Kompetisi VS Kerja Sama
Kompetisi VS Kerja
Sama
*lintasan pikiran yang
tiba-tiba—secara pribadi—berasa nyambung*
Di
era informasi kekinian, manajemen sumber daya manusia mengalami suatu dilema. Dilemanya
adalah bagaimana menentukan ketepatan dari kadar kompetisi dan kerja sama. Semakin
ke sini, semakin suatu bisnis tergantung dengan bisnis lainnya. Contoh mudahnya
adalah jika ingin menjual pakaian, maka kamu harus memilih di mana membeli bahannya,
di mana menjahit yang murah, dan di mana memasarkannya. Atu kamu dapat memilih
penyedia yang murah dan menjualnya. Dilihat dari sini, banyak sekali urutan
rantai pasokan yang harus dialami.
Akan
tetapi, sangat riskan pula jika kita terlalu banyak melakukan kerja sama dengan
pihak lain. Bila dikaitkan dengan ilmu psikologi, terlalu banyak kerja sama
akan membuahkan hasil yang buruk. Dan manajemen sumber daya manusia juga
mengatakan hasil serupa. Apalagi dalam kaidah bisnis, yang menjadi pertimbangan
adalah bocornya rahasia perusahaan. bisa juga setelah diketahui hal yang
membuat kuat bisnisnya (semisal orang-orangnya) diambil dengan cara yang
terbilang licik.
Contoh
saja yang mudah, Apple vs Samsung. Pada awalnya yang menjadi pemimpin pasar
adalah Apple. iPhone-nya telah merajai pangsa pasar domestik maupun global. Dan
Samsung saat itu—masalah manajemen pemasarannya—hanya pengikut (followers). iPhone melakukan kerja sama
dengan Samsung masalah pembuatan LCD-nya. Lalu ternyata, di-copy paste oleh Samsung dan ia
menerbitkan gayanya sendiri. Ini tentu saja menjadi serangan nyata bagi Apple. Hingga
berbuah tuntutan hukum di hampir setiap negara. Silih berganti kemenangan pihak
Samsung maupun Apple. Tetapi, Samsung menang.
Tentu
ini adalah keburukan dari kerja sama yang terlalu berlebihan. Di sisi lain,
tidak mungkin hanya mau bersaing namun tidak ada kerja sama. Sebab seperti
manusia, bisnis juga tidak bisa sendirian.
Lalu,
apa maksud catatan ini?
Tentu
saja aku bukan mau berbicara mengenai manajemen pemasaran, manajemen sumber
daya manusia—yang merupakan konsentrasiku—, dan manajemen strategi. Ini hanya
suatu analogi yang kupelajari dari berbagai dilema etis yang harus dihadapi
saat belajar manajemen. Kalau di konsentrasiku sumber daya manusia—yang maha
sedikit orangnya itu karena katanya ribet cara pikirnya—, aku pribadi paling
ngeri kalau sudah berhadapan dengan dilema etis. Kenapa? Karena tidak seperti
konsentrasi lainnya, dilema etis kami luar biasa banyak dengan teori yang sulit
pula. Apalagi dalam banyak buku dikatakan bahwa banyak pegawai menganggap SDM
itu tidak mengerjakan apa pun. Padahal kalau mereka tahu siapa yang
memperjuangkan gaji, pelatihan, kualifikasi, dan lain-lain, itu urusan SDM. Ya,
bidang yang paling dibenci di mana pun. Aku kalau sudah bicara dilema etis,
baca kasusnya bisa sejam sendiri, baca teori ulang bisa setengah jam sendiri. Jawabnya
mah, beuh… 15 menit kelar.
Seperti
yang kukatakan sebelumnya, itu hanyalah analogi yang tiba-tiba kurasa berkaitan
erat dengan manusia. Mungkin karena pendekatan manajemen sekarang berporos pada
perilaku. Jadi sedikit banyak mirip manusia.
Bisa
dibayangkan jika itu adalah manusia. Seperti yang kita ketahui bahwa manusia
adalah makhluk sosial. Di sisi lain juga makhluk individual. Seperti perusahaan,
manusia yang terlalu percaya dan bekerja sama dengan orang lain nyatanya sering
menerima pengkhianatan. Sebaliknya, jika telalu curiga dan berkompetisi dengan
lainnya, dia tidak akan berkembang.
Bagaimana
cara—bahasaku—sederhana dalam hal ini?
Nah,
terlihat di sejarah bagaimana manusia bertindak dalam hal ini. Soal tolong-menolong
oke, soal pribadi juga oke. Ketika para sahabat harus bekerja sama dalam perang
misalnya, mereka sama-sama turun perang. Sama-sama mengikuti satu komando
pemimpin. Akan tetapi, soal jadi syuhada, mereka berkompetisi.
Mereka
bekerja sama soal membangun parit dalam Perang Khandaq/Ahzab. Tapi mereka juga
berkompetisi soal amalan harian. Seperti Abu Bakar yang menunjukkan tangannya
saat ditanya Rasulullah. Dan masih banyak hal lain yang menunjukkan semua itu.
Apabila
menolak salah satu di antaranya, tentu hal buruk terjadi. Bila menolak bekerja
sama, dikucilkan. Sementara bila menolak berkompetisi, lemah secara pribadi. Begitu
pun dengan berlebihan dengan salah satu di antaranya, sama juga. Bila berlebihan
bekerja sama, kohesivitasnya terlalu kuat. Kaitan dengan psikologi industri dan
SDM, jika kohesivitas terlalu kuat, akan menyebabkan sikap ABS (Asal Bapak
Senang). Hilang kaidah mengingatkan. Dan hanya mengikuti tanpa berpikir. Sebaliknya,
jika terlalu berlebihan berkompetisi, jadinya tidak mau mendengar apa-apa yang
baik dari orang lain.
Hem,
bukankah kita ingat bahwa sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan
manusia? Dan tanda-tanda kiamat jikalau salam hanya tersebar dalam satu
kelompoknya saja. Jadi… Wah, bisa bahaya.
Jadi
meskipun terkesan bertentangan, semua itu dalam area yang sama. Tidak ada
istilah melawan (versus) karena semua
ada dalam fitrahnya manusia. Individual sekaligus sosial. Berkompetisi
sekaligus bekerja sama. Kalau bahasa dalam SDM, ada tesis dan antitesis, kita
mencari sintesisnya. Menentukan kadar 50% banding 50% dalam hal ini, tentu saja
kita tidak bisa menghitungnya sendiri.
Hanya Allah yang tahu.
Memang
seorang muslim harus kuat sebagai individu maupun sosial. Ramai atau sendirian.
Tidak selalu menuntut dan kuat hanya di satu tempat. Ingat pernyataan ini:
Barangsiapa tidak menemukan keramahan Allah ketika bersama manusia dan menemukannya ketika sendirian, maka dia adalah orang yang baik tapi lemah.
Barangsiapa menemukan keramahan Allah ketika bersama manusia dan tidak menemukannya ketika sendirian, maka dia adalah orang yang ikut-ikutan.
Barangsiapa tidak menemukan keramahan Allah baik ketika bersama manusia maupun sendirian, maka dia bagaikan mayit yang terbuang.
Barangsiapa menemukannya baik ketika bersama manusia maupun ketika sendirian maka dia adalah pecinta Allah yang sejati.
Barangsiapa yang pintu imannya terbuka dalam kesendirian, maka keimanannya tidak akan bertambah kecuali dalam keadaan menyendiri.
Barangsiapa yang pintu imannya terbuka ketika bersama manusia maka keimanannya tidak akan bertambah kecuali bersama mereka.
Barangsiapa yang pintu imannya terbuka dengan menerima seluruh ketentuan Allah, bagaimanapun kehendak-Nya, maka keimanannya bisa bertambah baik ketika bersama manusia maupun dalam kesendirian.
Keadaan yang paling mulia adalah jika kamu tidak memilih keadaan untuk dirimu kecuali apa yang telah dipilihkan Allah kepadamu. Maka terimalah apa yang telah ditetapkan Allah kepadamu dan janganlah kamu memaksakan kehendakmu terhadap-Nya.
(Al-Fawa'id, Ibnu Qayyim)
Sederhana
itu sulit.
Bandarlampung,
26-4-2014
Pukul
11.35
Lintasan
pikiran… Lagi mengingat materi manajemen perubahan dan desain organisasi yang
kubahas di skripsi.. Tiba-tiba nyambung ke sini aja… Aih, emang nih pas tes
pikiran kemarin agaknya cara saya menghubungkan informasi-informasi umum nggak
sama dengan orang lain (nyoba manipulasi pikiran di National Geographic dan
hasilnya soal psikologis dan mental, aku tipe orang 20% populasi dunia,
antimainstream)… Nggak berubah… Keep
nyentrik… -_-
Komentar
Posting Komentar