Kebahagiaan Rata-rata Air


Suatu hari, perempuan itu berjumpa dengan kawan sebayanya. Mereka tertawa sambil membicarakan hal-hal menarik. Percakapan kian renyah sampai percakapan sampai di bahasan sensitif: jodoh, menikah, dan pernikahan. Lalu, perempuan pertama terdiam. Dia mendengarkan ujaran kawannya dengan khidmat. Akhirnya, ia buka suara, “Kamu mah enak. Kamu cantik, nasabmu baik, dari keluarga berada. Tentu kamu akan lebih mudah mendapatkan jodoh daripada diriku.”

Sejenak hening. Lalu, sang kawan membalas, “Justru itu. Justru karena orang melihat seperti itu dan tertarik padaku. Menemukan dia yang benar-benar melihatku karena faktor agama--faktor yang kuinginkan--menjadi sulit. Karena mereka menampilkan sebagaimana yang aku inginkan.” Keduanya terdiam dan mengalihkan perhatian pada makanan di depan mereka yang mulai mendingin. Tertunduk; dan suasana menjadi dingin.


***

Suatu hari saat perempuan itu berumah tangga, ada waktu kosong antara tingkatan detik yang terasa di hati. Kapankah aku akan memiliki anak? Aku sudah menunggu terlalu lama. Itulah ujarannya di hati. Rumah kawannya terasa begitu sepi. Padahal saat itu situasi demikian ramai dengan kesembilan orang lainnya. Seseorang memulai pembicaraan serius.

“Aduh, kapanlah saya ini punya anak?” Perempuan pertama berujar. Perempuan kesepian merasa kaget. Bagaimana bisa pikiran mereka sesama itu? Oh, iya. Dia melupakan beberapa situasi yang sama di antara mereka berdua.

Perempuan kedua mengunyah buah kurma yang disuguhkan si empunya rumah. Dia menjawab, “Sudah. Nikmati saja masa pacaran kalian tanpa anak.”

Perempuan pertama membalas dengan nada agak “gas”, “Ini sudah terlalu lama. Sudah 10 tahun. Aku jadi malas bertemu dengan mertua. Takut ditanya.”

Perempuan kedua mengangkat kakinya sembari menatap perempuan pertama dengan lekat, “Kalau sudah seperti saya, kamu akan merindukan masa-masa berdua. Sudah memiliki anak, sulit ada waktu beromantis ria seperti sebelum punya anak. Duh, rasanya saya ingin sekali anak-anak cepat besar agar aku masukin pondok. Biar tenang. Tidak ada yang riuweh di rumah.” 

Seseorang yang paling tua di antara mereka sekaligus pemilik rumah--Perempuan ketiga--berkata, “Nikmati masa-masa direpotin anak. Saya, sejak anak-anak jauh ada di pondok merindukan mengomeli mereka.”

Perempuan kesepian pun berkata, “Lho, kok jadi keluhannya pas? Bentuknya memutar seperti ini?” Semua pun tertawa. Lalu melupakan kisah-kisah hidup mereka dan tenggelam dalam percakapan receh lainnya. Mungkin mereka lupa; tapi perempuan kesepian itu tidak lupa.


***

Di suatu saat yang dingin, Perempuan kesepian memasuki kembali alam bawah sadarnya.


***

Apa yang dimaksudkan dengan kebahagiaan? Apakah kebahagiaan itu adalah mendapatkan apa yang kita inginkan? Setelah mendapatkan apa yang kita inginkan, berapa lama kebahagiaan itu bertahan? Ataukah itu hanya sekadar “senang” namun bukan “bahagia”?

 Sumber: Pinterest

Tidak ada kebahagiaan yang hakiki di dunia ini. Dunia ini hanya memiliki kebahagiaan rata-rata air. Siapapun diberikan. Kelapangan dan kesempitan. Kebahagiaan dan kesengsaraan. Semua silih berganti seperti keberadaan siang dan malam. Semua ada waktunya. Ketepatan waktu yang diatur oleh Allah Pemilik Semesta. Semua rata diberikan. Tidak ada yang jomplang satupun. Mereka yang menyatakan adanya kekurangan yang berlebihan dalam hidup mereka adalah mereka yang terlalu mengasihani dirinya sendiri. Banyak yang lebih tidak beruntung di luaran sana. Ketidakmampuan untuk melihat kebahagiaan kecil dalam hidup mereka laiknya kunang-kunang yang gagal dilihat. Gagal karena bersembunyi di punggung mereka sendiri.

Kupikir, itu terjadi karena kebahagiaan di dunia ini tidaklah sempurna. Bagi yang pernah belajar Ekonomi pernah mendengar The Law of Diminishing Return, Hukum Pengembalian yang Semakin Menurun. Apa itu? Itu adalah hukum di mana suatu hal yang terjadi berulang semakin diulang, kepuasannya semakin menurun. Adanya hal ini menyebabkan kita merasa biasa saja akan hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan kita. Lambat laun, kebahagiaan atas apa yang kita inginkan, akan memudar “rasanya”.

Lagipula, kehidupan tidak semudah itu, Kawan. Di balik megahnya sesuatu, ada perjuangan menggapainya yang tidak mudah. Setelah tergapai pun, ada perawatan yang mesti dilakukan. Itulah yang kita sebut sekelumit “kebahagiaan” di dunia ini. Menggapainya susah payah dan untuk menetapinya dibutuhkan tanggung jawab yang lebih besar lagi. Dan tentu saja, sebagai manusia, ada keinginan baru lagi. Seolah ada pendefinisian ulang secara otomatis dalam kepala kita.

Kita sendiri yang bisa menjawabnya. Inikah bahagia?

Sumber: Pinterest

Bandarlampung, 18/02/2018
Prima Helaubudi
For: Esy Andriyani | Nisa Larasati | Agnes Rachmawati | Mita Rusmiati | Ayu Khodijah | dll

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA