Senja di Matamu Menembus Hatiku
Senja
di Matamu Menembus Hatiku
*Based
on My Life on 2009-2010
Aku akan menceritakan sesuatu dan
seseorang yang penyataannya menembus hatiku selamanya. Dia salah satu rahmat
Allah kepadaku. Dia hadir di suatu saat yang tepat di persimpangan hidup yang aku
tadinya berpikir... aku takkan memiliki pilihan.
Pilihan apa yang aku punya? Aku memang
dididik sebagai seorang ‘calon’ karyawan kesepian dari kecil. Dididik sebagai
seorang yang individualistis dan tidak ramah. Aku bahkan sudah berancang-ancang
menyiapkan sebuah kesepian yang paling dalam saat kematianku, dulu.
Pemikiranku dahulu sederhana. Lepas SMA,
masuk akuntansi, menjadi pegawai bank, menjalani hidup secukupnya, dan mati.
Mati di tengah ruangan yang dipenuhi kulit gelap dan landscape mendung. Kesedihan yang sempurna.
Dia datang padaku dengan perlahan
menunjukkan kearifan di tempat yang tak pernah aku sangka. Dia datang dengan
wujud yang teramat kasar, membentakku amat kasar tentang betapa berat siksaan
Allah pada manusia yang tidak taat pada perintah-Nya. Aku yang menangis tiap
malam memutuskan berhijab secepat-cepatnya dan senekat-nekatnya. Padahal aku
tahu, tanggunganku amat berat. Alhamdulillah, aku kuat.
Dia, yang hadir di hidupku kala itu,
tidak berhenti berdakwah padaku hanya sampai aku mengenakan hijab saja. Dia
juga memecutku dengan sadis untuk bersegera melaksanakan amalan sunnah serta
menularkanku virus-virus dari Al-‘Alaq ayat pertama. Iqra’...
Aku tentu bukan takut pada sosok beliau
yang hadir kala itu. Atau ambil hati beliau untuk nilai kelulusan. Kalau yang
dua demikian, tanpa perlu aku dekat dengan beliau aku insya Allah yakin dapat
melaluinya dengan cara yang halal. Akan tetapi yang membuatku teramat mematuhi
beliau kala itu, entah mengapa ada suatu senja yang hadir di hatiku ketika
beliau menyatakan apa-apa yang beliau ketahui. Aku mencintainya. Beliau mungkin
orang pertama yang benar-benar mampu sampai ke pintu hatiku; tepat di inti.
Suatu ketika selepas shalat dhuha di
mushala sekolahku kala itu, aku bertemu dengan beliau bersama dua kawanku yang
lain. Kami bertegur sapa. Dan beliau menjelaskan dari tata cara shalat kami dan
juga tingkah kami yang salah dari syariat dan fikih yang beliau ambil. Lalu...
“Setelah dari sini, kalian mau ke mana?”
tanya beliau kepada kami bertiga di ruangan mushala yang sejuk kala itu. Aku
bersandar di tembok dan kami membentuk lingkaran kecil.
“Kalau saya, Bu, saya akan masuk ke ***.
Kemudian, saya akan menjadi dosen dan membuka yayasan,” demikian jawab salah
satu kawanku. Sebut saja A dalam cerita ini.
“Kalau kamu, B?”
“Saya akan masuk D**. Ibu saya bekerja
di sana. Setelah lulus, saya akan bekerja di sana. Yah, jadi dosen, Bu. Kalau
bisa ambil keguruan. Jadi guru TK atau SD. Saya suka anak kecil sih, Bu.”
“Kalau kamu, Prima?”
Saya enggan menjelaskan perkataan pasti
yang kulontarkan saat itu. Aku berencana memasuki tempat kuliah akuntansi
terbaik di Indonesia. Dan saya insya Allah cukup mampu jika menilik kegiatan
belajar saya yang non-stop dan gila-gilaan kala itu. Saya bilang selanjutnya seperti
apa yang saya lontarkan di awal paragraf. Namun, tanpa ada masalah mati di
sana. Dan tanggapan ibu itu...
“Nak... Itu tidak bijak. Kamu memang
akan mendapatkan banyak uang dengan bekerja dan kuliah di sana. Tapi apakah
kamu tahu bahwa dalam Islam seorang wanita diwajibkan berada di rumah?”
Aku mengangguk.
“Allah menurunkan firman tersebut bukan
tanpa sebab. Sebab wanita adalah ibu dari anak-anaknya dan istri dari suaminya.
Kamu bayangkan sekarang kamu bekerja di bank. Pergi dari jam tujuh pagi dan
pulang malam. Kapan waktumu untuk melayani suami dan anak-anakmu?”
Aku tercekat.
“Kamu mungkin bisa menjawab dengan
membayar jasa pembantu rumah tangga. Sehingga pembantumu mengurusi semua yang
dibutuhkan di rumahmu. Tapi, pertanyakan. Untuk apa kamu menjadi wanita?
Anak-anakmu tidak mengenalmu. Rumahmu begitu dingin. Tidak ada keharmonisan di
sana. Dan yang ada hanya apa? Lembaran-lembaran uang.
“Ibu akan bercerita padamu. Dulu, saya
adalah seorang bendahara di suatu tempat yang bergengsi. Saya pulang sampai
larut malam. Dan ingat, saya wanita. Hingga akhirnya saya berhijrah menjadi
seperti ini dan saya memberikan surat pengunduran diri ke lembaga yang
bersangkutan. Kamu tahu apa yang dikatakan si kasir?”
Aku menggeleng. Air mata nyaris menetes
dari manik mataku.
“Dia bukannya mencibir saya atas apa
yang telah saya ambil. Dia justru berkata, “Selamat, Bu. Ibu telah mengambil
keputusan yang benar.” Dia mengatakannya sambil tersenyum. Hal itu karena dia
jelas tahu rasanya setiap hari lembur dan pulang malam.
“Dan, Nak, apa kamu siap jika
anak-anakmu tidak mengenal siapa ibunya?”
Deg. Sesak. Perkataan ini membuatku
terasa amat sesak. Padahal sesungguhnya aku tidak pernah sekalipun insya Allah
memikirkan masalah rumah tangga dan juga anak-anak saat itu. Aku hanya
memikirkan saat itu.
“Sebagai wanita dan seorang ibu, Nak...”
beliau juga tercekat. Beliau memandang mataku dalam dan lama sekali.
“Itu adalah penyesalan yang tidak akan
berakhir nantinya...”
Air mataku sudah tidak tertahankan dan
aku hanya menunduk dalam. Jangan terlihat... jangan terlihat! Air mata ini
tidak boleh terlihat. Aku melihat sekilas tatapan memelas dan kasihan dari
kedua kawanku yang prihatin atas diserangnya diriku. Jikalau beliau adalah
teman sebaya kami, sudah tentu, mereka akan memintanya berhenti. Tapi berhubung
bukan, mereka hanya berusaha memberikan isyarat pada beliau untuk berhenti. Dan
sayangnya, beliau tidak paham sedari tadi.
“Tapi semua keputusan ada di tanganmu.
Kamu yang memilih. Pilihanmu ini menentukan kamu ke depannya, Nak.”
Beliau berlalu karena hendak mengajar di
kelas yang telah dijadwalkan. Beliau mengenakan kaus kakinya dan berlalu
setelah mengucap salam.
Tinggallah aku dan kedua temanku masih
terpaku dengan senyuman canggung mengiringi kepergian ibu itu. Dan... sungguh
tidak tertahankan, aku menangis tersedu-sedu. Aku menahannya sebisa mungkin dan
cukup berhasil hanya dengan beberapa tetes air mata.
Sayangnya, panas di mataku tidak kunjung
pudar hingga setiap malam setelah pagi itu, aku menangis sendirian.
Mungkin karena aku wanita, aku sangat
terpengaruh. Aku benar-benar sungguh bisa membayangkannya. Mereka akan sama
denganku di suatu sisi atau banyak sisi. Mereka dapat menjadi baik atau buruk
dnegan satu keputusanku ini.
Aku bergumul dengan hatiku pribadi.
Tidak perlu kaudengarkan. Apa dia
tahu bagaimana kamu butuh dengan uang. Ingat ibumu?
Jadi, kamu siap untuk tidak
dikenali oleh mereka? Siap menentang hukum Allah?
Tidak seekstrim itu. Hanya keluar
buat kerja. Syar’i kok.
Mampu kamu tetap berdiri tegar
menghadapi keluargamu tanpa letih setelah bekerja?
Kamu bisa.
Ya, kamu mungkin bisa. Tapi... kamu
tahu, bukan, perkiraan penyesalannya?
Aku memikirkannya sekian ratus kali.
Sekian juta kali setiap selang waktu. Namun, aku tak kunjung memilih. Hingga akhirnya,
aku berdoa dengan hati yang hancur setiap kesempatan yang ada,
“Ya Allah... Aku tidak sanggup
memilih. Aku hanya ingin yang manapun yang dapat mendekat kepada-Mu... Takdir
yang baik... Bila ada kerisauan yang ada, Ya Allah... Rabbi... Tolong aku. Sesungguhnya
Engkau Yang Maha Pemelihara.”
Kala itu, aku belum mengenal shalat
istikharah. Akan tetapi, hatiku serta-merta alhamdulillah dibuat mantap
oleh-Nya. Setiap saat aku hendak memegang buku akuntansi, buku menuju
tempat-tempat yang kuinginkan itu, bahkan untuk sekadar les mempersiapkan diri
selalu ada rintangan yang berat luar biasa. Rasanya ada rantai berat di hati,
pikiran, dan kaki-kaki kecilku. Ditambah dengan kondisi keluarga yang tidak memungkinkan
waktu itu.
Kautahu? Jalan yang kupilih ternyata
sangat payah mendaki. Tapi, dalam Surat Al-Balad, memang jalan orang-orang yang
beriman itulah yang pendakiannya sulit. Aku belum seberapa. Di luaran sana,
telah kutemukan kawan-kawan seperjuangan yang bahkan menghadapi kesulitan yang
jauh lebih ekstrim lagi dariku. Aku bersyukur. Mungkin dengan keimanku yang
belum seberapa ini, memang aku hanya sanggup sebegini.
Di awal masuk kuliah, aku benar-benar
disorientasi. Hidupku... entah. Penuh dengan serbuan tanda tanya dan seru.
Apakah tindakanku benar? Apakah aku bodoh? Apakah, apakah, apakah... Diam! Dan
aku menepisnya dengan teramat kasar yang sebenarnya membuat suara-suara itu
kian menyata di telingaku. Aku berusaha menjaga kewarasan dan tempramenku yang
semakin lama semakin menjadi.
Mereka banyak bertanya, “Apa visimu? Apa
rencanamu, Prima?” Aku ingin menangis sesungguh-sungguhnya. Aku menjawab dengan
penuh kekikukkan dan ketidakpastian. Sebenarnya ingin aku katakan saja, “Aku
tidak tahu,” atau “Aku belum tahu,”. Sayangnya, mereka tidak puas dengan jawaban
itu. Dengan pikiranku yang serba rumit, aku lagi-lagi harus memikirkannya. Dan
semua selalu... Allah yang menjadi tempatku bersandar untuk kutanyai saat yang
lain tidak mengerti. Masya Allah, aku mengerti bahwa masa depanku ada di
tangan-Nya. Aku harus bersabar sedikit lebih lama lagi.
Apakah aku telah ikhlash? Apakah aku
telah sabar? Wallahu’alam.
Di hatiku ada campuran gelitikan setan
ketika mengetahui banyak orang yang dibukakan jalan seperti apa yang aku
inginkan. Betapa mudah mereka berbuat. Tidak berpikir serumit yang aku lakukan.
Tidak perlu pergolakan batin yang memayahkan.
Tidak perlu masalah safar, tidak perlu
masalah kewajiban kuat muslim ketika berada di tempat safarnya seperti apa,
tidak perlu paham wala’ dan bara’ seperti apa. Tidak perlu. Permisif.
Namun, ketika aku mengingat bahwa
kemungkinan lalai akibat nikmat yang dibukakan, betapa kasihannya mereka yang
memakan namanya kehedonisan dan juga penurutan hawa nafsu, hatiku netral
kembali. Setidaknya mereka tidak merasakan apa yang semakin menjernih di hati
ini. Apa yang semakin membuat rasa ketergantungan kepada-Nya teramat nyata.
Di tahun ini, 2013 dalam kurun waktu
tiga bulan, aku mendapatkan pelajaran yang sangat menampar. Aku mengerti
hikmah-hikmah Allah menghalangiku ke sana. Paradigma yang berubah, kawan-kawan
shalihah yang insya Allah disayangi Allah, kemudian diriku meringankan orang
tuaku, dan aku ada di saat ada badai di keluarga kecil maupun besar ini.
Kutemukan wanita-wanita luar biasa yang juga memilih jalan yang sama. Namun
berbeda denganku, penerimaan mereka sungguh purna. Ah, waktu mungkin yang
menjadi sebab.
Kusadari sesuatu. Aku memang dibutuhkan
di sini. Bukan di tempat yang kuinginkan itu. Bukan di sana.
Bandar Lampung, 3 April 2013
Pukul 01.35 WIB. Aku merindukan hidayah
yang luar biasa, lagi...
Komentar
Posting Komentar