Mendengar untuk...

Pada tanggal 3 April 2018 seorang kawan SMP-ku datang ke rumah untuk menginap. Saat itu, suamiku sedang dinas. Kami berbicara panjang kali lebar kali tinggi hingga menjadi volume. Tak lupa juga diselingi dengan bermain bersama anakku.

Menjelang tengah malam, pillow talk kami membicarakan perihal laki-laki dan segala sifatnya. Kawanku ini akan segera menikah--in syaa Allaah. "Gue suka lho, Prim, ngetes dia. Gue emang nggak pernah bilang gue suka bersih-bersih. Tapi Fulan tau kalau gue nggak pernah rapi alias berantakan. Meski nggak berantakan-berantakan amatlah. Gue nggak pernah buatin dia makanan. Tapi kode-kode yang ada dari gue menunjukkan gue suka masak. Dan dia suka itu. Dia juga nggak pernah komplen."

Setelah beberapa baris kalimat kemudian, dia melanjutkan lagi. "Gue juga suka ngetes dia lho, Prim. Sebagai wanita, tentu kadang kita pengen tau, seberapa sabar sih laki-laki ini sama kita? Kadang gue nyadar, gue keterlaluan. Tapi gue tetep lanjut bikin dia sebel sambil ngomong dalam hati, "Ayo, tunjukkan sama gue. Seberapa mampu lho sabar menghadapi gue? Sampe kapan lho sanggup (hingga akhirnya) marah?""

Sejujurnya, aku pribadi sangat setuju dengan caranya. Menengok kehidupanku di belakang, aku memang suka sekali mengetes laki-laki dalam beberapa kesempatan. Mungkin bisa jadi semacam kejahilan ilmiah(?). Apalagi lingkunganku sebelumnya masih tercampur baur antara wanita dan laki-laki.

Aku membagi salah satu pengalaman menyebalkan mengenai hal ini. "Sejujurnya, sebagai wanita, kita menunggu seorang pemimpin rumah tangga yang sanggup mengayomi kita. Yang sanggup dalam membungkam hal menyebalkan yang kita miliki. Terkadang,  gue pengen tau, seberapa banyak sih laki-laki punya kualitas semacam ini? Gue pernah ketemu orang yang gue tes. Gue nanyain sesuatu dan dia menjawab. Jawaban dia mirip-mirip dengan apa yang ada dalam pikiran gue. Cuma beda versi saja. Gue sengaja puter-puter. Sebenarnya, yang gue tunggu adalah dia langsung cut dengan menyatakan persepsi setiap orang masalah suatu opini bisa berbeda. Dan masalah akan selesai."

"Tapi nyatanya, dia masuk dalam jebakan gue dan berdebat dengan gue. Hingga setelah dia tau jawabannya, dia kesel sendiri karena hampir serupa dengan apa yang dia jawab. Kata gue, ya, salah sendiri. Kenapa dia nggak cukup dewasa untuk memotong debat bodoh yang sebelumnya dilakukan?"

Kawanku mengubah posisi dari tidur menjadi duduk sekejap. Kami berbincang dalam bisik. "Kalo gue liat, dia memang mendengarkan. Tapi dia mendengarkan untuk menjawab. Bukan mendengar untuk memahami. Orang yang mendengarkan untuk menjawab, biasanya ingin terlihat pintar di mata kita."

Aku mengangguk. "Memang. Gue akui, orang yang gue tes ini pintar. Pintar banget malah. Sayangnya, dia nggak cukup cerdas meng-counter mana yang perlu dilanjutkan dan tidak dalam suatu pembicaraan. Dan kualitas ini menurut gue penting. Kualitas untuk meng-counter pembicaraan tidak perlu."

"Umur juga, Prim... Kita nggak pernah tau berapa banyak orang harus masuk ke dalam pembicaraan yang nggak penting terus belajar mengambil sikap. Kita juga nggak pernah tau berapa lama seorang belajar mengelola emosi dia."

Aku menunjuk ke arahnya spontan. "Tepat... Gue tau, dewasa nggak selalu soal umur. Nggak semua orang umurnya tua, dewasa juga. Tapi lebih sedikit orang yang umurnya masih muda dan dewasa."

Sumber: Pinterest by LLATC

Mendengarkan adalah salah satu kualitas tinggi yang hanya dimiliki orang-orang yang mau mengerti. Awalnya aku berpikiran demikian. Tapi semakin bertambahnya umur dan pengalaman bertemu dengan banyak orang menunjukkan kepadaku bahwa, mendengarkan pun ada tingkatannya lagi. Mendengarkan untuk apa? Memahamikah? Atau hanya untuk menjawabkah?

Pada kebanyakan orang yang aku temui, aku kebanyakan bertemu dengan mereka yang mendengarkan untuk menjawab guna mengambil simpati orang lain. Sangat jarang aku bertemu dengan mereka yang mendengar untuk memahami. Mendengar untuk memahami tidak menjadi garansi pembicaraan selalu hangat memang. Tapi menjadi garansi pembicaraan berkualitas dan solutif. Hal itu bergantung dengan cara penyampaian masing-masing individu. Aku ingin menjadi seorang yang mendengarkan untuk memahami. Memahami hal-hal rinci dalam setiap masalah yang dikandung dalam pembicaraan sehingga tepat sasaran dalam memberikan saran.

Bandarlampung, 07/04/2018
Prima Helaubudi
Saat menulis ini, tiba-tiba aku teringat. Di agama ini, kita tentu pernah mendengar tentang fikih. Tentang keterkaitan pengambilan hukum syariat yang terbagi atas wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Mengambil urusan fikih, berarti mesti dibarengi dengan masalah memahami situasi dan kondisi. Karena satu masalah, belum tentu solusinya sama. Semua terkait apa yang melatarbelakangi. Hal ini membutuhkan kemampuan mendengar dan menganalisis dengan baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA