Gadis Kecil Menghadapi Hujan



Seorang gadis kecil berjalan menyusuri trotoar sambil melihat bentuknya. Bentuknya zig-zag. Kenapa, ya, bentuknya demikian? Tidak seperti di jalan jauh di depan sana yang hanya berbentuk kotak-kotak. Bentuk kotak-kotak itu mengingatkannya tentang bentuk permen kunyah kesukaannya. Ia berjalan riang seperti seorang putri yang mengenakan pakaian bertutu. Tak sepatah katapun keluar dari mulut mungilnya yang mulai gelap membiru. Sesekali, ia mencari jalur sepi dan mencipratkan air ke sepatunya sendiri. Adik kecil, berteduhlah. Waktu masih lama dan siang. Kamu akan sakit dengan berhujan-hujan seperti itu. Suara seorang penjaja dawet yang tidak laku di kala dingin sayup memasuki telinganya yang sudah dibanjiri oleh basah air yang masuk. Guruh berdentum; ia resah. Sekaligus pasrah; menuju tempat bernama rumah. Rumah yang mana tak satupun menjemputnya--pulang.

***

Seorang gadis duduk termenung di dalam kamarnya. Bersisian dengan jendela yang tak pernah sanggup ia jangkau. Berapa tetes air sudah yang membasahi seprai kasurku saat ini? Itulah gumamnya dalam hati. Tangannya susur di atas seprai ungu lavender kesukaannya. Satu-dua-tiga-…-dua empat. Dia berhenti berhitung karena belum lagi ia hafalkan bilangan lebih dari dua digit. Di manakah ibu dan ayah? Aku rindu. Sementara di meja ruang tengah, api rokok ayah masih mengepul malu-malu. Ujungnya menunjuk pintu depan dengan sayu dan nyaris patah menyatakan bahwa mereka sedang di luar. Aku tak sanggup mengurus jemuran. Gadis kecil itu memeluk orang tuanya saat pulang. Berbuah seruan manis basahnya jemuran selama dua hari. Ia hanya girang; tak peduli.

***

Gadis kecil itu adalah aku. Seperempat abad kurang yang lalu. Lalu, kini aku melamun termenung mengingat masa lalu. Gurat-gurat keras dan tegas telah hadir dan membias di wajahku dengan samar. Kututupi ia dengan senyum agar tak jadi sangar. Kakiku kini sudah tak lagi basah. Aku berdiam di tempat kering yang sudah sanggup kumiliki. Jendelaku kini sudah sanggup kugapai. Aku berdiam di sampingnya seraya menggeserkan keset untuk mengelap sisa-sisa air hujan. Tapi aku tanpa kalian: orang tuaku. Sisa-sisa kopi dingin kuteguk dengan khidmat.

Bandarlampung, 31-7-2015
Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA