Seorang yang Baru

Hari ini, aku tepat sampai di sebuah tempat yaang sempat menyematkan kenangan ke beranda hatiku. Kenangan di mana kisahku dan kisah mereka pernah bersilangan, berhimpit. Sebuah sekolah menengah atas yang dipenuhi jutaan remaja tanggung. Aku dulu adalah mereka. Aku dengan keceriaan yang sama dan juga senyuman yang sama, juga tempramen yang sama.

Ketika hari ini aku mengunjunginya untuk menemui seseorang, apa yang aku dapati? Semua berubah dan bergerak. Seperti teori tentang waktu yang tak pernah berjalan mundur. Atau tentang semesta yang senantiasa mengembang, melahirkan jutaan bintang baru di setiap masa.

Mata mereka menghujamku tajam. Mungkin, karena aku jauh berbeda dengan sebelumnya. Aku tidak lagi berteriak-teriak riang. Aku bahkan tidak lagi kalah pendiam dengan lukisan gajah yang baru saja dicat bulan ini.

Aku menghampiri tempat yang dahulu adalah wilayah kekuasaanku. Teritorialku. Namun, ia berubah dengan sangat cepat. Ia gegap dengan lusinan mobil yang dahulu tak pernah ada izin untuk berlabuh di jemari kakinya.

Aku terduduk diam sejenak di sana. Dan aku membandingkan diriku dengan adik-adik tingkat yang tak mengenalku. Berbeda. Jauh. Padahal sebelumnya, aku jauh lebih cerewet dari perempuan yang berteriak kepada kawannya yang hanya berjarak sekian jengkal. Padahal dahulu, aku lebih ceria dari panasnya mentari.

Tapi sekarang? Aku terduduk anggun di bawah teritorialku dengan asing. Aku menyilangkan kakiku seperti wanita pada umumnya. Bersikap seolah tidak perduli.

Semua sudah sangat berubah. Aku membaca pikiran semu yang kubuat sebagai imaji pikiran adik-adikku. Aku tebak, mereka akan pergi les, bermain, atau sekadar melabuhkan mimpi di rumah. Berangan-angan di suatu tempat yang jauh.

Aku dulu begitu. Tapi kini, itu bukan waktuku lagi.

Dahulu semua memang serba sempurna jika dilihat sekarang. Dahulu memang semua terkesan sempit. Sekarang, semua bentangan ada di hadapanku tanpa semua batas yang ada.

Berbeda. Ini bukan lagi tempatku.

Aku nyaris lupa, seperti apa aku dahulu. Semua berkelebat seperti mimpi yang nyata. Seolah kemarin aku berkenalan dan membuatmu sebal. Seperti kemarin kita bercengrama kemudian marah karena egois yang terlampau besar. Seperti kemarin.

"Siapa aku sekarang? Kenapa aku berubah?" Aku tetap aku. Aku berubah dengan keinginanku sendiri. Dan aku menyukainya.

Kemarilah semua yang pernah aku kenal. Aku ingin berkenalan lagi dengan kalian. Sejenak, sampai akhirnya kita berpisah.


Bandar Lampung, 11 April 2013
Gagal bertemu denganmu, wahai guruku. Dan aku kembali ke kampusku di bawah gazebo kecil yang tertiris air hujan. Aku menulis sebagai wanita yang baru, dengan baju marunku, seorang yang anggun. Seorang yang sebelumnya takkan pernah kubayangkan ada menjadi aku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA