Hehehehe

Hehehehe

Di suatu hari nan terik, tiga remaja berkumpul. Dua di antaranya berusia di atas dua puluh tahun, mengenakan jilbab. Mereka bersalaman dengan seorang perempuan lain yang terbilang berusia lebih muda dari kadar keluguan dan raut wsajahnya. Sekilas, lalu perempuan yang lebih muda tersebut berlalu. Meninggalkan kedua perempuan tersebut berdua. Mereka terdiam sejenak menyaksikan adik tingkatnya keluar dari daun pintu. Siluetnya tepat menutupi dan menyusup ke tubuh keduanya. Kemudian, mereka melanjutkan pembicaraan,

M                : (melihat jam dinding, bola matanya menyusuri detik jam) “Aduh, udah jamseginiBro. Rencana ke Gramed-nya mundur.”
Aku             : “Apa lanjut saja? (sambil menoleh ke arah jam dinding). Ah, bentar lagi ashar.”
M                : (mengangguk) “Iya. Nanti saja.”

Mereka berdua bergegas mengambil handphone di tempatnya masing-masing. Melihatnya sejenak. Mereka tenggelam dalam kesibukan dengan handphone-nya masing-masing. Terkadang tertawa dan bicara sendiri tentang apa yang akan diketik dari baris tombol-tombol.

Aku             : “Aduh, alayalay!”
M                : “Kenapa?”
Aku             : “Ngeliat nama alay, susah banget dibacanya. Sampe keriting ini mata. (terdiam) Ya sudahlah, ya, Prim. Kayak nggak pernah SMA saja. Pasti alay kok.”
M                : “Ih, tapi alay-nya anak SMA zaman sekarang memang keterlaluan. Udah alay,nggak sopan lagi.
Aku             : “Iya, sih. Kawan-kawan adikku pernah nginep di rumah. Masa adikku yang disuruh, disuruh lho, ya, buat nganterin makanan. Ke kamar, bayangin. Apa coba?”
M                : “Adikku si E juga begitu. Jadi kalau kawannya itu datang ke rumah, nggakpake salam. Tahu sendiri Uan* aku itu gimana, Prim. Sekali dua kali diem dia. Pas udahketiga kali, ngomong dia sama adikku. “Kawan kamu itu datang nggak pake sopan. Ajarin dululah masuk rumah yang benerPake salam. Ini masa cuma selonong boy saja. Sekali lagi kayak gitu, Uan usir kawan kamu itu.” Dari situ, Prim. Kawan adik aku kalau datangpake salam “Assalamu’alaikum, E.””
Aku             : “Aku punya sih kawan anak SMA. Untungnya nggak alay gitu. Untung kitanggak alay. (berpikir sekitar tiga detik) Nggak ding. Kita alay. Yah, sama saja. Alay ‘kan…”
M                : (menyambung) “Proses pendewasaan diri.”

Tertawa.

M                : “Tapi memang bener kok keterlaluan alaynya. Apalagi di SMA X. Ampun.”
Aku             : “Itu SMA-nya si S, ‘kan?”
M                : “Iya. Jadi kawan aku, si L (perempuan) ‘kan anak STK*P dapatlah PPL di SMA X itu alay-nya (sambil menggeleng) luar biasa.”
Aku             : “Memang seberapa alay?”
M                : “Jadi, ya, Prim, kayaknya mereka kebanyakan nonton FTV deh. Banyak banget adegan dalam FTV itu masuk ke kehidupan sehari-hari mereka. Jadi, pas ke sana itu, kan kawanku si L itu sama kawan cowok se-PPL itu namanya B, sama ada lagi cewek namanya G. Nah, jadi di sana itu, anak-anaknya suka sama si B itu. Bayangin dong. Masa masuk kelas langsung anak SMA itu ngerangkul tangan si B sambil ngomong, (nada artis-artis yang mendayu) “Ayo, Pak, kita masuk.”
Aku             : “Ih?”
M                : “Iya. Si B ini bukan ikhwan yang paham agama banget. Biasa saja. Kaget dia. Langsung saja spontan dia langsung nggak suka dan ngomong, (nada bass) “Ini apa ini maksudnya?” (normal kembali) Terus harusnya ‘kan nyesel tah apa gitu, malah si anak cewek itu ngomong, (mendayu) “Ah, bapak. Kayak gini ‘kan biasa.” (nada kesal) Kurang sajar nggaktuh?”
Aku             : “Ya ampun. Yang bener saja sih? Itu mah aku juga pucet.”
M                : “Nah, terus, Prim. Si B itu kan ngajar matematika, pas mata pelsajaran dia, siswi-siswinya pada maju ke depan pas ngerjain soal, bilangnya mau nanya. Pas sampe di depan, si B ngejelasin. Si siswi itu deket-deket mukanya sama si B. jadi kalau si B itu menegakkan kepala, Prim, bisa ciuman itu. Pas ngejelasin, si B menegakkan kepala, untungnggak kena. Terus dia bilang, “Eh, lihat itu ke sini…” sambil menunjuk itu soal. “Bukan ke sini.” Sambil menunjuk wajah.”
Aku             : (menggeleng) “Apa sihNggak sopan banget. Dulu aku cair sih, lumayan sama guru. Bandel juga, ya, iya. Tapi nggak kayak gitu juga kali.”
M                : “Nah, pas di waktu lain si B ngajar, kan absen tuh. Dia manggilah salah satu nama siswi di situ. Nggak disuruh maju nggak disuruh apa lho, Prim. Tiba-tiba dia keluar dari ruangan sambil nangis terus menghadap si L yang lagi keliling sekolah. (diam sejenak) Dia langsung nangis, terus ngomong sama si L, “Ibu…” L simpatiklah, namanya juga guru, “Kenapa?” “Ibu, bilangin sama bapak B sih, jangan… hiks… jangan panggil-panggil namaakoh. Akoh… akoh… akoh… akoh tuh nggak bisa… aku… aku.. aku… aku bodoh, Bu. Jadi, bapak B jangan panggil-panggil akuh. Akuh nggak suka.” Habis itu, Prim. Si B kalau ke kelas itu, nggak pernah lagi manggil-manggil si siswi alay itu.
Aku             : “Iya, tah? Kamu sama L saja kali yang lebay sampe gitu nangkepnya? Maksudnya nggak gitu kali?”
M                : “Nggak lho, Prim. Ini saja aku udah kurang ekspresif ketimbang si L. Danbeneran. Nggak bohong. FTV banget!”
Aku             : “Haduh, anak zaman sekarang…”
M                : “Nah, terus, Prim. Di sana ada deh cowok paling ganteng di sekolah itu. Banyak siswi yang suka sama dia. Jadilah si L dan G itu dapet SMS isinya ngancem. Akuditunjukin SMS-nya, isinya kira-kira, “Ibu, ibu tolong eah jangan deket-deket sama si R. Gueudah suka sama dia dari dulu. Ibu jangan coba-coba ngerebut dia dari aku.”
Aku             : “Wow? Nggak sopan. Kalau aku jadi gurunya, udah aku laporin ke kepsek biar sekalian di sidang deh.”
M                : “Nah, makanya itu. Sampe si G itu kesel terus masuk kelas ngomong sama anak kelas di situ. Tolong ya, nak. Saya ini udah kuliah semester tujuh akhir. Saya di sini untuk PPL. Ngapain saya suka-suka sama kalian? Belum ada masa depan. Kalian masihterlalu muda.”
Aku             : “Eh, hati-hati ngomong gitu. Bisa jadi jodohnya di situ, gimanalho?”
M                : “Iya, sih. Tapi melihat kadar alaynya, sepertinya tidak memungkinkan itu mah, Prim. Bisa kamu bayangin anak ingusan nan alay kayak gitu bisa apa? Itu dia udah sampekesel banget makanya ngomong kayak gitu. Yang namanya pengajar ‘kan seharusnyanggak ngomong kasar begitu.”

Aku mengangguk.

M                : “Terus, Prim. ‘Kan si L itu digosipin pacaran sama si B. Padahal mereka temen satu PPL biasa lho. Ceritanya, ada siswi yang mau ultah…”
Aku             : “Hari gini? Masih ultah-ultahan? Haduh…”
M                : “Iya. Terus dia mau ngasih kado ke sahabatnya. Terus dia mau ngambil foto si B itu. Dia datenglah, waktu itu ‘kan si L lagi di BK. Dia ngomong sambil nangis, “Ibu, ibu… Ibu… Sahabat saya mau ultah, bu. Terus dia… dia nge-fans banget sama bapak B. Aku… aku mau mintain foto dia buat sahabat akuh. Ibu ngizinin, nggak? “Lho? Kenapa tanya ke saya? Memang saya siapanya dia?” “Nanti ibu marah…” Ih, apa banget. Nah terus si siswialay itu ngehadep ke B. Dia bilang mau ambil foto. “Bapak, bapak gaya geh, Pak. Yang ganteng.” “Ya, kalo mau foto, ya, foto saja sihPake gaya-gaya segala.”
Aku             : “Apa sih yang mereka pikirin ini?!”
M                : “Nggak tahulah, Prim. Rada sableng emang. Otaknya itu rada lari.”

Aku dan kawanku menggeleng-geleng.

M                : “Ada yang lucu lagi, Prim. Jadi tadi ‘kan aku cerita kalau si L itu deket sama si G. Sebagai guru dan murid ‘kan biasa. Terus pas itu si G lagi ngsajar, dilalah, di kelas itu ada cewek yang suka banget sama itu “si cowok paling ganteng di SMA X”. Terus diadenger kabar dari kawan-kawannya kalau si cowok itu deket sama L. Dia ngomong keras-keras pas G lagi ngajar; pake toa gitu, “Seberapa cantik sih Ibu L itu? Sampe dia bikin cowok gue tergila-gila. Datengin dehGue ajak dia bersaing.”
Aku             : “Woah, ngotak banget tuh. Kalo aku jadi L, udah aku cetur kali kepalanya.”
M                : “Iya, Prim. Greget nggak sih? Aku juga nggak sabar kali kalo muridnya pada kayak gitu. Terus si G itu BBM-lah si L. Minta dia datang ke kelas. Ya sudah, L datangdong. Dikira ada apa. Pas, dia datang, si G lagi ke kamar mandi. Dia nanyalah, “Lho? Kelasnya kosong? Ibu G ke mana?” “Ibu G-nya lagi ke kamar mandi, Bu.” Terus anak yang katanya ngajak bersaing itu bilang dengan alaaay banget, “Huah, ibu… ibu…ibu, ya ampun. Ibu, ibu cantik banget. Aku suka deh sama ibu. Ibu kenalin diri dong.” Si L udah nahan ketawa itu. Ya bayangin sajalah alay kayak gitu. Terus dia memperkenalkan diri, “Assalamu’alaikum, perkenalkan nama saya ibu L…” Belum selesai dia ngomong, anak yang ngajak bersaing itu bilang lagi, “Jadi ibu yang namanya L?!” sontak kawan-kawan sekelasnya bilang, “Udah-udahnggak usah ngajak bersaing. Lo kalah, lo kalah!” Si L nulisdi papan tulis sampe gemetaran, Prim, nahan ketawa.
Aku             : “Sukuriiiin… Seneng bener ngedengernya. Btw, aku penasaran sama yang katanya “si cowok paling ganteng di SMA X” itu. Emang… emang dia itu seberapa tampan rupawan nan gantengnya sihsampe tuh cewek-cewek gagal move on gitu? ”
M                : “Adun juga, Prim.”
Aku             : (menggeleng) “Sudah-sudah lagi, woy. Sekolah yang bener. Belum waktunyadiaorang mikirin cowok. Udahlah.”
M                : “Betul. Belum kalian itu ketemu skripsi.”
Aku             : “Skripsi lagi…”
M                : “Lho, iya dong. Apalagi tagline-nya, “Kamu mau yang berkualitas?”
Aku             : “Bersyukur deh sama Allah ibuku nggak ngebolehin aku masuk FKIP. Tahu sendiri aku orangnya gampang ketawa. Kalau aku sampe di posisi si L mungkin aku nggakbakalan se-cool itu. Bisa jadi aku guling-guling kali di depan kelas. Mana bisa aku jaimbegitu?”
M                : “Sama, Prim. (diam sejenak) Aku ingat satu lagi, Prim. Ini yang paling lucu.”

M tertawa tidak henti. Tokoh “aku” memandang keheranan.

Aku             : “Kenapa sih?”
M                : “Bentar, Prim. (melanjutkan tertawa)

Tokoh “aku” menunggu.

M                : “Jadi, Prim. Ceritanya adalah kayak kita SMA duduk sebangku. Cowok-cowok. Nah, ceritanya itu, salah satu dari mereka itu sakit. Pas hari itu ada tugas dan harus dikumpul hari itu juga. Dia nggak kepikiran kalau bisa nyusul. (mengganti topik sambil bicara gemas) Kayak gini saja nggak kepikiran coba? (melanjutkan serius) Terus, yang sakit itu ngirim MMS jawaban dari soal yang dikasih…”
Aku             : “Akhirnya sedari tadi ada yang bener.”
M                : “Iya, Prim. Terus, dia bilang gini di SMS ke kawannya, “Tolong tulisin, ya? Kalonggak kebaca tulisannya, bakar saja terus minum abunya. Besoknya, pas yang sakit itu datang ke sekolah, dia ngadep L di BK dong sambil nangis-nangis. “Ibu…” “Kenapa?” (diam sejenak) Kira-kira kenapa, Prim? Coba tebak.”
Aku             : (nada bercanda sambil menerka-nerka) “Jangan-jangan dibakar tugasnya.”
M                : (tertawa sambil menghentakan telapak tangannya)
Aku             : (melongo) “Hah?! Iya, dibakar?!”
M                : (menggigit bibir) “Tahu nggak alasannya kenapa?”
Aku             : (masih syok dan hanya mengangguk tanpa sadar)
M                : “Nggak ada “hehehehe”. (M tertawa lagi)
Aku             : (belum nyambung, menelengkan kepala) “Bentar, maksudnya apa?”
M                : (bersusah payah tidak ketawa) “’Kan kalo kita bercanda pake “hehehehe” di SMS. Nah, karena nggak pake “hehehehe” artinya serius. Jadi, dibakar tugasnya.”

Tokoh “aku” beringsut mengambil tas ranselnnya. Dia membukanya, lalu memasukkan kepalanya ke dalam tas dengan wajah datar.

M                : “Prim? Kamu kenapa?”

Tokoh “aku” tertawa diikuti dengan tokoh M dalam cerita. Sesekali, tokoh “aku” melihat sekitar. Memerhatikan sembari menyembunyikan tawa mencari tahu apakah suaranya terlampau kecang. Ternyata tidak. Tokoh “aku” dan “M” kembali tertawa. Setelah beberapa waktu,

M                : “Udah, ah, udah.”
Aku             : “Iya, udah. (selang beberapa detik, tertawa lagi)
M                : “Nah, nggak berhenti dia.”
AKu            : (menahan tawa) “Aduh, mana kamera, mana kamera? Aku nyerah. Akunyerah.” (tertawa lagi sambil melambaikan tangan ke segala arah)
M                : “Sakit perut.”
Aku             : “Iya.” (mengangguk, diam sejenak) Ini tuh, cerita paling alay yang pernah aku dengar seratus meter dari sini tahu, nggak?”
M                : “Ini tuh cerita paling alay se-Asia Pasifik.”
Aku             : “Itu tuh… (terdiam dua detik) Apa padanan kata yang tepat? Oke deh, bahasa SMA-ku keluar. Itu KOPLAK!”
M                : “Inget, Prim. Kalo bercanda harus ada “hehehehe”-nya. Jangan sampe nggak. Nanti ada yang dibakar.”
Aku             : “Punya temen kayak gitu mah, istighfar banyak-banyak deh.”

Kami tertawa lagi.

Aku             : “Apa sih yang dipikirin yang ngebakar itu? Itu lugu, jujur, atau bodoh? (diam sejenak) Ya, sebelas-dua belaslah, ya?
M                : “Entah gimana mikirnya itu.”
Aku             : “Btw, diminum nggak itu tugasnya?”
M                : “Nggak tahu, Prim.”
Aku             : “Coba diminum. Pasti lebih sensasional.”
M                : “Bisa jadi. Ya, tidak, bisa jadi.”
Aku             : “Nah, ketularan alay dia.”
M                : “Entah jadi apa mereka itu kalo kuliah. SMA saja alaynya kayak gitu.”
Aku             : “Iya, ya.” (jet lag sekitar lima detik, sambil memutar-mutar bola mata) “Aku tahugimana kalo kita se-alay itu.”
M                : “Gimana?”
Aku             : “Ayo, kamu mau tau aja, apa mau tau banget?”
M                : “Idih, alay!”
Aku             : “Misal, aku nggak bisa ke kampus. Terus aku SMS, (mengubah nada menjadi super alay)  “M, gueh nggak bisa ke kampus. Skripsi gueh udah dikirim ke email loPrint-interus lo kumpulin ke Pak A, ya? Kalo nggak ketemu Pak A-nya, lo buang saja ke comberan terdekat.” (normal kembali) Terus pas besoknya aku ngadep Pak A, dia bilang, (mengubah suara menjadi agak bass)“M nggak ngumpulin kok ke saya.” Terus aku tanya ke kamu, (nada alay) “M kok nggak ada skripsi gueh di Pak A?” “Kemarin nggak ketemu, jadi guehbuang ke comberan.” (normal bercampur gemas nadanya) Apalagi alasannya gara-garanggak ada “hehehehe”-nya. Aku nggak buakal nangis kayak anak SMA itu. Aku seret kamu ke tengah lapangan, berantem saja kita di sana.”
M                : “Eh? Jangan geh.”
Aku             : “Jangan gitu makanya.”
M                : “Ya, nggaklah. (diam sejenak) Cerita ini kalau dimasukin sketsa tawa keren kayaknya.”
Aku             : “Bisa jadi, bisa jadi.”
M                : “Eh, tapi alay-alay gitu, anak yang ngebakar tugas itu baik lho. Dia suka berdakwah.”
Aku             : “Oh, iya?”
M                : “iya. Jadi dia suka ngsajakin anak-anak sama guru-guru salat dhuha. Tapi yang nggak nahan, ya, gayanya.”
Aku             : “Memang kayak apa?”
M                : “Jadi, dia suka bilang, “Bapak, Ibu, sudahkah salat dhuha?” (sambil memeragakan dengan tangan yang direnggangkan ke kiri-kanan mencontoh seorang di televisi)
Aku             : “Ya, namanya dakwah dengan bahasa kaumnya. Mungkin karena teman-teman dan lingkungannya begitu, dia caranya begitu.” (diam sejenak) “Ya tapi nggak gitujuga sih.”
M                : “Iya. Pernah dia ngajak salat dhuha itu begini…” (diam sejenak) “Jadi, ‘kan arah mushala sama kantin itu bersebrangan. Dia nyegat temennya dong yang jalan di dekat kantin sambil ngomong, (nada lucu) “Mau dhuha-kah?” Alhasil temennya itu marah-marah. (nada kesal)  “Orang gue jelas-jelas jalan ke arah kantin, ditanyanya dhuha. Ya jelas guemau makanlah. Gimana sih?”
Aku             : “Iya juga sih. Agak kurang pas sikonnya.”
M                : “Itu juga dia lakuin sama guru-guru di sekolah. Sampe si B itu marah-marah. Orang jam tujuh pagi ditanya dhuha. Ya jelas belum masuk waktunyalah. (nada kesal) “Iya, iya. Nanti gue dhuha. Buset dah ini anak.” Si L juga sering cerita. Dia datang ke sekolah ituudah yang paling pagi. Masuk itu jam 07.30 dia datang jam 06.30. Anak itu ada saja di sekolah. Padahal di sekolah itu sepi banget belum ada orang. “Padahal M, gue itu udahdatang paling pagi. Ada saja itu anak. Nanyanya salat dhuha. Jam 06.30 coba geh?””
Aku             : “Mungkin dia anak penjaga sekolah kali? Makanya ada di sono?”
M                : “Nggak tahu, Prim. Bisa jadi.”

Waktu memasuki ashar. Dan kami menghentikan pembicaraan seraya bergegas.

Bandar Lampung, 24 Januari 2014

Aku sedang cukup sableng beberapa minggu ini. Aku beberapa kali mencoba menulis tapi kena yang namanya penyakit mental blokSemoga tulisan sederhana ini bisa memancing diriku keluar dari mental blok ini.

Ini terjadi bulan November 2013. Catatan ini berisi fragmen “gubrak” dalam hidupku. Dan berhubung aku sedang rindu-rindunya menulis naskah—setelah sekian lama sekitar dua tahun dan berhenti membaca naskah satu setengah tahun lalu—, maka aku akan membuatnya dalam bentuk naskah. Tapi tentu, setelah sekian lama tidak belajar teknik menulis naskah, bisa jadi banyak ping-pong yang kurang, kalimat minor yang tidak koheren, kalimat yang kering, EYD yang tidak rapi, dan sebagainya. Maaf, ya…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA