Dandan (?!)



D-A-N-D-A-N. Berdandan. Hell no! Itu suatu hal yang tak pernah terpikirkan akan hadir di dalam kehidupanku saat ini. Banyak kawan-kawanku yang terbiasa memutarkan—tanpa persetujuan bahkan setengah memaksa—video-video tentang dandan. Tak lupa, ibuku sangat tak bosan untuk mengingatkanku untuk berdandan. Sorry to my mom—ini sudah kusampaikan langsung pada beliau—aku membantahnya berkali-kali. Aku menganggap bahwa dandan itu sesuatu hal yang tak perlu dilakukan. Tapi itu semua berubah saat pernikahan menyerang.

Entah apa yang terpikirkan oleh perempuan seusiaku saat menikah. Pastinya seperti cerita Walt Disney yang aku sukai waktu kecil. Semua happy ending; semua bahagia. Oh, oh. Tapi pengalamanku tidak begitu. Menikah bukan perkara bahagia. Sebagaimana aku pernah mendapatkan kelakar di sebuah artikel yang menuliskan, “Kamu tahu kenapa cerita Disney berakhir saat Sang Pangeran dan Sang Putri menikah? Karena saat itulah masalah sebenarnya dimulai.”

So, I am very terrifying about it. Aku bisa menyamakan pernikahan bagaikan Harry Potter yang harus melawan Profesor Squirrel yang ternyata juga adalah inang dari Voldermort. Horor!

For me, make up is the most unimportant thing to do. Padahal di luaran sana, untuk kebanyakan perempuan, justru sebaliknya. Make up is the most important thing to do. Guna apa bermenit-menit, berjam-jam kita bekukan diri di depan cermin mematut dan mempercantik? Bukankah perempuan pasti cantik? (Iyalah. Kalau ganteng laki-laki namanya) Hati adalah perkara terpenting. Itu yang aku pikirkan. Hal itu masih kuagungkan sampai sekarang.

Tapi nyatanya tidak selalu demikian.

Banyak orang yang melihat seseorang dari berapa mahal alat dandan yang dipunyai, baju yang dikenakan, dan printil-printil lainnya. Jangan salah sangka. Aku kini berdandan bukan untuk mendapatkan pengakuan mereka. Tapi karena keharusan. Kini, dandanku di hadapan suami adalah ibadah. Mau tidak mau, yang namanya ibadah harus maksimal, kan? (Meskipun sampai sekarang masih amatir dan ogah-ogahan)

Ada beberapa yang berbisik di telingaku, “Ah, asal menikah dengan orang beriman bagus, nggak bakalan kok dia lirik-lirik?” Eh, kata siapa? Aku survei terhadap adik dan suamiku—tentu saja siapa lagi—betapa visualnya pikiran laki-laki itu. Sekelas orang mengaji pun, iman bisa goyah. Laki-laki bisa bilang dan bersumpah bahwa dia tidak menyukai perempuan cantik berdandan dengan tubuh seksi menggoda iman, paras rupawan, dan parfum menggairahkan. Tapi, as we know, setan itu menghias perempuan saat keluar rumah. Laki-laki yang tidak menyukai perempuan dandan pun bisa lirik-lirik juga di luaran.

Hal inilah yang bagaikan warning buatku. Semangat buat belajar dandan. Bless me, kawan-kawanku banyak yang memaksa nonton video tentang dandan. Setidaknya, sebodoh-bodohnya aku berdandan, masih bisalah untuk mengenakan BB cream, bedak, lipstik, dan eyeliner. Cukup untuk sekarang beserta perawatan wajah. Sekarang, aku sedang sedikit-sedikit upgrade ilmu berdandan lewat video-video online.

Semoga semakin mahir. Pray me, okay? ;-)

Bandarlampung, 28-12-2016
Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA