Resonansi (Lebih Dahsyat dari Jatuh Cinta)


Resonansi
(Lebih Dahsyat dari Jatuh Cinta)

*Based on My Life on 30th December 2012


Hari ini aku bergabung dengan kawan-kawan seperjuangan untuk mengadakan sebuah tabligh akbar di sebuah masjid besar di Bandar Lampung. Aku sedikit kebingungan karena di hari Rabu, aku tidak dapat mengikuti rapat sebab tidak diperbolehkan mama keluar hari itu. Dari video yang direkam oleh sahabatku SMA yang ditakdirkan kini satu tempat halaqah denganku, aku melihat bagaimana tim kami rapat.

Alasan hari itu dipilih sebagai waktu yang pas untuk tabligh akbar juga salah satu yang menarik. Kenapa orang suka menghambur-hamburkan uang dan terjebak dalam free-sex di Tahun Baru yang tidak disyariatkan? Kenapa tidak kita lebih menghisab diri dalam pengurangan umur dunia ini?

Tidak seperti biasanya di mana kami hanya bergumul dengan para akhwat, kami berjibaku dengan para ummahat. “Nanti kalo rapat dengan ummahat, yang akhwat jangan mau kalah, ya? Mereka udah ummahat, harusnya kalian lebih semangat.” Begitu ujar murobbiku. Akan tetapi setelah melihat video itu, aku terkesima. Ya Allah... Para ummahatnya cerewet bukan main.

Aku dan sahabatku membicarakan sebuah hipotesis bahwa sebenarnya tidak ada wanita yang tidak cerewet. Lihat saja para ummahat dan ibu-ibu kita. Bukan wanita kayaknya kalau tidak jago mengomel.

Kami yang saat itu mengenakan dresscode jilbab berwarna cokelat diwajibkan hadir jam tujuh pagi. Dan kami datang cukup tepat waktu. Satu per satu yang akhwat datang. Para ummahat sudah izin datang terlambat. Secara, ummahat membereskan rumah, mengurus anak dan suami. Jelas, kami para akhwat kalah sibuk. Kami berkontribusi memang adalah di bagian tenaga sedangkan para ummahat di bagian dana.

“Ya iyalah, Mbak, ummahat enak kalo keluar duit mah. Uang, ada. Mobil, ada. Punya suami semua lagi. Kalo yang akhwat mah? Duit? Orang tua yang kasih. Mobil? Haduh, boro-boro.” Begitu ujar kawanku menanggapi kritisisasi dari murobbi kami tentang kontribusi. Kami tertawa dibuatnya.

Seperti biasa, aku yang tidak menyukai garis koordinasi yang tegang, muter-muter nggak karuan di masjid. Kami berdua mulai dari mengangkat makanan, menyalami tamu, dan lain-lain. Sementara yang lain, pada kalem-kalem duduk dan bekerja di tempatnya. Satu per satu ummahat datang. Dengan jilbabnya yang mencapai lutut dan juga cadar-cadarnya, kami bersalaman dengan mereka. Mereka sudah menyiapkan snack.

Tak beberapa lama, datanglah para peserta satu per satu.

Sejujurnya, aku pesimis masalah kajian. Seperti yang kita tahu, berapa sih orang yang tertarik dengan kajian? Tapi subhanallah... Ramai sekali yang datang. Sekitar lima puluh untuk di akhwat.

Di sela kesibukan kami, aku tertarik dengan salah seorang akhwat (atau ummahat) bercadar mengenakan warna hijau muda yang datang dengan tas besarnya. Aku ingin menegurnya. Tapi aku sungkan. Hingga aku mengajak kawanku untuk mendekatinya. Kawanku enggan. Kebetulan, seorang ummahat tertarik pula dengan wanita itu ketika mendengar ketertarikanku. Alhasil, seorang ummahat kami mendekatinya.

Wah, akhwat payah! Nggak beranian. Tapi kata murobbi sih, seorang akhwat memang harus pemalu (alibi!)

Akhwat berjubah hijau itu membuka cadarnya. Dan terlihatlah wajahnya yang pucat bak bulan purnama dengan matanya yang jernih. Mengingatkanku pada mata balita yang cantik. Aku terpana, selalu, setiap bertemu dengan wanita bercadar.

“Mbak, assalaamu’alaikum...” sapaku ramah.

Walaikumussalaam...” jawabnya lembut.

“Mbak dari mana?”

“Oh, ana baru safar ukh, dari Jakarta.”

“Oh, dari Jakarta. Pantas bawaannya banyak, Mbak?” kata sahabatku.

Ummahat tersebut mengangguk.

Umi baru safar sampai jam segini?”

“Jangan panggil ana umi, ukh...” katanya panik. Namun suaranya tetap saja merdu bagaikan kicauan burung di pagi yang segar.

Lho kok? Jadi dipanggil Mbak atau Umi, nih?” kataku sedikit melongo.

“Aduh, ana masih muda.”

Aku sedikit menerka. Paling muda 23 tahun, mungkin.

“Memang umur Mbak berapa?” tanyaku penasaran.

Ana umurnya dua puluh tahun...”

Aku kaget. Wow??? Dua puluh tahun dengan kelembutan hati begitu? Aku juga dua puluh. Tapi tidak demikian. Beda kali, ya?

“Kenapa ke Jakarta, Mbak?” tanya sahabatku memecah kekakuan.

“Oh, ana habis ke tempat saudara.”

“Tidak dengan suaminya, Mbak?”

“Nggak. Suami ana sedang kuliah di Madinah...”

Beuh. Aku dan sahabatku terdiam beberapa detik. Dahsyat!

“Menikah sejak kapan, Mbak?” aku mulai kepo.

“Sejak umur delapan belas tahun... Tapi belum memiliki anak... Jadi bukan ummahat.”

“Boleh aku minta nomor, Mbak?”

“Boleh...”

Oke. Dua puluh tahun dengan tingkat kedewasaan dan kelembutan demikian. Sudah menikah sejak dua tahun lalu. Suami kuliah di Madinah. Asumsiku suaminya dan beliau hafizh dan hafizhah.

Beliau berlalu setelah minta maaf karena tidak dapat mengikuti tabligh akbar yang kami buat.

Lalu, dimulailah tabligh akbar tersebut. Aku dan sahabatku menunggu di depan pintu akhwat untuk menyambut yang datang. Kami menantikan salah seorang ustadz dari Sulawesi Selatan yang diundang murobbi kami ke Lampung.

Deg. Hatiku terlonjak dari tempatnya saat mendengarkan tilawah Al-Qur’an saat itu. Sampai rasanya seluruh tubuhku lemas. Aku tak dapat bergerak. Keringat bercucuran. Saraf tidak terkendali dan sampai lupa menarik nafas.

‘Siapa yang membaca Al-Qur’an?’ Tanyaku dalam hati. Betapa bagusnya. Aku berencana untuk merekamnya. Tapi justru tenagaku raib tiba-tiba. Handphone-ku terjatuh dua kali dari tangan dan membentur keramik masjid yang cukup keras.

Kawanku beraksi merekam. Sementara aku, terdiam sambil bercucuran air mata. ‘Kenapa?’ Begitu tanyaku dalam hati. Biasanya tidak begini.

Ada suatu resonansi yang luar biasa kuat. Aku mengatakan dalam hati, ‘Kamu lebay deh, Prim!’ Namun bukan lebay. Karena meskipun dipaksa resonansi itu tidak berhenti.

Aku teringat kapan aku pernah memiliki resonansi sebesar ini. Saat jatuh cinta? Ah, tapi resonansinya tidak sekuat ini.

Aku terkaget-kaget sendiri. Aku pikir bahwa mencintai seseorang adalah resonansi yang paling kuat. Tapi ternyata, ada yang lebih kuat. Dan itu kurasakan saat mendengarkan tilawah itu. Ternyata, aku bisa mencintai lebih lagi. Masya Allah... Betapa kuat hati manusia itu? Saat seluruh makhluk menolak tugas memikul Al-Qur’an, hati manusia sanggup. Kini aku paham. Betapa uniknya hati itu.

Selesai tilawah, aku meminta rekaman sahabat dan kawan-kawanku. Aku mendengarkannya lagi, berulang-ulang sampai sekarang. Namun karena direkam, resonansinya hanya terasa setengah dari energi sesungguhnya.

Acara kami berjalan lancar. Walaupun memang ada kekurangan yang merupakan suatu keniscayaan. Ibu-ibu masih membuka tirai hijab. Mereka belum terbiasa dibalik hijab seperti kami.

Lalu, selesai acara, kami berbenah. Aku bertemu dengan tiga orang lagi yang luar biasa. Satu, adalah anak seorang ummahat yang baru saja memasuki kelas lima atau enam SD. Namun tubuh dan kedewasaannya luar biasa. Sudah terbiasa mengenakan cadar di pondok pesantrennya.

Selanjutnya, kami bertemu dengan dua orang anak TPQ murobbiku saat itu yang sedang menghafal juz 28. Wow. Teriris dan tersindir hati ini rasanya.

Memang menjadi yang dan/atau salah satu yang terbaik di bidang keduniaan adalah suatu kebanggaan.
Namun, dengan itu semua tidak cukup. Semakin kau mendekat ke dunia, semakin tersisih akhiratmu.
Seberapa banyak orang yang tahu dan meneladani para penghafal Al-Qur’an ini?
Masya Allah...
Merekalah orang hebat sesungguhnya!
Mereka menjaga Al-Qur’an yang merupakan syafaat.
Menjaga Al-Qur’an yang suci dan murni.
Sungguh tugas yang berat.
Dan mereka sulit terlihat.
Seperti mutiara yang tersembunyi dalam gelapnya samudra.


Bandar Lampung, 5 April 2013
Pukul 01.47 WIB
Aku terkagum dan menyindir diri sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA