Jejak Rasul
Jejak
Rasul
Aku
sudah ingin menuliskan catatan ini dari awal Syawal. Akan tetapi, aku sengaja
menetapkan tekad untuk membuatnya sekitar setengah tahun atau lebih setelah
waktu bernama Ramadhan berakhir. Alasannya sederhana. Aku membaca bahwa
generasi terbaik umat ini menghabiskan setengah tahun setelah Ramadhan untuk
banyak muhasabah dan mempertahankan ibadah bulan Ramadhan itu. Dan kemudian
setengah tahun berikutnya digunakan untuk merindukan Ramadhan dan bersiap atas
kedatangannya. Harap-harap cemas dapat bertemu atau tidak. Dan biasanya,
pertengahan tahun isinya banyak lupa dibandingkan ingat.
Sedikit
cerita. Aku pernah mendapatkan ceramah dari seorang ustadz sekitar dua tahun
lalu bahwa kebanyakan manusia adalah hamba Ramadhan. Padahal Allah merupakan
Rabb manusia baik di bulan Ramadhan ataupun di bulan-bulan lainnya. Jadi sangat
aneh sebenarnya bagaimana umat Islam kekinian sangat berburu di bulan Ramadhan
sementara payah di bulan lainnya.
Memang
soal memperbanyak ibadah di bulan Ramadhan dicontohkan. Tetapi sayangnya,
banyak yang menyepelekan di waktu-waktu biasa. Sebuah tolak ukur bagi manusia
akhir zaman yang laksana abu.
***
Hari itu, aku
mengirimkan SMS ke beberapa orang saudariku. Dan beberapa di antara mereka ada
yang istirahat sejenak dari berburu pahala dengan menonton televisi. Acara yang
ditonton berupa lomba hafalan Alquran (tak perlu disebut apa nama programnya).
Di beranda facebook-ku juga bermunculan program tersebut. Ingin menonton? Iya.
Sayangnya, aku kurang suka menonton televisi. Dan di rumah, aku paling tahan tidak
menonton televisi. Bisa seminggu tidak menonton. Sebulan juga sanggup-sanggup
saja. Tapi namanya keluarga awam, ya, kalau mengobrol pasti di depan televisi.
Jatuhnya juga menonton.
Kata saudari-saudariku,
acaranya bagus. Lihat saja temanya. Tapi aku pribadi kepingin rasanya melihat
seorang muslim yang “sedikit terlihat” paripurnalah. Terlihat dari berbagai
aspek. Dan yang disarankan padaku waktu itu Cuma dari satu aspek saja. Jadi,
aku kurang tertarik. Sampai kemudian, aku melihat di Komp*s TV, acara saduran
dari Malaysia. Terlihat dari dubbing-nya yang tidak pas.
Nama acaranya, ya, ini.
Judul catatan ini. Jejak Rasul. Mengintip bagaimana Islam di tiga negara-negara
Islam. Negara-negara Islam yang disorot di sana ada Mekah, Madinah, Yordania, Jeddah,
dan Palestina.
Mungkin ada yang
berkata, “Halah, di Timur Tengah juga sama saja. Islam-nya ada yang
begini-begitu.” Aku katakana, “Ya, masa bodo’. Namanya juga Islam bukan milik
bangsa Arab saja. Surga ‘kan bukan hanya milik bangsa Arab. Dan tolak ukurnya
Alquran dan Sunnah yang sesuai pemahaman para generasi terbaik. Cukup. Kenapa
pakai bawa-bawa orang Arab?”
Aku mengambil hal-hal
baik yang ada di sana. Kalau Islam di Jeddah dan Yordania, aku biasa-biasa
saja. Di Jeddah lebih banyak disoroti jumlah lapak makanan Arab-nya. Tapi yang
menjadi alasan kenapa si tim pembuat acara ke Yordania adalah untuk mendapatkan
izin memasuki wilayah Palestina. Yang menghenyak di sana adalah ketika puasa,
masyarakat Palestina diperbolehkan oleh si Israel untuk melaksanakan shalat
Jumat di Masjidil Aqsha. Masya Allah, jumlahnya. Bahkan tidak ketinggalan para
wanita berkumpul dan ketika dikumandangkan adzan mereka bergegas shalat dzuhur.
Kemudian mengikuti para lelaki shalat Jumat (Shalat Jumat bagi wanita boleh,
ya, tapi sunnah saja. Bukan wajib). Suhu udaranya mencapai lebih dari 40
derajat ketika itu. Banyak lelaki sebelum shalat Jumat dilaksanakan berteduh di
bawah pohon-pohon kurma. Jumlah mereka membludak sampai keluar. Dan terlalunya,
tentara Israel itu membawa senapan laras panjang di kiri-kanan jamaah. Baik
laki-laki maupun wanita. Buat geram saja.
Ketika shalat Jumat
dilaksanakan, para lelaki langsung ambil posisi. Keluar dari baying-bayang
pepohonan kurma, menyungkur sujud di atas pasir gurun tanpa alas. Masya Allah.
Imannya keren. Jauh sekali dengan kita yang berada di negara nyaman, namun
shalat khusyuk saja sudah kalang kabut.
Selanjutnya,
diperlihatkan Masjid Umar. Dikisahkan bagaimana dahulu ketika para pemimpin
Yerusalem menyerah pada pemerintahan Islam, Umar bin Khaththab datang dengan
mengendarai unta. Beliau punya perjanjian dengan pengawalnya saat itu untuk
bergantian naik dan menuntun untanya. Kala itu, baju Umar terciprat lumpur
karena beberapa kali terjerembap. Dan beliau tetap tidak mengganti posisi
sampai di Yerusalem. Luar biasanya, si pengawal “ngambek” dengan Umar bin
Khaththab, khalifah saat itu. Dia mengeluhkan baju Umar yang sederhana, penuh
tambalan (karena saat itu hanya itu pakaian yang Umar punya), terciprat lumpur
pula. Sementara pemimpin Yerusalem yang tunduk pada Islam pakaiannya
mewah-mewah. Umar bin Khaththab sempat jadi bad
mood saat itu. Dia merasa pakaian bernama takwa dan membawa Islam dalam
diri itu jauh lebih baik dari sekadar pakaian kebesaran.
Setelah dijamu dan
diberikan kunci-kunci Yerusalem oleh pemimpin di sana dengan damai, masuklah
waktu shalat. Dan kala itu, pemimpin Yerusalem meminta Umar agar shalat di
tempat itu saja. Tidak perlu keluar karena sedang diselenggarakan pesta. Umar
pergi dengan alasan dia tidak ingin di kemudian hari, tempatnya shalat itu
dijadikan masjid. Padahal tempat itu tempat penyelenggaraan pesta. Dan benar
saja, apa yang dikatakan Umar menjadi kenyataan. Tempat Umar shalat dijadikan
sebuah masjid bernama Masjid Umar. Begitu shirah-nya.
Berlanjut ke kota
berikutnya, Madinah. Jujur, Madinah adalah yang paling aku tunggu. Sebab, di
sana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikuburkan, memerintah, dan hijrah
dengan penuh pengikutnya menerima Islam. Di sana terlihat bagaimana Masjid
Nabawi. Lebih bagus dari di internet. Si pembawa acara datang ke rumah seorang
profesor dari Universitas Islam Madinah. Jangan Tanya nama sama aku. Pasti
tidak ingat.
Profesor tersebut
memiliki istri yang berkewarganegaraan Kanada. Di rumah, ia dan keluarga
menerima tamu. Tamunya terdiri dari si pembawa acara, kru acara, dan beberapa
murid beliau. Beliau menjelaskan bahwa yang namanya menjamu tamu adalah
kebiasaan orang Arab. Kemudian, dia bercerita bahwa hari itu dia menjamu sehingga
tidak dapat berbuka di Masjid Nabawi. Dia menceritakan dengan seri wajahnya
yang sulit diungkapkan dengan kata-kata dan bersemangat bahwa meskipun di rumah
istrinya selalu menyajikan makanan yang enak luar biasa seperti gulai kambing,
nasi kebuli, dan lain-lain, beliau lebih suka berbuka di Masjid Nabawi.
Meskipun berarti berbuka di Masjid Nabawi hanya setangkup roti, yoghurt ukuran
kecil, dan air saja. Rasa kebersamaan dengan seluruh ikhwah muslim saat
Ramadhan dan juga nuansa Masjid Nabawi selalu membuatnya rindu. Masya Allah,
itu sesuatu itu.
Mau tahu bagaimana
berbuka di Masjid Nabawi? Aku terkaget-kaget. Makanannya banyak kalau pakai
versi buka puasaku. Dan harap maklum kalau sedekah di Masjid Nabawi kurang dari
500 buah makanan di sana, siap-siap kesulitan mendapatkan lapak. Dan harus
datang ke beberapa bagian membagikan sendiri. Rupanya, ulama di sana
memperbolehkan adanya semacam blok pembagian makan buka puasa di Masjid Nabawi.
Hal ini dikarenakan kebiasaan tersebut telah ada sedari zaman sahabat. Dan
kebiasaan itu turun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan di sana,
sedekah yang paling kecil bloknya adalah untuk 500 orang. Makanya siap susah
membagikan kalau di sana.
Ada kejadian unik nan
langka yang terjadi di Madinah saat syuting acara tersebut. Turunnya hujan
seteah sekitar dua sampai empat tahun tidak turun hujan. Segera saja, anak-anak
kecil yang belum baligh langsung menghambur dan bersorak bahagia. Kalau yang
menghenyak adalah banyak yang sujud syukur atas kedatangan hujan. Dan setelah
hujan berhenti, dengan sigap para petugas membersihkan lapangan dan juga Masjid
Nabawi untuk berbuka puasa.
Terakhir, Mekah. Di
sana, saat bulan puasa, ceritanya si juru kamera berkeliling kota dan menemukan
seorang pedagang yang “wah” zuhudnya—insya Allah—. Dia berjualan di pagi hari,
membuka sebuah tokoh oleh-oleh di sudut kota Mekah. Dia punya target pejualan
per hari sebanyak 200 riyal (entah berapa kalau di kurs pakai Rupiah). Jika
sudah tercapai, maka mau jam berapa pun jumlah tersebut didapatkan, walaupun
itu masih pagi, dia akan menutup tokonya. Itu keren. Dan bahkan setelah si
pembawa acara dan kru belanja, pendapatannya pas. Dan dia langsung menutup
toko. Tidak terbayang dengan para sahabat seperti Abu Bakar dan Abdurrahman bin
‘Auf yang dalam shirah bisa berhenti full saat bulan Ramadhan.
Soal ibadah, ah, jangan
ditanya. Melihat Ka’bah saja sudah luar biasa sekali. Pusat bumi kalau dalam
penelitian yang disembunyikan NASA. Seingatku, di sana buka puasa pukul 19.30
(waktu Saudi, ya) dan mulai tarawih sekitar pukul 20.20. Selesainya? Jam dua
pagi saudara-saudara. Siapa yang menjadi imam? Syaikh Abdurrahman As-Sudaisy,
salah satu qari’ favoritku. Tidak sampai di situ, selesai shalat tarawih
kebanyakan orang sana makan sejenak, lalu lanjut kajian. Kajiannya? Beda pakai
banget dengan kajian kita yang sampai penceramahnya harus susah payah membuat
pendengarnya tidak mengantuk. Di sana, ulama didatangi. Datang, langsung duduk
rapi bersentuhan lutut sambil siap alat tulis atau senggang berdzikir jika
belum mulai. Ketika mulai, sudah. Air mata sudah pasti mengalir dan wajah
serius minta ampun. Masya Allah.
Satu yang paling aku
suka. Si pembawa acara mengitari Masjidil Haram saat siang menjelang hari
sambil menunggu waktu berbuka. Di salah satu tiang masjid, ada seorang lelaki
khusyuk membaca Alquran Utsmani. Kamera duduk menunggu dia selesai membaca.
Disapalah lelaki itu. Dan ketika menoleh, masya Allah, bagaimana mengatakannya?
Tahu ras negrito? Tahu, bukan,--maaf—bahwa ras negrito berkulit hitam legam?
Tapi itu, binar wajahnya cerah sekali. Matanya memancarkan cahaya yang unik dan
senyumannya tulus. Sejenak terpaku lalu langsung melihat teks translasi di
bawahnya.
Pembawa acara : “Assalaamu’alaikum…”
Yang diwawancara : “Wa’alaikumussalaam, ya,
akhi…”
Pembawa acara : “Maaf menganggu
tilawahnya, ya, akhi…”
Yang diwawancara : “Tidak mengapa…”
Pembawa acara : “Asal saudara dari
mana?”
Yang diwawancara : “Saya dari Afrika Timur.”
Pembawa acara : “Oh… Ke Mekah
bagaimana caranya?”
Yang diwawancara : “Saya berjalan kaki…”
Pembawa acara : “Subhanallah!!!”
Yang diwawancara : “Saya selalu ke Mekah setiap
Bulan Ramadhan. Suasanannya
membuat saya rindu.”
Pembawa acara : “Bagaimana pekerjaan
Anda di sana?”
Yang diwawancara : “Tidak mengapa. Saya
menyengaja di bulan selain Ramadhan
tidak pernah cuti dan ambil liburan agar
jika Bulan Ramadhan
tiba, saya bisa ke Mekah full satu bulan… (tersenyum)”
Imannya, keren. Ini yang
paling aku suka.
Bisa dibayangkan jika
orang yang biasa-biasa saja, yang seperti kita-kita ini, contoh saja orang
Afrika tadi hanyalah seorang hamba yang punya waktu 24 jam seperti kita. Bukan
ulama, hanya ahli ibadah. Dia pun, dengan rajinnya beribadah, dengan pahala
jalan kakinya itu belum tentu masuk surga. Tapi lihat usahanya. Jangan
dikatakan karena dia memang hebat atau bagaimana. Kembali, dia yang begitu saja
belum tentu masuk surga. Kita belum tahu bagaimanakah aqidahnya, bagaimanakah kajiannya,
tapi dari satu aspek menggelitik, ibadahnya. Bahkan dia sampai tidur sengaja
tidak nyaman agar bisa baca Alquran terus-menerus. Jangan tanya Imam Syafi’i,
Imam Ahmad, apa lagi sahabat. Jauhhh sekali…
Kapan
bisa seperti mereka?
Kapan
bisa berhati mulia demikian?
Kapan
punya iman keren macam begitu?
Yah,
sedikit sajalah kalau diperkenankan.
Mari untuk hal ini
mungkin kata-kata ini sesuai tentang hal ini, “Bahwa iman mereka…—mengambil
sedikit kutipan dari seorang sastrawan berinisial ARS—:
“Bukan bagus, tapi
syahdu.”
Bandarlampung, 8-2-2014
Komentar
Posting Komentar