Menjadi Penuh Luka

Aku belakangan ini membaca sebuah tulisan blog yang berisikan provokasi berbau SARA. Aku akan tulis sedikit yang menyinggung agama yang aku anut. Penulis blog tersebut menyatakan agamaku sebagai agama yang menumbalkan umat manusia. Aku langsung: WHAT THE...


Ada rasa marah, kesal, dan benci saat ada sesuatu yang menjadi ideologi kita disinggung tentunya. Tapi kemudian, aku cuma bisa marah dalam doa. Karena aku tahu, di era teknologi, semua boleh bicara. Dan hanya yang tahu diri yang mampu menakar kadar dirinya untuk berbicara. Aku bukan siapa-siapa yang punya kadar ilmu cukup untuk mengeluarkan dalil-dalil. Aku sudah cukup punya hot temper. Jangan sampai bertambah jumlah kemarahanku di mana-mana.


Aku pribadi berpendapat bahwa mengorbankan sesuatu itu harus. Apapun itu. Di dalam ideologi masing-masing yang kita anut, di dalam sejarah umat manusia, pasti ada pengorbanan massal. Tentu dengan tata cara yang berbeda. Tidak hanya pengorbanan massal. Guna mendapatkan apa yang kita inginkan, kita perlu berkorban, bukan? Semisal, kita mau makan sesuatu. Tentu kita harus mengorbankan sebagian uang yang kita punya untuk mendapatkan makanan tersebut. Lalu, kenapa berkorban seolah adalah sesuatu yang tidak lumrah?


Aku teringat di buku Gie, ada sebuah kalimat yang menjadi perbincangan di kalangan anak sastra waktu itu. Kalimat, "Manusia yang paling bahagia adalah yang tidak pernah dilahirkan." Kurang lebih demikian. Ya, tentu saja. Karena manusia yang tidak ada, tidak akan merasakan kesakitan dalam dunia ini. Sebagaimana adanya, dunia ini adalah penjara penuh ujian tanpa kebebasan mutlak. Adanya kebebasan hanyalah nisbi.


Sumber: di sini


Menjadi penuh luka adalah salah satu hal tidak terelakkan dari diri manusia yang terlahirkan. Kita akan menghadapi banyak sekali luka apapun latar belakang dan gender kita. Aku, seorang perempuan, dan juga pasti dialami semua perempuan juga mengalami kesakitan pula.


Perempuan, sebagai salah satu makhluk Allah yang berperasaan tinggi, mau tidak mau, kita akan terluka. Kesakitan biasa yang lumrah diterima perempuan: saat berhubungan badan, saat hamil, saat melahirkan, saat mendengarkan nada-nada tinggi--walaupun si perempuan juga bernada tinggi, saat osteoporosis, saat menua, dan lain sebagainya. Semua itu adalah luka.


Sumber: di sini


Luka itu membekas dan sebagian ada yang tidak kembali menjadi baik. Luka yang ada itu pula yang mendidik kita, manusia sengsara yang masuk ke dunia ini, bahwa manusia tidak sempurna. Luka menjadi penandanya.


Bandarlampung, 6 November 2020

Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA