Karena Sebuah Janji Pada Diri

Karena Sebuah Janji Pada Diri

03.30 WIB Bismillah…

Hem, aku punya janji sedari almarhum ayahku meninggal. Rasa sakitku bertambah-tambah. Anggap aku baik-baik saja. Dan memang terlihat baik-baik saja. Jangan dibilang aku sedih karena aku memang sedih. Cukup diam saja. Berikan ketenangan yang aku mau. Aku saat itu berjanji dan dengan kejam memanipulasi diriku sendiri, memohon pada pikiran dan perasaanku sendiri untuk memendam semuanya hingga saat menuju kelulusan. Aku punya kehidupan baru yang harus dijalani sebagai seorang mahasiswa saat itu. Tak mungkin aku membagi kesedihanku dengan jadwal awal kuliah, urusan perangkotan, urusan organisasi, urusan kesedihan ibuku, dan urusan-urusan lainnya.

Aku harus banyak mendengar dan abai.

Dan dengan serta-merta, Desember lalu muncul semua rasa sakit yang kupendam lama sekali. Sudah tidak demikian meraja. Hanya saja, ehm, bagaimana mengatakannya? Menyedihkan. Aku berguman, Sudahlah, Prim. Banyak yang juga kehilangan orang tua tapi tidak cengeng seperti kamu. Dan itu cukup berhasil cukup baris doa yang kulontarkan.

Diam-diam aku sering tersenyum sendiri belakangan karena mengingat ayahku. Mengingat semua pesan dalam sifat dinginnya yang sebagian besar turun kepadaku, anak perempuannya. Lucu betapa orang sedemikian asing saat dia masih hidup tapi menjadi sedemikian kenal sepeninggalnya.

Dan aku banyak menghabiskan waktu mencari uang belakangan ini. Mengusahakan sehalal mungkin. Aku berusaha dalam keadaan yang menurutku kini sangat menyedihkan. Skripsiku agak terbengkalai. Atau mungkin cuma dalih. Ah, bisa jadi.

“Prim, apakah seorang anak yang kehilangan orang tuanya akan menjadi begitu pemarah dan sensitif?” tanya seorang kawanku suatu hari. Dan aku meraih suatu pemahaman baru mengapa aku begitu temperamental yang tidak sewajarnya sebelum itu. Meskipun aku berusaha, ternyata aku tetap saja tidak bisa mengendalikan sebagian besar emosiku. Dan aku menjawab, “Iya, itu benar.” Tanpa pernah kawanku mengetahui bahwa itu agak mengingatkanku. Dan sepulang dari kebersamaan kami, aku menangis. Ingatanku kabur-kabur.

Benar-benar masa kegelapan saat itu.

Saat itu, aku tahu risiko yang harus kuhadapi sebagai seorang anak tertua. Tapi aku mengelak. Dan aku tahu bahwa risikonya akan datang belakangan. Tapi dengan egois disusul dengan beragam amanah yang harus aku emban, aku menafikkannya. Apakah aku menafikkan hal yang benar? Allah lebih mengetahui.

Aku menelan risikonya sekarang. Aku harus bekerja. Aku padahal sedang nyaman melakukan hal-hal yang sebenarnya mungkin untuk sebagian orang hal kecil namun berharga untukku: aku sedang mencoba menjadi seorang perempuan yang tidak banyak keluar rumah. Aku ingin belajar mengerjakan pekerjaan rumah yang paling aku tidak kuasai: memasak. Aku sedang ingin menyelesaikan akhir kuliahku: skripsi.

Di mana, aku tidak tahu masihkah ada kesempatan untukku untuk melanjutkan lagi?

Aku sangat menyesak mengingat cadar-cadar yang aku kumpulkan. Melihat kadar keislamanku yang acak-acakan, dan ilmu duniaku yang awut-awutan. Jujur, kalau bisa ingin sekali rasanya aku seperti beberapa orang yang kuketahui belajar ilmu baik dunia maupun akhirat hingga mungkin 15 jam dalam sehari.

Aku yakin jika mendapatkan kesempatan itu, aku akan mengeluh sebagai suatu proses awal untuk terbiasa. Namun aku akan sangat bahagia. Karena belajar—walaupun aku tidak sepintar orang lain—sangat menyenangkan hatiku.

Meredup, meredup. Semangatku sedang meredup. Sekuat apapun aku berusaha saat ini, aku harus menyingkirkan yang paling integral dari masalahku. Dan aku berharap semuanya segera terlaksana. Dan aku masih menginginkan semuanya. Entah kapan…

Aku berharap segala jenis kerinduan dan kesesakan ini sudi Allah berikan ganjaran yang baik. Karena cuma Dia satu-satunya yang kuyakini tak pernah ingkar janji.

Bandarlampung, 21-4-2014

3.47

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA