Berteman dengan Pelajaran Jarak Jauh



Kawan, di era digital seperti sekarang, tidak hanya pernikahan saja yang bisa jarak jauh (karena pacaran haram dan terlalu mainstream). Tapi juga belajar. Selama punya fasilitas yang memadai, in syaa Allaah setiap orang bisa belajar. Kerennya, menurutku, adalah tidak diketahui banyak orang laiknya jika kita biasa tatap muka. Pelajaran jarak jauh memungkinkan kita belajar dengan ribuan orang tanpa saling mengenal satu sama lain. Minimnya interaksi ini menjadi kelebihan di satu sisi dan kelemahan di sisi yang lain.

Meskipun demikian, bukan berarti aku tidak pro dengan yang namanya pertemuan langsung, ya?  Aku sangat pro. Sebagai seorang penuntut ilmu, kita tentu tahu bahwa ada yang tidak didapat dari menuntut ilmu tidak tatap muka. Apa itu? Mempelajari adab guru—cari gurunya yang benar tapi—dan tingkat ketenangan yang berbeda.  Mempelajari adab dan dapat ketenangan sih dapat. Akan tetapi kuantitasnya jauh dibandingkan dengan pertemuan langsung. Ada miss komunikasi juga kerap terjadi.

Hanya saja, sebagai seorang perempuan—apalagi tidak punya dasar pesantren dan punya banyak tanggung jawab di rumah—mau tidak mau pelajaran jarak jauh adalah cara yang efektif mengejar ketertinggalan. Aku tidak bicara soal pengajian rutin satu minggu sekali. Kalau mau mengikuti kaidah para salaf mencari ilmu dan mengomparasikan dengan pelajaran dunia yang didapat selama hayat ini, pantasnya belajar agama itu minimal tiga kali seminggu. Itu pun di luar taklim, baca buku, baca Alquran, dan lain-lain. Tentu bagaimana memenuhi kuota ini? Sementara ada tanggung jawab di rumah yang tidak sedikit, fitnah untuk perempuan kala keluar rumah, dan waktu belajar rutin yang kebanyakan justru tersedia dimalam hari yang mana tidak baik bagi perempuan. Jawabnya adalah dengan belajar jarak jauh.

Alhamdulillaah. Dengan kehadiran smartphone kita bisa mendapatkan pengajar yang tidak main-main—di luar yang ada di daerah. Seperti kita bisa dapat pengajar dari Madinah, lulusan LIPIA, dan Mesir. Memang tidak ada interaksi langsung. Akan tetapi, menyenangkan sekali rasanya. Ditambah asupan materi tanya-jawab yang kini melimpah ruah baik di telegram ataupun whatsapp. Tentu saja ini bagaikan ghanimah yang teramat bodoh untuk dilewatkan penuntut ilmu.

Saya tidak terbiasa belajar jarak jauh.
Fitnah smartphone banyak. Saya takut terjatuh ke dalam fitnahnya.
Saya amat sibuk bahkan di dunia nyata. Kapan saya sempat belajar di dunia maya?

Kawan, jujur kebimbangan-kebimbangan semacam itu menghampiriku saat memulai bahkan saat ini. Sampai saat inipun aku masih mempertanyakan, bisa atau tidak bisa pelajaran-pelajaran ini aku ikuti sampai seterusnya?

Pada awalnya, aku sangat takut menggunakan smartphone dan terganggu dengan grup-grup yang ada. Sampai akhirnya, aku keluar dari grup-grup yang tidak atau kurang bermanfaat. Setelah itu, terkadang banyaknya aplikasi di smartphone jelas membuat perhatian teralihkan ke mana-mana. Apalagi diriku yang notabenenya masih tergolong usia muda yang gemar dengan sesuatu hal yang baru. Ditambah, ada kewajiban yang mengikat—tentu saja secara kita di dunia dan makhluk sosial—rasanya waktu buka smartphone tidak ada. Tapi, coba—kita—renungi sejenak. Benarkah demikian? Benarkah dengan alasan takut terdistraksi oleh beragam aplikasi smartphone adalah alasan yang benar? Benarkah waktu melihat smartphone tidak ada?

Setelah berkali-kali aku men-training diri; berkali-kali dikeluarkan dari grup dan aplikasi pelajaran. Aku merenung. Kenapa? Aku tiba-tiba merasa waktuku begitu kosong dan terasa banyak! Aku berpikir alangkah bohongnya aku kepada diriku sendiri. Ketakutan pelajaran tidak terpegang? Well, kalau dipikir dengan jernih, ya, memang siapa yang tahu ke depannya akan terpegang atau tidak? Cukup usaha saja, kan? takut menzhalimi amanah belajar? Yang penting mencoba, kan? Takut terjebak dalam aplikasi tidak berguna di smartphone? Padahal kalau tidak digunakan belajar, smartphone jadi jauh lebih ngalor-ngidul lagi yang dibuka. Dan jika dipikir ulang, kapan mau majunya? Sudah tahu susah keluar rumah, susah pergi ke pondok pesantren, terus mau jumud begitu? Lalu, aku memutuskan bahwa aku terkena tipu daya setan.

Akan tetapi, sekali lagi. Ini pemikiran diri sendiri sih. Sebut diriku gambling dengan hal ini. Ada juga yang memilih tidak mau mengambil risiko untuk terjun ke dalam pelajaran jarak jauh. Itu pilihan. Untukku pribadi, ini adalah sarana untuk tidak stagnan, bercepat puas, dan mengejar ketertinggalan yang amat banyak. Aku sampai sekarang masih berusaha memaksimalkan waktu yang sedikit ini.

Intinya, aku mencoba berteman dengan hal—mubah—ini dan berharap bisa meraup pahala.

Bandarlampung, 22 Agustus 2017
Prima Helaubudi
NB. Menghentikan perbuatan-perbuatan tidak berguna dimulai dengan tidak banyak aktif di media sosial dan membuat status tidak berguna.

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA