Desemberku yang Kelabu

Terkadang kita perlu melihat kembali, bukan? Aku sedang melihat cuplikan film tentang kanker. Dan kenanganku akan sebuah Desember di suatu tahun menyeruak. Rintiknya sampai di masa kini. Ingatlah, agar kamu kembali.


***


Desember 2009. Aku tidak ingat tanggal berapa tepatnya. Aku pulang sekolah cepat. Aku merasakan kecemasan yang belum hilang menunggu hasil UN. Aku merasa seharusnya aku tidak secemas itu. Aku lulus ujian masuk perguruan tinggi tanpa tes. Ke mana dan apa pendidikanku selanjutnya mudah dipastikan. Sejujurnya aku tidak puas. Tapi aku bingung akan melakukan apa. Diam di sekolah pun aku merasa kosong. Kosong karena angkatanku seolah seujung kuku lagi bukan bagian sekolah lagi. Aku pulang dengan gamang.


Aku melepas sepatu dan ayahku perlahan mengelus rambutku. Sesuatu yang sangat aneh karena ayahku adalah orang yang dingin, galak, dan pemarah. Aku nyaris tak pernah melihat sambutan hangat darinya. Kenapa sekarang berbeda? Ibuku mengajak bicara di dalam kamarku. Lembut dan terbata, beliau bicara bahwa ayahku terkena kanker paru-paru stadium 3--belakangan diketahui lebih tepatnya adalah stadium 4. Aku menangis. Aku memeluk ayahku mungkin untuk pertama kali dalam hidupku.


Tak berapa lama, aku diperlihatkan dadanya yang dipenuhi beberapa lebam biru seukuran telur. Itu dia. Itu kankernya. Semua keluhan ayah selama bertahun-tahun menjadi masuk akal. Rasa lemasnya, batuknya yang tak kunjung sembuh, dahaknya yang tak kunjung keluar, sakit kepalanya, dan--ciri terakhir berupa--sesak napasnya.


Seketika kosong. Tapi semua berjalan seolah biasa. Harapan yang berlebihan, mungkin. Selanjutnya, aku dan adikku dititipkan kepada kakek-nenekku. Setelahnya aku juga ikut mengurus ayahku yang keadaannya semakin memburuk.


Kami berjuang.


Juli itu, ayah pergi. Aku kehilangan semua alasanku. Alasan kenapa aku berjuang dengan keras. Berjuang sangat keras hingga aku hancur. Berjuang sangat keras padahal aku hanya menginginkan ketenangan. Karena aku ingin hal "itu". Kebanggaan ayahku. Sedikit saja senyumnya kepadaku. Sedikit saja. Dan itu lenyap.


Semua terbalik. Aku menjadi muak. Untuk apa aku belajar? Untuk apa sikap kesukuan? Untuk apa membela sesuatu yang bahkan tidak kenal dan peduli diri kita? Untuk apa kita hidup? Ke mana kita pergi? Apakah kekosongan ini akan terisi dengan mencintai orang lain? Semua pertanyaan itu menghantuiku bertahun-tahun. Menganggu setiap malamku. Mengacaukan siklus tidurku. Dan mereka berpikir ceracauku tentang cinta penuh hasrat saja. Tidak. Aku menekuri. Menekuri tentang cinta penuh pengenalan dan penerimaan. 


***


Bagi orang yang belum pernah kehilangan sosok penting dalam kehidupannya karena kematian tidak akan mengerti. Betapa kengerian itu pasti. Hal-hal yang sebelumnya terasa begitu bisa dipastikan menjadi bias seketika.


***


Saat ini, aku menguliti setiap alasanku. Memastikan bahwa setiap gerakanku tidak akan berubah karena suatu hal yang bisa berganti dengan cepat.


Engkau adalah Desemberku yang kelabu.


Sumber:  desvre.tumblr.com di Pinterest


Bandarlampung, 26 September 2021

Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA