Tantangan Media Mengedukasi Masyarakat Perihal Pengetahuan Ilmiah Populer

(tidak menggunakan EBI)

Bulan akan ada dua. Itulah kalimat menggugah pembuka diskusiku dengan ibuku pada suatu hari. Ibuku membaca artikel dari salah satu kanal berita, yaitu: CNN Indonesia. Akhirnya, kami pun terlibat diskusi yang renyah tentang fenomena alam berbau science. Maklum saja. Kami berdua menyukai fenomena alam. Kalau ibuku menyukai yang berbau astronomi, maka aku menyukai yang berbau geologi. Lalu, ibuku mengeluarkan sebuah pertanyaan yang rumpang jawaban kepadaku. "Kenapa situs-situs yang berbau gosip, politik, dan yang penuh hoaks ramai banget, ya, yang komentar? Sementara yang berbau ilmu pengetahuan (bersifat) ilmiah--khususnya science--sepi komentar dan pengunjung?"

***

Dahulu, saat aku tidak fokus dalam pemilihan buku untuk dibaca, aku sempat membaca filsafat ilmu dan filsafat pendidikan. Aku lupa itu karangan dan penerbit siapa. Sudah lama sekali. Salah satu poin menarik adalah pembagian cabang ilmu menjadi tiga: teologi, humaniora, dan science. Di antara ketiga cabang ilmu tersebut, yang paling ilmiah adalah science. Tapi entah kenapa, yang ramai diperbincangkan di masyarakat adalah humaniora nomor satu, dilanjutkan dengan teologi, dan science di urutan bontot. 

Menyoroti humaniora, tak lekang sampai sekarang di dunia pendidikan IPA dan IPS sering bersitegang. Akan tetapi, dalam kanal media sosial, masalah-masalah humaniora lebih banyak disorot. Gosip, politik, dan gaya hidup terbaru, misalnya. Berbeda dengan masalah-masalah science yang justru amat jarang diulas. Misalnya saja soal penemuan-penemuan terbaru hari ini. Atau tempat-tempat yang sarat akan keajaiban alam. Sepi pengunjung. Masalah-masalah science baru akan ramai diperbincangkan saat sudah menjadi suatu produk yang dilepas dalam kehidupan sosial. Contohnya saja: gadget model terbaru, mobil keluaran terbaru, dan fakta science yang menentang fakta science sebelumnya seperti bumi itu bulat versus bumi itu datar. Tentu ini menjadi sesuatu yang miris kalau dilihat. Apalagi jika dibandingkan dengan tema-tema humaniora yang sarat akan hoaks. Aduh, sedih deh.

Melihat kemirisan ini, tentu orang-orang yang berkecimpung di dunia science tidak berpangku tangan begitu saja untuk mengedukasi masyarakat. Buktinya, kini banyak yayasan pendidik science yang masuk dalam kanal media sosial untuk mengedukasi masyarakat. Contohnya saja untuk yayasan pendidikan semisal Nasional Geographic dan Discovery Channel. Lalu, soal pendidik-pendidik berbau science misalnya saja dr. Tiwi dan dr. Arti Indra. Macam-macam genre sains dipublikasikan. Rekonstruksi bangunan bersejarah yang tertimpa badai pasir, penemuan galaksi baru, sampai masalah cara menggendong anak, MPASI, dan gizi.

Perbedaan yang mencolok antara tema sains dengan tema lainnya adalah:
1. Tingkat kritis soal landasan teorinya
Pada tema lainnya, khususnya humaniora, tingkat kritis tulisan yang berbasis pada karya ilmiah kurang ditekankan. Beda dengan pada tema sains yang sampai semua jurnal dibuka.
2. Cara mengatasi perundungan yang in banget di media sosial.
Berbeda dengan tema lainnya, khususnya humaniora yang justru perundungan dan hoaks adalah senjata utama untuk mendulang dukungan, para penggencar tema sains adalah yang tergolong paling ambil pusing soal perundungan. Pada beberapa postingan dokter-dokter anak yang masuk kanal media sosial, perundungan yang masuk lewat direct message (DM) Instagram lalu di-screen-shoot menunjukkan bahwa meskipun sudah diberikan bukti ilmiah, banyak sekali yang ngeyel. Dan bukannya berpikir bodo amat, para penggiat sains justru memposting dan menjelaskan ulang. Alasannya simpel. Karena greget agar masyarakat teredukasi dengan baik dan benar.
3. Bahasa
Kalau bicara sains apa sih yang kita pikirkan? Magnitudo, reduksi, proton, dan segudang bahasa "alien" yang susah dicerna. Menyadari beratnya tingkat bahasa sains, para penggiat sains di media sosial menggunakan bahasa yang seringan mungkin alias membumi agar dapat dicerna dengan baik oleh audiens.
4. Sering mengadakan penyuluhan langsung
Sains dan teologi menurutku adalah dua tema yang sering sekali pengadakan penyuluhan dan pembelajaran via jarak jauh yang biasanya menggunakan WhatsApp. Soal sains sendiri, bahkan ada kuliah WhatsApp-nya lho. Bahkan tidak tanggung-tanggung diberikan rangkuman dan juga bisa sesi tanya-jawab. Padahal, siapa sih yang tidak tahu penggiat sains khususnya dokter itu sibuk pake banget? Tapi demi edukasi masyarakat yang lebih doyan masuk ke kanal media sosial ketimbang ke dokter langsung--biasanya sih efek biaya--makanya mereka mau berbagi.

Kembali soal tema sains ini. Mulai ramainya seliweran tema sains di media sosial pun mendapatkan tantangan dari jumlah followers yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tema lainnya. Tentu ini menjadi tantangan bagi pengedukasi. Teringat sebuah cerita yang in di kalangan ibu-ibu muda bagaimana seorang publik figur bernama Andien membagikan bagaimana proses mengajari anak yang dilatih oleh para profesional. Kemudian, para followers-nya, yang notabene tidak memiliki kawalan profesional, menirunya hingga ada kejadian fatal. Dan hal ini dikeluhkan oleh para dokter anak. Aku pribadi miris melihat ini, sekaligus melihat peluang di dalamnya. Kalau memang masyarakat hari ini suka dengan publik figur, mau tidak mau, bisa dikatakan cara cepat agar masyarakat teredukasi dengan ilmu sains kekinian harus menggaet sebagian ilmu pemasaran ala humaniora. Bekerja sama dengan publik figur dalam mengadakan edukasi, bisa dijadikan salah satu problem solving.

Bandarlampung, 1 Oktober 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA