Bohlam Penuh Warna

--Seluruh Rasa Mengguyur Jadi Satu


Saat ini aku sedang membaca buku Antologi Rasa oleh Ika Natassa. R a s a. Itu adalah kata yang di judul buku ini yang menggugahku untuk membacanya. Tentu saja selain gambar jantung (hati) penuh dengan tulisan kasar tentang nama-nama rasa itu sendiri.


Manusia adalah makhluk yang unik. Dipenuhi oleh banyak perasaan. Perasaan yang bisa berubah dalam hitungan detik. Terkadang tergantung mood. Terkadang tergantung situasi dan kondisi. Terkadang tergantung apa yang dipikirkan. Aku pernah membaca sebuah kisah di Facebook--entah berapa ratus juta tahun lalu, lebay--tentang kisah sepasang suami istri. Singkat cerita, si suami akan pergi melakukan perjalanan bisnis dengan pesawat terbang. Sementara mereka bertengkar dan akhirnya suami pergi. Si istri marah bercampur sedih suaminya akan pergi. Ternyata si suami ketinggalan pesawat dan kembali ke rumah. Kali ini berbalik, si suami yang marah. Tak lama, terdengar berita di televisi bahwa pesawat yang seharusnya ditumpangi si suami mengalami kecelakaan. Si istri sangat berbahagia dan menghampiri suaminya yang sedang tertidur di kasur--atau di sofa, aku lupa. Maaf. Si istri sangat bersemangat menyampaikan berita melegakan itu. Ternyata, suaminya telah meninggal karena serangan jantung. Sekejap, perasaan si istri berubah dari bahagia dan lega menjadi sedih.


Salah satu hal yang menjadi highlight-ku dalam kisah itu adalah cepatnya perasaan suami-istri itu berubah. Padahal keduanya adalah orang yang saling mencintai. Terikat dalam aturan emosional irasional. Juga, betapa cepat kehilangan itu datang.


Mungkin jika rasa, perasaan itu bisa memijar kasat mata, akan ada banyak warna yang terpancar dari tubuh kita. Seperti neon beragam warna dalam satu bohlam. Hmmm, menarik, bukan? Manusia memang makhluk unik.


Sumber: batterycandles di Pinterest


Untukku pribadi, tulisan-tulisan soal rasa ini membawaku menjelajah masa lalu. Di usia sekarang, i'm craving for value. Aku membaca untuk memperbaiki diri. Mencari suatu kedalaman hidup yang aku tidak punyai. Dan mencoba mencapai kebijaksanaan dalam ketenangan. Lalu kembali ke masa lampau saat aku sebagai anak kecil yang gemar membaca sesuatu yang menyenangkan. Majalah anak bernama Bobo, buku tentang perilaku binatang, dan senangnya mendapatkan hadiah melalui TTS. Kemudian berubah menjadi pecinta komik penuh romansa dan beralih ke novel romansa. Kemudian aku mencari novel pencarian jati hidup, buku agama yang menjawab keawamanku tentang Pencipta, tarik-menarik antarideologi, hingga buku produktivitas. Sebuah evolusi menarik sekaligus membosankan. Di usia sekarang, jika aku membaca buku yang "hanya" membawakan suatu emosi bernama senang, aku bersikap skeptis. Senang, apakah senang itu secara mutlak ada? Bahagia. Nisbikah di dunia ini? Kenapa aku tertawa? Di sana banyak tragedi yang bertebaran di luar sana.


Jika bertanya kepadaku, aku sangat ingin menjadi seorang yang stabil secara emosi. Suatu hal yang ironi di mana aku pribadi sampai sekarang amat fluktuaktif dalam hal perasaan. Aku jujur ingin menjadi seorang yang apabila tertimpa beragam situasi dan kondisi tetap tenang. Ya, dipengaruhi emosi tertentu. Tapi tidak berlebihan dan bisa tetap tenang dalam berpikir dan bertindak. Di sisi lain, uniknya, hal ini terlihat sebagai tanpa emosi oleh sebagian orang. Ha ha. Intinya, aku ingin memiliki perasaan yang asertif.


Bandarlampung, 20 Agustus 2021

Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA