Langit Biru Muda

Sumber: minnie mouse di Pinterest


Langit hari ini biru terang tanpa awan. Matahari terik. Apakah ini pembukaan yang klise? Ya memang. Tapi setiap waktu walaupun dengan pemandangan yang sama bisa membuahkan impresi yang berbeda pada setiap orang. Misalnya seperti bagaimana apel yang jatuh bisa membuahkan pemikiran soal teori gravitasi oleh Newton. Padahal berapa milyar kali apel jatuh dari pohon? Tentulah kita tak dapat hitung.


Pada saat menulis ini, aku sudah selesai menikmati langit biru tanpa awan. Awan sudah mulai berarak sehingga noktah putih sudah menebal di langit sana. Tapi matahari yang terik tetap sama.


Aku suka memandangi langit sejak ibuku berkata bahwa Tuhan Semesta Alam bersemayam di atas langit. Jauh di atas langit sana. Mengawasi kita.


***


Berlarian. Aku mengenang diriku yang berlarian menyusuri jalanan menuju toko buku di suatu hari semasa SMP. Aku mengenang diriku dan kawan-kawan sekelas yang mengeluh kepanasan saat harus mengikuti pelajaran olahraga di pertengahan hari. Atau otak kami sekelas yang meleleh saat pelajaran matematika sehabis jam istirahat. Sungguh, kami tak sanggup dan tak bisa lagi berpikir.


Kenangan-kenangan seperti itu menghangatkan hatiku hari ini. Masa-masa di mana kita hanya memikirkan diri sendiri. Atau dengan tepatnya: menjadi egois. Menjadi egois tanpa disalahkan. Masa-masa di mana kita memilih sendiri siapa yang akan menjadi teman kita. Masa-masa saat hati berdebar melihat kerumunan lawan jenis berjalan menyusuri jalan paving. Masa-masa di mana aku, yang masih belajar mengatur keuangan itu, dengan bodohnya menghabiskan uang mingguan untuk rentetan komik di toko buku yang saat itu masih sesak. Akupun dengan pongah siap menanggung risiko untuk pulang jalan kaki hampir setiap hari. Dan itu tidak terasa berat. I had my friends that backed up me backed then. Teman-teman yang sama-sama siap berjalan bersama demi buku-buku itu.


Awan yang berarak itu memudarkan diri kita yang sepolos langit biru tanpa awan. Kini, kita sudah harus memikirkan banyak hal, banyak kepentingan, yang terkadang membuat kita melupakan seperti apa diri kita sebenarnya. Kritikan ringan tentang betapa bodoh apa yang kita sebenarnya inginkan, membuat kita dengan kejam berpaling dan meninggalkan hal-hal kecil yang benar-benar membuat kita bahagia.


Ah, bahagia.


Aku sering mendengarkan banyak orang mempertanyakan kebahagiaan hari ini. Jika ini soal aku, aku percaya kebahagiaan di dunia ini ada. Tapi bukan suatu kebahagiaan abadi sebagaimana kita, kaum manusia, inginkan. Kebahagiaan di dunia ini nisbi. Sementara. Dan guna mendapatkannya, kita harus mengorbankan sesuatu. Alih-alih menginginkan kebahagiaan abadi di dunia semu ini, lebih baik kita mengalihkan mencari dan menginginkan kebahagiaan kecil dalam kehidupan sehari-hari kita. Bersyukur tentang hal-hal yang masih menjadi milik kita saat ini.


***


Aku masih mengenangnya: diriku yang berlarian tanpa arah. Tidak memperdulikan matahari akan menghanguskan kulitku. Tidak memperdulikan ada orang lain yang harus kutanggung. Ah, aku sungguh ingin berlari keluar sekarang rasanya. Menuju toko buku itu. Sayangnya, ia sudah tidak sesak. Dan aku tetap diam di dalam kamar melamunkan seandainya aku pergi sekarang. Mungkin hingga petang nanti?


Aku memperbaharui waktu sore hari. Langit biru muda kembali. Awan melayur entah ke mana. Semua cantik kembali. Seolah berkata kepadaku. Kapanpun, kamu selalu bisa kembali menjadi seseorang yang tidak memperdulikan apa-apa: selama kamu masih memandangku untuk mencari Pencipta Semesta.


Bandarlampung, 23 April 2021

Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA