Berkah Adalah yang Terpenting

Aku akan membagikan apa yang dahulu tamong (nenek, dalam bahasa Lampung) dari pihak ayah nasihatkan kepadaku.

Selaku cucu tertua, aku adalah salah seorang yang sering “terjebak” dalam situasi harus tahu semua masalah dan juga mengajak bicara tetua dari keluarga. Meskipun, kuakui, aku tidak suka jika memaksa diriku sendiri memulai pembicaraan yang sebenarnya tidak ingin aku mulai.

Di suatu siang, aku menanyakan kepada tamong—semasa hidup—bagaimana kehidupan beliau semasa muda. Dan seperti banyak kisah yang kutemukan, hidup tamong dan datuk (kakek, dalam bahasa Lampung) tidak mudah. Aku menanyakan bagaimana dahulu ketika tamong dan datukku mencari dana untuk kuliah anak-anaknya. Terutama kuliah tanteku yang kini berprofesi sebagai seorang dokter.

Sedikit informasi, tanteku gemar membaca dan menurutku pribadi sangat ambisius mengejar cita-citanya. Ini suatu pujian dalam derajat tertentu dariku.

Tamongku bercerita sembari memandang cahaya kemilau di balik asoka merah yang ditanamnya di taman. Kemudian, dia berkata, “Ayang, itu masa yang tidak mudah.” Beliau tercekat. Oke, saat itu, aku merasa bersalah karena seolah membuat pembicaraan yang merobek tabir masa lalu yang tidak ingin dikenang tamongku. Tapi, sudah terlanjur. Terserahlah. “Buku kedokteran itu teramat mahal. Bahkan untuk ukuran kami berdua yang sama-sama bekerja.”

Beliau kemudian menggesekkan sandal jepit yang digunakannya. “Ayang, kalau seandainya celana dalam ini bisa tamong sama datuk jual, sudah pasti kami jual!” Kaget dengan pernyataan ini? Coba baca ulang pernyataan-pernyataan tamongku namun dengan logat/aksen Lampung pesisir yang kental dan kadar sarkasme yang tinggi. Tamongku lebih sarkasme dariku karena tuntutan dari suku.

Pembicaraan dilanjutkan dengan bagaimana kehidupan mereka yang susah. Tempramentalnya mereka di masa muda. Sebagai seorang perempuan, tamongku bercerita bagaimana di awal pernikahan mereka, datukku sangat gemar memukul. Beliau juga bercerita banyak kekurangan yang mereka lalui. Akhirnya, sampailah pada pernyataan akhir yang kutemui fakta bahwa beliau memang menyiapkan ini jadi pamungkas untuk cucu tertuanya satu ini.

“Ayang, yang namanya hidup. Yang namanya berumah tangga dengan orang yang tadinya tidak kamu kenal, memiliki anak-anak yang memiliki kebutuhan beragam, ya, cukup nggak cukup. Tapi lihatlah betapa banyak di luar sana orang yang kaya namun merasa tidak cukup. Jadi, banyak sedikit harta itu bukanlah suatu ukuran menjadikan kita merasa cukup. Ukurannya adalah berkah atau tidak harta tersebut. Kalau berkah, kalau semua itu baik, maka dari yang tidak cukup, entah kenapa bisa jadi cukup secara ajaib dari Tuhan.”

Ini juga diturunkan oleh ibuku pada diriku. Meskipun beda budaya dengan tamongku karena ibuku adalah seorang Jawa tulen, namun banyak kesamaan dalam hal ini. Ibuku membiasakan diri pada anak-anaknya—terutama padaku yang suka pilih-pilih makanan—untuk tidak banyak protes atas apa yang ada. Perempuan-perempuan di keluargaku dididik menjadi wanita karir, termasuk diriku. Meskipun sekarang, jujur, aku tidak setuju. Jadi, perempuan di keluargaku tidak ada yang pandai memasak.

Andalan ibuku sewaktu aku kecil, “Nak, mama ini nggak bisa masak. Makan saja apa yang ada. Jangan pilih-pilih. Syukuri. Kalau tidak ada makanan, diam, dan bersabarlah!” Itu perintah ibuku dari aku masih belajar bicara. Aku juga dibiasakan untuk makan hanya dua kali sehari dari kecil. Aku tidak terbiasa makan siang. Aku siang terbiasa makan makanan ringan sedari kecil. Aku baru agak sering makan siang ketika masuk kuliah semester 3. Itu pun karena awalnya aku tidak enak dengan kawanku yang minta aku temani makan siang. Jadi, kalau tanya, dulu aku hampir tidak pernah makan siang.

Suatu ketika, aku bertanya tentang suatu trauma masa kecilku. Panjang kali lebar, kembali pada awal cerita ini. Pernyataan yang sama dengan tamongku. Ibuku nadanya halus, jadi jangan baca pernyataannya dengan aksen Lampung. Pakailah aksen Jawa, “Ayang, jika diukur, memang tidak cukup. Tapi, ya, karena Tuhan itu ‘kan sudah memberikan kadar rezeki masing-masing. Ada saja pokoknya. Yang terpenting itu bukan banyak atau sedikitnya harta, tapi bagaimana kita mengelolanya. Berkah atau tidak hartanya. Kalau berkah, tentu tiba-tiba dengan cara ajaib, dia jadi cukup.”

Ini membantuku untuk jauh dari sikap hedonisme. Dan dalam derajat tertentu dengan tidak adilnya, aku menyamaratakan bahwa orang yang terlampau berlebihan itu menganut hedonisme. Padahal setelah kucermati, tidak selalu demikian. Suatu pikiran yang cukup dangkal dan kurang perhitungan dahulu. Tapi, bukan hidup namanya jika prinsip dan apa yang kita anggap sebagai kebenaran tidak diuji dengan cara yang mengejutkan. Ternyata, meskipun telah menginternalisasikan hal ini ke dalam alam bawah sadarku. Meskipun telah menjadikannya pikiran utama dalam bertindak, ada saja cara Allah mengujiku dalam masalah ini. Life is never flat!

Aku suka sedih terkadang melihat orang-orang yang matrealistis dan hedonis. Apa rasanya? Bukankah harta yang banyak itu akan menjadi pertanggungjawaban yang besar di akhirat. Beda masuk surga antara kaum muhajirin yang kaya dengan yang miskin saja setengah hari waktu akhirat nantinya. Dan yang masuk duluan adalah yang miskin. Kaya atau miskin punya risiko. Jadi, kenapa harus mengejar salah satunya? Setelah semakin ke sini dipikirkan, semakin aneh. Miskin bersabar, bagus. Tapi seberapa bisa sabar? Kaya bersyukur itu bagus. Tapi berapa banyak yang bisa bersyukur? Dua-duanya punya titik kronisnya. Menenangkan memang jika kita telah paham bahwa semua telah ditakdirkan tinggal berusaha sekuat tenaga saja tanpa perlu cibir sana cibir sini.

Berkah itu penting. Cara memperolehnya, bagaimana membelanjakannya. Jangan main-main. Bahkan bisa jadi, rasa menginginkan harta itu menceburkan orang terkasih kita ke dalam liang dosa. Seorang tabi’in pernah datang ke pasar suatu hari dan bertemu dengan orang yang bersumpah palsu tentang dagangannya. Alhasil, beliau tidak membeli dari pedagang ini. Selang beberapa waktu, ia datang ke pasar tersebut (lagi), dan menemukan bahwa si pedagang tidak lagi bersumpah palsu. Dan beliau menyatakan betapa berubah sikap si pedagang setelah beberapa waktu. Ternyata apa? Ternyata pedagang tersebut bersumpah palsu dikarenakan memiliki seorang istri yang selalu merongrongnya untuk pulang dengan banyak uang. Setelah istrinya tertimpa sakit kemudian meninggal, si pedagang menikah lagi. Istri yang kedua ini setiap hendak pergi bilang pada suaminya, “Wahai suamiku, jangan kauberikan kepadaku kecuali dari harta yang halal. Jika engkau kesulitan, aku akan membantumu menenun kain untuk kaujual.”

Masya Allah! Akibat dari rongrongan orang yang dicintainya. Kita tahu bahwa bersumpah palsu itu menghilangkan keberkahan dari suatu harta. Dan itu terjadi di diri pedagang. Alhasil, si tabi’in ini tidak mau membelinya. Dan ternyata, setelah adanya sikap qona’ah dari orang terdekatnya, ini bisa diraih. Hartanya menjadi berkah!

Kawan, sudahi obsesi tentang harta. Pencarian harta yang kelewat batas sampai melupakan syariat yang harus kita pelajari itu bahaya. Akibatnya adalah kita jadi cinta dunia. Akibat dari cinta dunia ini adalah rasa lelah yang tidak berkesudahan, target yang tidak berkesudahan, dan juga rasa kurang yang tidak berkesudahan. Jadi, daripada kita kebanyakan heboh masalah uang banyak, lebih baik hebohkan dalam doa dan keinginan kita akan keberkahan dan kecukupan harta kita. Lagi pula, ketika kita meninggal, harta itu jatuh ke ahli waris. Dan di akhirat sana, hanya ada balasan, tanpa amal. Amalkan harta kita sebaik mungkin.

Bandarlampung, 21-9-2014

Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA