menghancurkan aturanku sendiri dengan menangis dan memeluk erat ayahku.
Kuperhatikan tanda-tanda seolah memar
berwarna biru yang banyak bertonjolah di dadanya yang seputih pualam. Dan itu
terakhir kali aku melihat dada pualam ayahku utuh.
Tanggal 6 April 2010 adalah acara
gladi resik perpisahan. Bagianku, kendi ilmu. Dan aku datang ke aula dengan
sangat terpaksa. Hari itu, ayah dan ibuku akan pergi ke Jakarta dan mengurus
operasi. Sementara aku sudah berjanji dengan guruku datang ke acara perpisahan
tanggal 28-nya. Dan aku berdiskusi dengan ibuku dan beliau meminta aku tetap
hadir. Setelah tanggal 28, aku malamnya langsung menyusul ke Jakarta.
Aku bertemu dengan banyak orang di
aula. Beberapa sangat familiar. Dan banyak yang tidak. Aku berbicara dengan
mereka. Sekaligus aku menghilangkan sedih. Ada seorang laki-laki datang dan
bertanya, “Prima, ya?” Aku menjawab dengan nada terancam karena kaget, “Iya,
siapa?” Dia menjelaskan siapa dirinya. Dan aku tidak peduli. Ada hal yang lebih
penting. Ayah dan ibuku akan berangkat hari ini. Dan aku berharap ikut
mengantar mereka ke Bakau. Akan tetapi, karena ada gladi bersih, aku harus
berkejaran dengan waktu.
Aku sebal sekali dengan lambatnya
proses gladi. Setelah diperbolehkan pulang, aku berlari seperti orang dikejar
setan menuju gerbang dan naik angkutan umum. Aku mengirim SMS:
Ma,
ayang pulang. Tgu..
Ketika aku membuka pintu rumah, SMS
masuk. Sembari membuka sepatu dan melepas tas, aku melihat ke dalam rumah dan
sepi. Ibuku menjawab kurang lebih:
Nuk,
mama sama ayah udah berangkat sekitar 15 mnt lalu. Ayang, tadi mama sama ayah
liat di Koran. Kamu keterima nak PKAB Unila manajemen. Ayah senang sekali untuk
pertama kalinya.
Aku melihat Koran terbuka di ruangan
keluarga dan membacanya. Namaku ada. Kecil menyempil. Dan aku menjawab,
Ya,
hati2.
Kemudian, aku bersimpuh dan menangis
hingga mataku sembap. Seandainya kamu tahu betapa aku berharap tidak lulus.
Setelah itu, dengan sok ceria aku
pindah ke rumah nenekku karena di rumah tidak ada yang mengurus. Aku bertambah
sebal. Berisik.
Kembali dengan sok ceria, aku meminjam
jilbab dan baju gamis. Sepatu dan tas. Ribet, ya Allah! Kuberitahu. Rumah keluargaku
tinggal baru saja terkena banjir Desember—kalau tidak salah—2009. Jadi, aku
tidak punya pakaian seperti kebaya dan teman-temannya.
Aku sengaja tidak bertanya apa pun
kepada tante dan nenekku. Aku tidak mau berdandan. Dan aku sengaja menyusahkan
diri naik angkot karenanya. Sesampainya di sana, aku harus berbaris.
Sejenak pikiran tentang keluargaku
terabaikan dan berganti dengan, “Aduh, nanti kalau pas jalan keserimpet gimana? Nanti pas bawa kendi
jatuh gimana? Kalo malu-maluin gimana? Mukaku harus keliatan semua orang ini? Kamu
bercanda, ‘kan?”
Aku menghilangkan ketegangan dengan
bicara bersama temanku. Seseorang laki-laki memandang ke belakang karena
suaraku mungkin terlalu keras. Sementara anak-anak kendi ilmu lainnya
kalem-kalem. Aku berikan tatapan, “Ngapa
lo, mas? Ngajak ribut?”
Kendi ilmu berjalan lancar dan justru
sepatu kawanku yang lepas saat ke atas panggung. Alhasil, aku yang ada di
belakangnya yang mengambilkan. Berasa Cinderella dia. Untung aku juga tidak
memakaikannya. Kalau tidak? Alangkah.
Setelah acara kendi ilmu. Aku berfoto
sejenak dengan kawan-kawanku. Kemudian, aku pun
pulang. Aku sedih melihat semua ini. Aku dan kawan-kawanku akan
berpisah.
Sorenya aku langsung kesetanan menuju
Bakau bersama dengan pamanku.
Singkat cerita, aku lupa membawa Alquran.
Aku benar-benar merasa sinting tidak membaca Alquran dan hanya mendengarkan
surat-surat pendek di telepon genggam. Ditambah lagi, saat di sana aku di ruang
ICU yang harus mandi di kamar mandi umum. Banyak sudah anjuran ibuku agar aku
membuaka jilbab saja. Air mataku bertambah-tambah. Aku teguh dengan tidak
membuka.
Ibuku berujar, “Nak, di sebelah
jilbabnya lebih lebar dari kamu. Tapi pas keramas dibuka tuh?” Aku tidak menjawab. Di dalam hati aku berkata, “Masa bodo’.
Dia adalah dia. Saya adalah saya. Allah memerintahkan menutup aurat dan saya
hanya harus patuh. Nggak peduli sama
orang.”
Belum cukup di situ, kawan-kawanku
justru SMS yang tidak menenangkan. “Lagi apa?”, “Udah makan?”, “Kami lagi les lho.”, “Liburan asyik.” Tak adakah
yang mengerti aku tidak butuh semua sempalan itu? Kesepian. Aku kesepian.
Allah menghiburku dengan cara yang
unik. Ada seseorang yang masuk ICU. Keluarganya juga menunggu. Dan salah satu
di antaranya selalu mendahuluiku masuk ke ruang ibadah. Dan dia sepertinya
penghafal Alquran. Rasanya walaupun tidak kenal, aku memiliki kawan. Aku tak
mungkin menegurnya karena dia adalah laki-laki. Tapi itu lebih dari cukup.
Kawan, di ruang ICU, kamu tahu apa
yang terjadi? Telepon genggam kami (aku, ayah, dan ibu) dicuri. Aku tidak tahu
harus bilang apa lagi saat itu. Padahal telepon genggamku itu baru saja
diberikan.
Singkat cerita, akhirnya ayahku
meninggal. Dan aku tahu risikonya. Aku sebagai seorang anak pertama, tertua,
harus mencari penghidupan. Sedikit demi sedikit. Saat itu aku berpikir ibuku
tidak mungkin bekerja lagi. Aku membulatkan tekad.
Baru satu setengah bulan ayahku
meninggal, aku harus masuk kuliah. Kebutaanku soal syariat kala itu. Seharusnya
aku tidak keluar rumah selama empat bulan sepuluh hari. Selanjutnya, aku masuk
organisasi. Jadi pemimpin pula untuk yang mahasiswa baru. Harus menghadapi
malam keakraban (makrab). Tugas dan jurusan yang aku tidak mengerti. Ibu yang
kerap menangis di pangkuanku.
Takdir berkata lain. Aku terlalu sibuk
organisasi. Dan alhasil ibuku yang bekerja. Dan intuisiku menyatakan bahwa
cepat atau lambat akulah yang harus turun tangan. Jika bukan awal, maka akhir
kuliah adalah bahan pertimbangannya. Dan aku memilih yang kedua. Maaf. Entah aku
menafikkan hal yang benar atau tidak.
Aku SMS-an, teleponan, cerita, dan bermain.
Tapi kamu tahu? Itu hambar. Ada lubang di sini, di hati. Mungkin itu hikmah
kenapa Islam menyuruh agar ada masa berkabung empat bulan sepuluh hari. Aku
jadi sangat mudah marah dan tempramental. Itu berlanjut hingga akhir semester
2. Sebabnya, aku kesepian. Rasanya hilang arah.
Sudah jatuh tertimpa tangga? Itu peribahasa
yang sangat lembek untuk mengungkapkan perasaanku saat itu. Kejatuhan demi
kejatuhan. Kalau kamu gemar dengan drama, kukatakan bahwa kalimat ini
kunyatakan dalam baris doaku, “Tuhanku, tubuhku tidak terluka. Tapi rasanya
sakit. Di sini… di dada…”
Di sebuah film ada yang menyatakan
seperti ini, “Jika aku ingin menjadi pengacara, maka aku harus menikah dengan
seorang Charlie. Bukan seorang Queen.” Artinya, semua harus dilihat dulu
kepentingannya. Aku ingin sekali berkata kepada laki-laki yang menyatakan itu, “Aku
adalah seorang Charlie. Tapi aku sangat ingin menjadi Queen. Tapi aku tidak
ditakdirkan untuk itu. Jadi, berhentilah menjustifikasi orang. Kamu tidak tahu
apa-apa.”
Aku selalu berdoa—dan ini doaku sedari
kecil:
Tuhanku, aku tidak pernah memilih
dilahirkan seperti ini.
Engkau-lah yang memilihkan.
Apa yang Engkau pilihkan adalah
hakMu.
Maka, kuatkanlah aku.
Kumohon padaMu.
Bandarlampung, 24-4-2014
Pukul 23.23 WIB
Memorize which I don’t want to
remember it.
But, I must remember to get my little peace…
Komentar
Posting Komentar