Ketika Frontal Tak Selalu Jadi Pilihan

Ini adalah rangkaian kejadian sewaktu puasa tahun ini. Aku memiliki kawan-kawan yang selama satu tahun kami mengaji bersama. Kemudian, kami berpisah. Kami mengambil pilihan masing-masing dan masih santai mengobrol. Suatu hari, kedua adik tingkatku ini datang. Ya, mereka lebih muda dariku... yah, bedanya tidak jauh amatlah. Salah satu sekarang berkuliah di Palembang. Kemudian, kembali ke Lampung dalam rangka libur akhir Lebaran. Kami bertiga kumpul di rumah(orang tua)ku.

Salah satu hal yang menyenangkan dari mereka adalah: mudah diajak diskusi. Diskusi di antara kami juga terbilang nyaman. Tidak ada agresi yang keras atau rasa ingin mengintimidasi. Kami sama-sama tidak suka diperlakukan demikian. Selanjutnya, mereka cerdas. Mereka bisa mengelola perbedaan dengan baik. Jarang yang kutemui demikian. Dan aku sudah sampai tahap malas untuk debat atau cukup bodoh untuk dimanipulasi.

Setelah bertukar kabar, kami berbagi cerita:

A              : “Jadi gitu, Mbak Prim.”
B              : “Oh, gitu, A?”
A              : “Iya. (menoleh ke arahku) Menurut, Mbak, gimana?”
Aku           : (agak mengernyit) “Wah, maaf, Dek. Aku nggak sepakat sama pendapatmu.”
A              : “Oh, nggak apa-apa, Mbak. Yang penting ‘kan intinya sama itu.”
B              : (mengangguk)
Aku           : “Yo-a.”
(diam sejenak)
A              : “Tahu nggak sih?”
Aku           : (pasang wajah lugu) “Nggak tau..?”
A              : “Ih, Mbak Prim, serius ini.”
Aku           : “Ya, iya. Aku serius nggak tahu. Tadi ‘kan kamu tanya?” (membalik kedua telapak tangan sambil memutar bola mata)
B              : “Ya nggak tahulah, A. Baru juga denger. Gimana sih?” (memukul A pakai bantal)
A              : “Iya. Iya. Shht, diem. Mau cerita.”
Aku           : “Cerita tinggal cerita ini.”
A              : “Mbak Prim... Ntar lupa ini..”
Aku+ B     : “Cepet cerita!!”
A              : “Jadi, aku di fakultas X terus banyak deh entah kenapa aku ketemu orang syi’ah. Ditambah ternyata kawanku ikut aliran menyimpang Y. Nah, waktu itu aku nggak tahu dan kemudian satu kelompok sama kawanku yang ikut aliran Y. Kemudian, pas lagi kumpul-kumpul di kosan kawan, aku ngobrol sekaligus dakwahlah, Mbak. Aku bilang saja, “Ih, aliran Y itu ‘kan sesat, tahu!!” Terus kawanku itu nyeletuk, “Eh, gue itu ikut aliran Y!” nah, langsung saja deh ada “krik-krik” momen di situ. Diem kitaorang seribu bahasa, Mbak.”
B              : “Ya kamu juga sih, A, frontal. Bener sih. Tapi cara kamu nggak banget.”
A              : “Ya gimana geh. Nggak tahu.”
Aku           : (diam sejenak, kemudian menyentuh pelan bahu A) “Iya, sebagai orang yang sebenarnya sama-sama frontal, aku ngerti kok. Godaan untuk tidak bersikap frontal itu memang susah banget. Tapi, ya, bener tuh kata B. Perlu dicermati situasinya. Apalagi kamu langsung gas....”

Kawan, yang namanya frontal itu terkadang memang sudah bawaan dari diri kita pribadi. Tidak bisa ditolak, pastinya. Tapi bisa dikendalikan. Apalagi dalam memberitahukan orang. Terkadang sudah pakai cara yang halus saja, bisa tersinggung. Apalagi tidak, bukan? Aku pribadi sih, tidak melarang sikap frontal—alih-alih aku sebut dengan diksi “keras”. Diksi “keras” masih menyebabkan ambigu buatku pribadi. Apanya yang keras? Suara atau langsung bertindak keras, atau kata-kata keras? Kalau aku pilih diksi “frontal” karena menurutku lebih fokus pada kata-kata—.

Sebab, aku pribadi bersepakat dengan pernyataan bahwa tidak semua orang perlu diperlakukan halus. Ketika orang tersebut memang sudah paham, namun melakukan kesalahan yang fatal, boleh dibuat frontal saja. Waktu itu sempat dapat sebuah nasihat tentang bagaimana bersikap. Dan yang dibuat adalah perbandingan sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika orang Arab Badui kencing di masjid dan kemudian seorang sahabat terpercaya terlalu lama mengimami shalat subuh. Keduanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perlakukan dengan berbeda.

Hal ini bukan tanpa hikmah. Ketika yang melakukan kesalahan adalah orang yang paham, akibatnya justru lebih fatal. Apalagi jika dia sadar itu salah. Sementara pada yang belum paham, diperlakukan lebih halus karena mereka belum paham. Dan sebagaimana diketahui, bahwa orang yang belum paham butuh banyak pelembut agar hatinya mau menerima kebenaran. Jadi, ya, lebih ditekankan untuk lembut. Jadi, jangan suka terbalik. Ketika orang paham yang salah justru dilonggarkan. Sebaliknya, ketika orang tidak paham justru langsung beri cap aneh-aneh. Jelas, kalau diibaratkan dengan pedang, ini tajam ke atas dan tumpul ke bawah. Alhasil, kerusakan yang terjadi lebih banyak.

Bandarlampung, 20-9-2014
Prima Helaubudi
Kejadian asli pertengahan puasa 2014 M.
Setelah sekian lama, akhirnya keluar dari otak dan selesai juga.
Tapi kok jadi dikit, ya? :-\

Ya sudahlah, Prim, terhindar dari pernyataan tidak guna... Hehe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA