Suatu Keberadaan
Suatu
Keberadaan
Sering kita berpikir tentang apa yang
kita lakukan di dunia ini. Banyak yang bilang kita tidak melakukan apa pun,
atau bilang kita terlalu banyak melakukan sesuatu sampai memberi klaim bahwa ia
harus menguatkan pundaknya sendiri tanpa ada yang membantu. Padahal, ia juga
tidak tahu betapa banyak orang yang diberikan berat akibat keberadaannya, namun
diam membisu. Lalu, apa yang sebenarnya menjadi esensi keberadaan kita?
Dalam Q.S. Adz-dzariyaat dikatakan
bahwa kita hidup untuk beribadah kepada Allah. Tidak ada embel-embel. Hanya
kepada Allah yang artinya jauh dari syirik, jauh dari riya’, jauh dari ujub,
dan jauh dari sum’ah. Tentu berlandaskan ikhlas dan sunnah yang shahih. Akan
tetapi, di dunia yang serba terbalik-balik ini, sudah banyak yang melupakan.
Banyak yang mengatakan bahwa itu adalah dongengan orang terdahulu. Dan bahwa
dengan kemajuan yang dilansir lebih maju dari yang terdahulu berarti sudah
mampu menandingi kekuasaan. Merasa congkak dan bisa.
Katika semua aspek kehidupan menjadi
ibadah, pernyataan tersebut jelas sekali sepah dan tiada dasar. Seolah lupa
bahwa selalu ada faktor yang tidak dapat diprediksi. Kita tidak dapat melawan
kematian bagaimana pun caranya. Kita tidak dapat melawan alam dengan apa pun
caranya. Bahkan kita tidak dapat melawan kehendak buruk diri kita sendiri
walaupun jutaan buku telah masuk ke dalam pikiran kita! Bukankah ini menandakan
bahwa kita tidak bisa apa-apa?
Suatu keberadaan selalu ditandai
dengan keberadaan yang lain. Dan tanpa sadar, kita lupa bahwa kita beruntaian.
Baik dan buruk, jelek dan rupawan, dan segala pasangan yang ada. Sayangnya,
bukan hanya kausalitas ini yang berlaku. Ada yang mengatur keberadaan kita.
Makanya akhir kita tak pernah ada yang bisa memprediksi dengan tepat bahkan
dokter yang paling hebat sekali pun. Sekali pun ada yang mengaku mustajab dalam
membuat prediksi, toh pada akhirnya, ia tidak mampu memprediksi dirinya dan
menolak takdir yang datang kepadanya.
Apapun keputusan yang terjadi melalui
pemikiran dan perasaan kita, semua ada yang mengatur. Hanya kita harus mencari
tahu. Harus mencoba, harus meraba. Bukankah apel di pohon depan tidak akan
sampai di dalam mulut kita kecuali kita bertanya, meminta, mengenggam, dibantu,
diberi, dan/atau memetik dengan tangan kita sendiri?
Lalu, dengan mudah kita mengatakan
orang lain tidak memiliki suatu keberadaan yang mumpuni. Lebih baik enyah,
tidak ada. Tapi kita lupa, bukan kita yang membuat keputusan. Pun, ia juga
tidak mampu membuat keputusan. Berapa banyak orang di dunia ini yang memiliki
keinginan yang sama, cita-cita yang sama, bahkan pujaan yang sama. Tetapi tetap
ada kuota yang kita tidak tahu-menahu batasannya perihal keterpenuhannya. Lalu,
kenapa kita memusingkan kepentingan keberadaan orang lain?
Cukup kita menguntai keberadaan kita
dengannya dalam suatu filamen yang indah. Tidak perlu memikirkan bagaimananya.
Kita akan letih. Dan cukup pasang kaca mata kudamu dalam hal apa yang
dipilihnya. Terkadang dongkol, menjaga, dan tidak dijaga tidak ada bedanya.
Tetapi proseslah yang menjadi harganya. Kita akan terkejut nanti bagaimana
mungkin sesuatu yang kita abai menjadi jutaan harga tak ternilai dan bagaimana
juta laku yang dilancarkan justru terlempar ke wajah kita dengan mengenaskan?
Suatu keberadaan yang tidak bisa
ditolak dan diabaikan. Dan suatu saat, akan dipertanggungjawabkan
masing-masing.
Bandarlampung, 9-2-2014
Komentar
Posting Komentar