Atmosfer yang Berubah di Sudut Kota

Sumber: nyero.id

Aku adalah seorang manusia yang gemar menikmati atmosfer suatu tempat. Tempat apa saja itu. Baik tempat itu berupa pantai, pegunungan, dan/atau bahkan hanya di tengah hiruk pikuk kota menikmati suasana sore.

Jauh berjalan waktu, aku menyadari bahwa semakin banyak hal yang berubah. Wajah kota berubah. Hal tersebut menjadi sebuah ironi yang lucu tapi tidak lucu. Ketika kita melewati suatu jalan, kita menikmati atmosfer yang ada. Sementara gambaran kota berlalu bersesuaian dengan kecepatan perjalanan kita.

Kita menjadi begitu terbiasa hingga ada suatu titik kecil berubah. Bangunan misalnya, bisa jadi pohon yang tiba-tiba hilang dari pandangan, bisa juga warna cat yang diganti. Ketika itu berubah, ada perasaan asing yang menyeruak ke dada. Pikiran kita bergumam, "Sepertinya kemarin bukan begini, kan?"

Kita merasa begitu tahu. Tapi tatkala kita berpikir hal apa yang berubah dari sebelumnya, kita hanya bisa tahu dengan perasaan tanpa tahu dengan rincian. Suatu yang aneh namun nyata. Kita geming memikirkan kembali pemandangan apa yang sebelumnya ada di sana. Apakah itu adalah bank, rumah, atau apa? Kita kebingungan sendiri. Kita hanya mengingat sesuatu itu berubah. Kita lupa apa yang berubah.

Kita bicara tentang benda mati. Benda yang tidak mengerti arti keberadaannya tanpa manusia membuat keberadaannya ada--dan penuh fungsi. Bukankah seolah-olah apa yang kita sebut sebagai benda mati itu punya keberadaan yang hidup lewat atmosfer yang disebarkan? Tentu saja manusia yang mengolah seperti apa atmosfer yang hendak didapatkan atas suatu bangunan--tentu atas izin Allah.

Bagaimana dengan manusia yang beredar di sekitar perubahan itu? Bagaimana dengan orang-orang dalam lingkaran hidup kita? Apakah mereka berubah? Apa mereka sadar mereka berubah? Atau kita sebagai penonton sadar namun juga kebingungan karena kekurangan waktu untuk singgah?
 
Lebih jauh, mari kita tunjuk diri kita,
Setiap kita berubah...

Bandarlampung, 9 Juli 2019
Prima Helaubudi
Inspirasi tulisan ini sebenarnya saat lewat Jalan Kartini dan Wolter Monginsidi Bandarlampung. Sayangnya, aku tidak menemukan ilustrasi kota yang cocok di mesin pencarian. Alhasil, aku menggunakan ilustrasi Kota Tua Semarang karena mengingat jalanannya yang apik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA