Selebrasi Murahan
Selebrasi
Murahan
Iya,
aku tak pernah meminta menjadi seperti ini.
Ini
hidupku.
Aku
disiapkan oleh takdir untuk menjadi seorang yang berjibaku
dengan
keras dan kasarnya penolakan.
Tapi
bukankah aku tak hanya bisa menerima?
Gelagak
kehendak menuntunku pula untuk memberontak.
Aku
tak sepenuhnya patuh. Dan aku tak akan bisa purna patuh.
Perempuan itu memandangi langit yang
biru sempurna. Di balik jendelanya, ia tak menemui matahari. Begitulah batasan
horizon sebuah jendela. Berduka adalah hal yang selalu dilakukannya. Baik hal
menyenangkan datang, atau hal menyebalkan menghampiri. Tak ada bedanya. Seperti
halnya ia menangis dalam bahagia dan bahagia dalam tangisannya.
Perempuan itu melawan arus matahari
yang mulai sore. Dan matahari tak kehabisan cara membuatnya kembali. Dan
sungguh, tak perlu kautanyakan betapa ingin perempuan itu kembali. Memulas
dalam kasurnya yang empuk dan kegiatannya yang fana. Tapi sesuatu menyebabkan
bara. Ya, sekali lagi kukatakan. Ia melawan arus.
Sejenak dalam sebuah fragmen yang tak
tersebutkan, ia kembali setelah peluh. Matahari tertawa riang. Dan matahari
yang menang merasa tak perlu lagi memanasinya. Seandainya aku punya samsak. Atau perlu aku turun dan jalan kaki dari
sini? Pilah-pilihnya dalam hati dengan mimik bernuansa pagi. Apa aku harus lari ke hutan lalu ke pantai?
Barisan fragmen puisi itu datang dalam pikirannya sembari ia memejamkan mata
mengurut manik matanya dengan telunjuk dan jempol kurusnya—hampir tak ada
daging di sana.
Tatapan mata kosong itu nyata. Tapi tak
juga ditangkap oleh penumpang lain yang entah siapa. Senyum membalas senyum.
Cukup.
Sekali lagi ia menghirup nafas
panjang. Mimiknya berubah serius mendung. Terlihat bahwa ia tak kuasa menahan
gejolak di dadanya. Matahari merasa bersalah. Kemudian ia mendamik dan
menyibakkan warna oranye pada bumi. Tatkala mata perempuan itu terbuka, mari
kita lihat matanya. Matanya terlalu lembut untuk jadi api. Dan terlalu keras
untuk jadi madu. Aneh, unik. Itulah deskripsi diri perempuan itu tentang
dirinya sendiri.
Aku
harus ke mana? Sebagai perempuan yang menjelma
cahaya, alhasil ia kembali ke peraduannya, rumah. Memilih menghancurkan
beberapa sisa kekesalan, perempuan itu berjalan dari tempat ia mengakhiri
menuju ke awal.
Bandang ingatan datang. Perasaan akan
cinta yang prematur dan pemberitahuan yang terlambat. Apa yang akan kauharapkan
darinya? Perempuan itu pun tak kuasa menanyakan hal yang sama pada dirinya
sendiri. Aku tak punya kecantikan, aku
tak punya jelmaan, aku tak punya kekuasaan, dan aku tak punya kepahaman. Apa
yang tersisa dariku?
Aku bukan pajangan. Bukan
seseorang yang cocok dijadikan bahan obrolan. Bukan orang yang suka dengan
harta pameran, makanan yang terlalu mewah, hidup yang terlalu indah. Begitu
pula aku pun tak lagi suka dengan derita, dan dengan kisah-kisah yang teringat
kembali.
Tidakkah kefanaan ini hanyalah
selebrasi palsu? Kenapa banyak yang menginginkan semua itu? Padahal semua sudah
dilibatkan dalam pertarungan yang tiada usai. Padahal semua sudah disandingkan
dalam peperangan yang tiada henti. Kenapa, kenapa?
Tapi aku pun masih membutuhkan
makan darinya, pakaian indah darinya, dan kebersamaan darinya. Hingga kupunyai
hubungan kekerabatan, pernah jatuh cinta, dan juga berempati pada perasaan.
Perempuan itu melewati banyak kenangan
dan orang-orang. Peluh yang dialamatkan pada penjual asinan dan manisan buah.
Kemudian, kusta yang memakan tangan kanan seorang ayah dari seorang anak yang
tak dikenalnya. Hilangnya penglihatan dari seorang pengemis. Dan juga dua orang
yang kehilangan kewarasan serta papannya di penghujung hari.
Aku
hanya perlu semua secukupnya agar sampai pada janji yang hendak kutepati.
Itulah kesimpulannya. Di sampingnya, deritan kendaraan-kendaraan begitu ramai.
Tapi ia begitu sunyi dalam dunianya sendiri. Beberapa kali ia memalingkan wajah
tirus itu ke belakang. Bukan hanya menghindari kendaraan yang hendak menikung
di gang tempatnya berdiri. Tapi ia juga meninggalkan perasaan bisik yang
paranoid berceracau di belakangnya.
Angin selatan yang sesak kala sore
hari membelai lembut. Kerudung hitamnya menari dan menutup separuh wajahnya. Di
kota yang sibuk terlihat, perempuan itu kini tak terlihat. Menghilang.
Bandarlampung, 24-4-2014
Pukul 18.00 WIB
Komentar
Posting Komentar