Pendidikan Karakter: Antara Perundungan dan Moralitas

(tidak menggunakan EBI)

Ketika Pemerintah mencanangkan adanya pendidikan karakter untuk lingkungan pendidikan, sejujurnya aku merasa sangat bersenang hati. Aku menantikan adanya salah satu "tradisi" dalam dunia pendidikan Indonesia yang lekas "punah", yaitu tradisi dalam masa orientasi.

Masa orientasi adalah masa yang membuatku ketakutan. Ternyata, bukan aku seorang dan bukan negara Indonesia saja. Jepang pun demikian. Di Jepang justru lebih mengerikan. Setiap tahun ajaran  baru yang dimulai pada bulan September, kasus bunuh diri siswa-siswi kian meninggi saja. Apa sih sebenarnya yang membuat jadi semengerikan ini saat memasuki institusi pendidikan? Mari kita cermati dari sudut pandangku.

Memasuki institusi pendidikan, menceburkan diri seorang siswa ke dalam ketidakpastian. Selain kegalauan memasuki lingkungan baru yang berbeda, aku merasa saat menjadi (maha)siswa juga harus bersiap dengan banyaknya keanehan yang sangat tidak masuk akal. Masa orientasi khususnya. Berbagai kegiatan yang aneh bertebaran. Coba apa saja sih itu? Mari kita ingat bersama-sama. Siapa tahu kita samaan.

Beberapa daftar keanehan saat masa orientasi:
1. Disuruh mengunakan atribut tidak jelas
Atribut kaus kaki belang-belang? Kuncir berapa-belas?
2. Ada adegan dimarah-marah karena kesalahan-kesalahan yang (belum tentu) ada
Aku mengalami yang namanya "Ruang Macan" bagi anak-anak yang kurang bisa diatur di sekolah. Bahkan tak syak, beberapa kawanku mengaku tidak melakukan kesalahan apapun dan hanya dipanggil secara acak. Dipanggil untuk apa? Hukuman secara fisik dan juga verbal.
3. Aturan berbau senioritas
Pernah dengar: pasal pertama, senior selalu benar. Pasal kedua, junior selalu salah. Pasal ketiga, kalau senior salah balik ke pasal satu? Aku pernah dapat ini dan come on, ini tidak sinkron dengan gembor-gembor "berani mengakui kesalahan". Wajar banyak orang jago nge-les.
4. Orang gila, acara tembak-menembak, dan minta tanda tangan
Masih ada kaitan dengan adegan dimarah-marah sebenarnya. Hanya saja, aku lebih merasa ini lebih ke pembunuhan karakter alih-alih banyak yang bilang ini untuk melatih keberanian dan percaya diri. Adegan disuruh jadi orang gila, aku pernah. Dan berkali-kali hanya karena aku terlalu diam, katanya. Minta tanda tangan isinya dikerjain dan akhirnya berbohong dengan meniru tanda tangan. Tapi aku bersyukur tidak pernah sejauh ini mendapatkan disuruh "nembak" lawan jenis. Disuruh buat surat cinta saja aku minta bantuan mama.
5. Makan aneh-aneh
Jengkol dan Pete. Siapa yang benci kedua ini? Aku salah satunya. Mesti makan pas orientasi? Pernah. Rasanya mau muntah. Salah satu kawan, orientasinya mesti memakan bubur gunung. Isinya terdiri dari tanah, dahak, nasi, lauk-pauk, dan lain-lain. Kalau aku sih, insya Allah mendingan gak makan sekalian.
6. Kekerasan di atas rata-rata
Hangat--dan selalu hangat--di ingatan kita berita negara ini selalu deh ada kejadian seperti meninggal paska masa orientasi. Luka lebam, tubuh habis ditendang, jadi bukti-buktinya. Herannya, kenapa semua masih berlanjut. Pastinya ada konspirasi di sini. Nanti aku akan jelaskan pendapatku.

Masih banyak sebenarnya mungkin hal-hal aneh yang berkenaan dengan masa orientasi. Pada salah satu poin aku menyatakan bahwa aku dinyatakan oleh senior sebagai adik tingkat yang terlalu pendiam. Makanya disuruh akting jadi orang gila. Sebenarnya, aku diam lebih karena aku sadar diri di lingkungan baru. Aku belum banyak kawan dan butuh adaptasi. Aku berharap ketika masuk ke lingkungan baru dan diberikan orientasi, itu akan menambah khazanah bagaimana bertingkah laku di tempat tersebut. Saat mendapatkan perlakuan di atas, aku tambah diam lagi. Bukannya melebarkan sayap pertemanan--yang mana ini penting sangat dalam masa remaja--yang ini penting untuk melejitkan percaya diri dan menemukan jati diri, aku harus menghadapi semua itu. Aku cuma berpikiran, "Ini apa-apaan sih? Apa gunanya?" Aku mengomel di dalam kepala. Terkadang aku bertanya pada kawanku, dan kawanku hanya menjawab, "Ikut-ikutin aja. Nanti juga selesai." Aduh, tidak kritis banget. Malah sebagian anak-anak senang-senang saja dikerjain. Ada yang bisa gitu cari gebetan kakak tingkat pas masa orientasi. Hello?! Kamu sehat? Meskipun demikian, aku yakin pasti ada para (maha)siswa kritis yang juga mempertanyakan hal yang sama.

Sementara nun jauh di sana-- katanya sebuah artikel berita yang bertebaran walaupun kita tak tahu apakah ada "sisi gelap" juga di sana--tersebut ada negara Singapura. Negara yang masa orientasinya justru benar-benar "orientasi". Pengenalan lingkungan baru dengan tugas-tugas berbau derma. Aku baca bahwa di sana semasa orientasi, para (maha)siswa di salah satu institusi diwajibkan untuk membantu dan membuat orang lain tersenyum setiap hari selama masa orientasi. Membaca hal ini membuatku adem. Aku merasa, "Alhamdulillah. Ternyata masih ada juga yang waras." Di sana seluruh manajemen institusi bersatu padu untuk menerapkan masa orientasi yang konstruktif untuk para murid baru.

Manajemen institusi sendiri adalah tempat pikiranku berkutat dengan teori konspirasi yang aku sematkan di salah satu poin masalah masa orientasi di atas. Aku meruncingkan ke manajemen institusi karena memang banyak kejanggalan dalam urusan orientasi. Beberapa kejanggalan yang aku dan kawan diskusiku pikirkan adalah:
1. Apakah wajar bahwa siswa memberikan orientasi pada siswa lainnya walaupun itu adik tingkat?
Siapa sebenarnya yang berhak memberikan orientasi? Menurut hematku, itu adalah guru. Karena guru adalah orang yang berpengalaman dan dijadikan teladan. Sementara siswa lain yang hanya berbekal satu-dua tingkat di atas siswa lainnya? Yah, sama-sama anak ingusan, kan? Padahal di dunia nyata, usia terpaut satu-dua tahun itu rata-rata tidak terlalu terlihat perbedaan pemikirannya.
2. Benarkah jika terjadi perploncoan institusi benar-benar tidak tahu?
Banyak berita yang menyatakan bahwa pihak "atas" institusi tidak mengetahui soal adanya perploncoan. Sangat tidak meyakinkan sih. Karena banyak sekali terkesan ditutup-tutupi dari pihak atas institusi. Lagipula, kenapa tidak ada satupun pihak institusi yang terkait  ikut satu demi satu kegiatan yang  dibuat oleh panitia yang notabenenya (maha)siswanya? Dan mudah memberikan  izin kalau ada agenda di luar jadwal kegiatan. Semakin meyakinkannya, perploncoan sudah terjadi dari lama sekali. Cobalah tanya yang sekolah tahun 80-an, mereka sudah kenal perploncoan saat masa orientasi. Bukankan ini sebuah tanda bahwa perundingan pada masa orientasi ini sudah terjadi bak dinasti yang turun-menurun?

Sebagian dari ingatanku mengawang dan berpikir, bisa jadi dinasti turun-temurun masalah perundungan/plonco/bullying ini terjadi karena copy paste bak kerbau dicucuk hidungnya. Tanpa kritisisasi atau memang sengaja tidak mau mengritiknya karena ada kepuasan di dalamnya. "Saya dulu dibeginikan, jadi kalian juga harus merasakan." Kalimat yang familiar? Kalau pernah menjadi panitia dalam pelaksanaan masa orientasi, kalimat tersebut lumrah digunakan. Ada ajang balas dendam di dalamnya. Seolah tidak puas kalau tidak bertindak sebagai pelaku. Lalu, bagaimana mata rantai dari perundungan ini bisa berhenti?

Saatnya moralitas berbicara sebenarnya. Kesadaran untuk melakukan hal yang benar dan memutus mata rantai perundungan. Mengajarkan moralitas jarang perdebatan bahwa itu adalah suatu keburukan. Berbicara moralitas, sebenarnya lebih kepada kita bicara soal SARA yang sering disebut pemicu konflik horizontal mau tidak mau. Karena moralitas berkutat di sana. Apa yang dianggap baik dan tidak dalam suatu tempat. Selain itu, diperlukan sikap kritis menyoal jadwal-jadwal gaib selama masa orientasi. Pikirkan generasi kita kelak!

Peliknya Jadi Orang Tua Zaman Now

Peran yang sekarang aku emban menjadi orang tua, mau tidak mau membuatku berpikir tentang bagaimana anakku kelak di masa depan dalam lingkungan pendidikan jika masih begini rupanya. Masa sudah bertaruh nyawa untuk melahirkan anak ke dunia, eh, masuk institusi pendidikan habis dipukuli orang. Hati mamak sedih hanya dengan memikirkannya. Apalagi mamak-mamak yang anaknya "habis" dalam masa orientasi?

Akupun mendapatkan poin:
1. Cari sistem yang lain yang tidak melakukan perundungan
Semakin terbuka era informasi, semakin banyak inovasi dalam dunia pendidikan. Banyak yang menawarkan beragam teknik pendidikan. Bisa home schooling, sekolah alam, pondok pesantren, dan lain sebagainya. Di luar dari institusi negara. Dan tren semakin ke sini, semakin banyak orang tua kalangan menengah ke atas--khususnya--memilih swasta untuk anaknya belajar. Selain alasan keamanan, fasilitas dan kualitas guru jadi tolok ukur pertimbangan. Aku pernah dengar celetukan, "Lha, ngapain sekolah di negeri kalo orang tuanya mampu? Bisa dibayangkan kualitas PNS guru kita hari ini yang seenak-enak dalam mengajar. Di samping itu, mereka tidak bisa dipecat dan dikasih punishment. Berbeda dengan swasta yang mana kita bayar, kita berhak protes dan pecat guru yang tidak kredibel." Peer juga nih untuk institusi pendidikan negara kita. Nah!
2. Jika memang harus masuk institusi yang disinyalir melakukan perundungan, orang tua harus maksimal menjadi tameng keselamatan untuk anak
Sepertinya agak berlebihan menyematkan kata "tameng keselamatan" dalam poin di atas. Tapi memang sepenting itu nyatanya. Keselamatan toh bukan sekadar fisik semata. Tapi juga pemikiran dan jiwa si anak, bukan? Teringat dalam masa-masa orientasi, sejujur-jujurnya, saat meminta izin ikut kepada orang tua, aku berharap dengan sangat tidak diperbolehkan ikut. Bahkan aku cerita sampai pasang nada horor. Sayangnya, tidak berhasil. Dan karena aku terpaksa ikut, aku jadi sebal ketika ada yang dilarang orang tuanya ikut. Kemudian, terulanglah pemikiran "gue susah, lo juga susah dong" yang sebenarnya datang dari rasa iri dengki. Sebagian panitia biasanya mengancam pengucilan, soal sertifikat dan lainnya. Sementara sebagian dari peserta dengan lantang medeklarasikan ketidaksolidan pada mereka yang tidak ikut masa orientasi. Trust me, buat mereka yang mengemban ilmu sosial dan jatuh--cinta--terlalu dalam, kata solidaritas itu tinggi banget. Hampir selalu ampuh untuk mengubah pendirian. Atau hanya aku saja? Tapi yang luar biasa, kebanyakan yang tidak ikut masa orientasi, orang tuanya berada pada jenjang pendidikan tinggi. Sarjana dan paska sarjana. Bahkan tak sedikit yang orang tuanya bergelar doktor, profesor, atau orang berpengaruh. Menurutku, rupanya mereka tahu apa yang akan terjadi dan pengaruh untuk buah hatinya. Harus jadi orang tua berpengaruh atau berpendidikan tinggi? Kurasa juga tidak. Kalaupun tidak punya semua itu, orang tua yang tidak mengizinkan harus bermodalkan berani sebenarnya. Berani kritis dan protes kalau didesak. Pada beberapa cerita orang tua yang aku dengar, it works. Meskipun dikarenakan sang orang tua bukan orang berpendidikan tinggi atau orang berpengaruh, si anak mesti kena imbasnya soal nilai, misalnya. Tapi kerennya, orang tua memberikan support masalah moralitas yang mesti dijaga ketimbang sekadar nilai bagus atau sertifikat di tangan.

Pada sebuah tayangan--yang aku lupa di mana--aku pernah dengar bahwa dunia hari ini tidak kekurangan orang pintar/cerdas. Tapi kekurangan orang baik. Kemiskinan moralitas merajalela di mana-mana berpasangan dengan kemiskinan ekonomi. Orang yang pintar/cerdas namun tidak memiliki sikap yang baik, tidak bijaksana, tentu tidak bisa mengendalikan diri dan menjadi arogan. Alhasil, bermunculanlah manusia penuh drama dan netizen julid. Ups!

Bandarlampung, 27 September 2018
Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA