Coba Balik Logika
Coba Balik Logika
Aku bukan orang yang pandai materi
logika dalam matematika. Aku juga tidak suka dengan filsafat. Jadi, catatan ini
tidak ada hubungannya dengan kedua hal ini. Mungkin sedikit.
Kemarin, di kala lelah aku mendengar
sebuah keluarga dengan suara yang menguar masuk ke jendela kamarku.
“Sabar, sabar! Memang
dengan sabar kita dapat apa, Mak?”
Begitu ucap seorang anak kepada ibunya
dengan nada meninggi. Aku kaget bukan kepalang mendengarnya. Mungkin, kalau aku
yang menjadi ibu dari anak tersebut, aku sudah menangis. Sang ibu menjawab
dengan cukup emosi meminta anaknya bersabar atas besarnya tekanan ekonomi yang
melanda keluarganya.
Kejadian ini membuatku kembali dengan
memori lama. Aku bercermin bahwa beberapa tahun lalu, terutama saat usiaku
belasan aku dan orang-orang sekitarku juga pernah menyatakan hinaan atas nama
sabar. Meskipun tidak sama persis kejadiannya.
“Sabar, sabar. Gundul
kamu itu sabar?”
“Sabar terus.
Bertindak dong.”
“Capek, woy. Sabar
mulu.”
“Perasaan, saya ini
sudah orang paling sabar deh.”
Demikian. Semisal dan semisalnya lagi.
Sejujurnya, aku banyak menyesali hal
ini. Coba balik logika. Apa yang didapati dengan ketidaksabaran? Apa? Sebutkan.
Aku bantu dengan kelelahan, mempertanyakan takdir, kemudian lama-lama
mempertanyakan keadilan Allah. Seperti dpernyataan si anak tadi, dia juga jadi
tidak hormat kepada orang tua. Bukankah muaranya itu? Bayangkan saja, sabar itu
tingkat paling rendah. Masih ada tingkat rida. Jika sabar saja belum, apalagi
mau masuk ke tingkat selanjutnya? Pikir!
Sementara jika di balik. Apa yang
didapati dari sabar? Tentu banyak sekali. Aku bantu di antaranya seperti lebih
fokus pada mencari solusi, jauh dari umpatan dan makian kepada sesuatu apapun, dan
berpahala tentunya. Bukankah mahsyur sudah pernyataan bahwa duri kecil saja
yang menusuk kaki seorang yang beriman kepada Allah dapat meleburkan dosanya? Kurang
apa?
Sering yang namanya sabar diremehkan. Seolah
sabar itu pasti pasrah. Padahal tidak demikian. Guna mencari dan mendapatkan
sifat yang baik saja, perlu ada yang namanya sabar. Berusaha butuh sabar. Karena
terkadang hasil tidak cepat terlihat. Terlihat di dunia apalagi di akhirat. Tambah
belum terlihat. Belum lagi, hasil dari perbuatan itu ada juga yang terlihatnya
di akhirat, tidak di dunia.
Memang, dinyatakan bahwa manusia itu
bersifat tergesa-gesa. Kebanyakan sumber utamanya adalah tidak suka dengan
takdir yang menimpanya. Padahal takdir masalah ujian yang paling besar, bencana
paling besar itu menimpa nabi dan rasul, kemudian yang semisal, dan yang
semisalnya. Tentu, ujian antara yang beriman dan tidak berbeda. Semakin tinggi
iman seseorang dinyatakan semakin kencang ujian berhembus. Jadi, jangan
berharap mendekatkan diri pada Allah itu selesai perkara. Pasti diuji.
Bandarlampung, 3-6-2014
Prima Helaubudi
Mengintakan diri sendiri...
Bersiaplah...
Komentar
Posting Komentar