Sampah



Sampah


Bagaimana, ya, aku akan menceritakan ini kepadamu? Baiklah. Aku mulai dengan keadaaan laptopku yang lagi-lagi bermasalah. Sebut saja, semua tulisanku ada di dalamnya. Dan aku mau tidak mau harus menyimpannya di jejaring ini segera. Aku sedikit sebal dengan ide menyimpannya sebagai draft. Maklum,aku tipikal orang yang lebih konsisten untuk total dalam suatu hal. Dipublikasikan atau tidak. Iya, iya sekalian. Tidak, tidak sekalian. Tidak ada pertengahan. Kalau mau yang tidak jelas demikian, akhiri. Titik.

Aku berpikir ulang ketika melihat cermin malam ini. Benar, di bawah lampu yang temaram aku nyaman melihat wajahku sendiri. Berbeda dengan saat terang atau saat-saat di mana para perempuan kebanyakan suka bercermin. Sederhana. Aku tidak suka wajahku tertimpa cahaya yang teramat tegas.

Aku orang yang terlalu pemalu, sebenarnya. Sampai-sampai mencapai tahapan minder alias tidak percaya diri. Benar, aku tidak punya percaya diri yang cukup sebagaimana kawan-kawan sebayaku.

Terakhir sebelum berlabuh di atas kasur ini, aku meminum segelas air dingin dengan tubuh yang teramat tidak nyaman sejak seminggu lalu. Sayangnya, aku enggan untuk memberitahukan ibuku yang sudah banyak masalah. Perasaan sakit seperti ini sering kualami dan kurasai sendiri. Biarlah ibu anggap anaknya ini malas atau sebagainya. Itu lebih baik. Biarkan persepsi itu menjadi nyata meskipun bukan kenyataan.

Aku enggan mendatangi dokter-dokter berwajah dingin itu. Setiap memikirkannya, aku mengingat kematian ayahku. Pengobatan tidak menjamin. Waktu pun terbuang.

Silahkan lihat itu sebagai sisi pesimis. Aku hanya tidak ingin membuang waktu hidupku ini untuk merasai sakit yang tidak sesakit di dalam hati.

Apa yang menjadi penyebab kerusakan dan kehancuran keluargaku, aku akan membencinya. Salah satu tanda dari cinta. Semoga tidak berlebihan.
Kembali.

Seperti apa rupa di cermin itu? Ah, bahkan untuk diriku sendiri, aku adalah orang yang tidak cukup untuk dipandang. Entah mengapa.

Aku masih ingat saat kawan kecilku berteriak kala terik menyengat itu, “Prima, kenapa kamu tidak menyibakkan rambutmu?” Aku hanya tersenyum kaku.

Aku tidak mungkin menjelaskan kepadanya bahwa aku tidak suka terlihat. Aku tidak suka dikenali.

Beberapa orang sering terkejut mendapati aku, orang yang riang ini sebenarnya pemalu. Mendapati bahwa aku, orang yang berani malu saat pentas adalah orang pemalu.

Mereka bertanya, “Mengapa demikian?” Aku juga tidak mengerti.

Di duniaku yang sebenarnya terjungkir-balik—dan kuyakini setiap orang demikian dengan kadar berbeda—aku sama sekali tidak membutuhkan orang yang hadir kemudian pergi. Cukup beberapa saja, tapi mereka setia di sisiku. Itu cukup.

Buat apa banyak orang tanpa adanya suatu kelanggengan dalam kepercayaan? Membuang waktu.

Soal membuang waktu, aku tersenyum mengingat gembiranya aku shalat magrib hari ini. Pikiranku menerawang penuh rasa kasihan pada mereka yang membuang waktu itu. Kadang tak habis pikir demi sebuah hubungan yang pasti tidak abadi, mereka galau setiap waktu. Apa gunanya?

Aku merasa bersyukur tidak lagi disematkan perasaan itu saat ini. Jika pun terpikir, aku tidak lagi memikirkan tahap main-main.

Rasanya lega. Bebas.


Bandar lampung, 16 April 2013
Pukul 23.59 WIB
Pray for better (after)life :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA