Hati yang Bercabang
Hati
yang Bercabang
Di suatu siang yang lumayan panas, aku
dan beberapa kawan berkumpul di pojokan mushala. Ada seorang lelaki yang sedang
kuliah mengundang beliau dan kawan-kawannya untuk hadir. Beliau sedikit
terkejut mendapatkan undangan pernikahan tersebut. Hal ini dikarenakan beliau
dan kawan-kawan beliau tidak terlampau mengenalnya. Kenal pun, itu hanya
sebatas nama.
Suatu ketika, beberapa baris SMS masuk
ke handphone beliau. Isinya perkara
pernikahan tersebut. Lucunya si laki-laki tersebut pakai kenal merek motor,
warna jilbab, dan perihal lain-lain yang dikenakan para perempuan yang
diundangnya sehari-hari. Sontak saja, hal itu menjadi tanda tanya bagi para
perempuan yang diundang.
“Dia bilang begitu sambil SMS, “Jangan
lupa ajak yang pake Scoopy itu lho.”
Ih? Apa banget coba? Langsung aja krik-krik baca SMS-nya. Berarti selama ini
dia (laki-laki tersebut) sering merhatiin
kita dong?” ujar seorang kawanku di sana.
Kami di sana langsung ber-iyuh ria. Buat apa sampai kepo masalah perempuan yang bukan
siapa-siapanya sampai segitunya? Sampai jenis motor saja ketahuan.
Di kesempatan lain, seorang kawanku
bercerita. Alhamdulillah dia tidak lagi berpacaran. Kawanku mendapat sebaris message lewat inbox Facebook dari seseorang yang tidak dikenal. Ketika dia
bercerita dan menyebutkan namanya, aku tahu orangnya karena kebetulan aku
beberapa kali sekelas dengan orang tersebut.
Usut punya usut, ternyata laki-laki
tersebut hadir di semua jejaring sosial kawanku tersebut. Hari-hari
selanjutnya, dia jadi seperti tahanan wajib lapor terhadap kawan perempuanku.
Laki-laki tersebut sampai menyebutkan jika dia mau ke kamar mandi.
“Ih, penting aja apa penting banget tuh cowok laporan kayak gitu ke kamu, M?” aku mengernyit. Kawanku menjawab, “Adun, nggak penting banget. Tapi kalo nggak dibales nggak enak.”
Para pembaca, inilah wanita. Beberapa
tipe di antara kami merasa tidak enak hati menolak orang yang bertanya kepada
kami. Padahal kami bisa saja tidak suka. Kawanku ini memiliki kesamaan denganku
dalam hal benci sama orang. Kami sama-sama tidak enak hati jika ada yang
bertanya kepada kami. Dan tidak akan memulai pembicaraan dengan orang yang kami
pikir telah membuat kami naik pitam. Alhamdulillah sekali lagi, aku mulai
belajar menolak orang sejak awal. Adakalanya, lebih baik orang memang
disingkirkan dari awal perkenalan sebelum bertindak aneh, daripada
membiarkannya bertindak aneh. Karena mengatakan tidaknya akan lebih susah.
Masih dengan kawanku satu ini,
lanjut-melanjut, si laki-laki ini “nembak”
kawanku dalam jangka waktu satu minggu. Jadi pacar lagi. Tentu saja kawanku
yang susah payah tidak lagi berpacaran menolaknya. Dan dari sana diketahui
bahwa laki-laki tersebut sudah stalker,
menguntit semua kegiatannya selama setengah tahun lebih. Menakutkan? Iya.
Mendengar perkara ini, seorang
mengatakan padaku, “Itulah laki-laki.
Hatinya bercabang. Mereka tidak bisa tetap pada satu wanita.” Pembicara
yang merupakan kakak tingkatku ini mengatakannya sampai bagian atas gerahamnya
terlihat.
Beliau melanjutkan lagi, “Laki-laki
yang seperti itu kita dapat katakan tidak menjaga pandangan. Dan seharusnya,
jika pun dia tidak bisa menahan nafsunya untuk tidak mencari tahu tentang
akhwat tersebut, tidak semestinya dia mengatakannya.
“Berbeda dengan wanita. Wanita punya
keahlian untuk menundukkan pandangan lebih, menurutku. Karena wanita hatinya
tidak bercabang. Perempuan adalah tipikal yang menetap dan sadar akan tanggung
jawabnya. Sehingga ketika menyukai seseorang di luar halalnya, dia akan
berusaha membunuh perasaan terebut. Berbeda dengan laki-laki yang lebih
kesulitan. Apalagi masalah menahan hawa nafsu. Makanya laki-laki itu dapat
memilih empat orang wanita karena kemungkinan besar tidak setianya itu.
Tentunya dengan asumsi paham (baca: paham agama), ya?”
Aku bersepakat dengannya dalam banyak
hal. Memang demikian adanya. Meskipun menurutku ada juga wanita yang dapat
membuat hatinya bercabang. Aku punya juga kawan seperti ini. Namun berbeda
dengan laki-laki, jika hati wanita bercabang, bahayanya jauh lebih luar biasa
dibandingkan hati laki-laki yang bercabang. Kenapa? Karena aku melihat sendiri
bahwa wanita yang memiliki kemampuan langka menyabangkan hatinya bisa membuat
laki-laki sekitarnya mabuk akan kehadirannya dan tidak dapat lepas dari
jeratannya. Jauh lebih merusak. Makanya dalam Islam selalu dikatakan bahwa
wanita itu pilar utama. Kalau wanita saja sudah rusak, dijamin rusak juga
negara dan agama.
Selain itu, aku juga sering terheran
dengan para lelaki dan wanita yang bisa berganti pacar dalam waktu singkat.
Kata sebuah timeline galau yang masuk
ke beranda twitter-ku sih, berarti
PDKT (pendekatan)-nya sudah lama. Lalu bisa bilang, “Sama mantanku? Ckck, udah biasa aja kok.” Kok bisa? Pertanyaan besar buatku. Sebab dalam buku
masalah menjaga pandangan, bahwa para generasi keemasan Islam, jika sudah
pernah sampai jatuh cinta perkara tidak halal demikian dan telah mengungkapkan
perasaannya, sungguh, mereka malu pada Allah hingga air matanya bercucuran.
Mereka memutuskan hubungan dan tidak pernah menemui orang yang dicintainya
lagi. Masalah apakah akhirnya mereka menikah dengan yang dicintainya tersebut
atau tidak, wallahu ‘alam. Jadi, kok bisa? Biasa-biasa saja? Bisa demikian.
Fenomena yang aneh menurutku lagi, aku
melihat di banyak tayangan dan beberapa kawan di kelasku yang
terang-terangan—saat tidak ada orang yang dia suka atau pacarnya—mengatakan bahwa
dia masih menyimpan perasaan kepada seorang wanita yang entah itu tidak
berhasil dia dapatkan atau bagaimana. Dia masih sedemikian mencari tahu
tentangnya sampai taraf mengerikan menurutku. Dan hebatnya, mereka bisa
melampiaskan—jika diksi ini dianggap tepat—dengan pacarnya sekarang. Aku tidak
mengerti psikologis laki-laki soalnya aku bukan laki-laki.
Kawanku ada yang bertanya hal ini
kepada kawan laki-laki kelas. Dan dia menjawab begini, “Bisa jadi. Laki-laki
seperti itu memang banyak. Jika diibaratkan, perempuan yang disukainya dan
terus diinginkannya itu ibarat pelabuhan. Bisa jadi dia membiarkan perempuan
itu karena takut merusak si perempuan dan datang pada waktu yang tepat, atau
bisa juga dia mengembara. Laki-laki itu bersifat pengembara. Dan dia menjadikan
perempuan tersebut sebagai pelabuhan terakhir. Tetapi, tidak semua kejadian
seperti itu. Namanya laki-laki itu unik. Terkadang kami bisa menyukai wanita
sepintas dan merasa mantap dengannya dan tidak berpaling. Semua tergantung
waktu.”
Penjelasan ini mengandung pro-kontra di
kepalaku. Aku hanya bisa berujar mewakili para wanita:
“Hati kami (para wanita) ini bukan
pelabuhan yang dapat seenaknya kamu (para lelaki) singgahi!”
Dan untuk wanita:
“Hargai dirimu!”
Bandarlampung, 11-1-2013
Komentar
Posting Komentar