Pada Suatu Titik
Masa
sweet seventeen-ku sudah berakhir
tujuh tahun yang lalu. Jikalau ada umur, tahun depan aku akan menapaki usia 25
tahun. Seperempat abad. Sebagai seorang yang sudah “tua” ini, tentu tidak ada
waktu untuk galau lagi, ya? Apalagi aku sudah berkeluarga. Meskipun aku sendiri
sudah dapat sertifikat seseorang bahwa aku adalah orang yang dewasa—yang dia
labeli usiaku dengan 36 tahun.
Pada
titik ini, aku sudah sangat jarang merenung melihat masa lalu. Tapi sekalinya merenung,
aku dicekam rasa sakit namun melegakan. Rasanya seperti menangis sesenggukan,
kemudian ada semilir angin yang menerpa wajah. Mungkin ini analogi paling bagus
yang bisa kubuat. Ada tebing yang curam, ada rasa sakit, ditinggalkan,
rencana-rencana yang gagal, dan beragam onak lainnya yang mencengkram. Akupun sendiri
heran dengan diriku. Kenapa aku memandang dengan demikian suram? Padahal di
sana ada keceriaan lain. Entahlah. Mungkin karena kehidupanku “sedikit berbeda
dari orang dengan batas normal wajar yang lainnya”.
Tentang
benci dan cinta. Tema hidupku yang tak pernah jauh-jauh berpergi. Seumur hidup
aku berjuang dengan apa yang diberikan Allah kepadaku. Dahulu, aku mengejar
target-target, rencana-rencana, dan ambisi-ambisi yang tiada usai. Aku berharap
di ujung perjuangan itu ada ketenangan. Ada sebuah tempat di mana aku bisa
menghela nafas panjang sambil minum teh hangat di sore bermega yang turun gerimis
kecil di sana. Tapi tidak begitu. Setelah target-target itu, ada target-target
yang lain. Setelah rencana-rencana itu, ada rencana-rencana yang lain. Setelah ambisi-ambisi
itu, ada ambisi-ambisi yang lain. Serasa meminum air laut saat haus. Bukannya menjadi
hilang haus itu, justru bertambah. Terjebak dengan pemikiran bahwa air laut itu
sama saja dengan air tawar lagi segar. Sama zat, namun beda sifat.
Sedikit
saja. Sedikit saja semua meleset, aku demikian sedih dan terpuruk. Adanya semua
target, rencana, dan ambisi itu ternyata berefek dominon. Kejatuhan yang satu
mendatangkan kejatuhan yang bertubi-tubi. Pada awalnya, aku selalu percaya
dunia ini akan memberikan balasan yang setimpal dengan apa yang diusahakan. Maka
aku berjuang dengan segenap darahku. Berjuang dengan segenap inginku.
Tapi
nyatanya tidak begitu.
Kenyataannya, selalu ada variabel yang tidak diketahui. Selalu ada incaran yang meleset saat melesat. Akan ada selalu batas-batas sifat manusia diri yang tak sama dengan yang lain. Akan ada selalu batas-batas masalah yang menyebabkan diri tidak bisa mengambil sebab. Lalu, sudah bisa ditebak ujungnya adalah: kegagalan.
Setelah
semua itu, aku masih bersikukuh—dengan pendapat kebanyakan orang di luar sana—bahwa
kegagalan itu disebabkan tidak maksimalnya usaha yang dilakukan. Maka dari
sebelumnya, aku meningkatkan usahaku jadi 150%.
Tapi tetap tak cukup sehingga aku naikkan 200% dan demikian seterusnya. Tanpa
sadar bahwa kekuatan yang kupancarkan keluar itu melemahkan dan merapuhkan apa
yang ada di dalam diri.
Pada
suatu titik—berhenti.
Orang
sekitarku terpengaruh dengan aura kegagalan itu. Semua terlihat begitu negatif.
Pun, dengan orang yang menyayangiku. Kalau dilihat-lihat lagi, dahulu
hubunganku dengan manusia seperti sadomasokis. Aku menyiksa mereka dengan
sikapku yang serba sulit ditebak. Tapi di sisi lain, mereka berkeras berada di
sampingku. Kalau bertanya, adakah rasa cinta—sebagai anak, teman, dan yang
lainnya, ya, ada. Tapi semakin rasa cintaku mencengkram mereka, semakin aku
merasa kecewa dengan apa yang ada dari diri mereka.
Pada
masa yang terus bergulir, aku (akan) banyak berpisah dengan banyak orang yang
dahulu pernah mencintaiku, masih mencintaiku, dan tetap mencintaiku. Lalu, sepi
itu datang kembali. Lalu, pada awalnya, aku berpikir bahwa sikapku salah. Aku berpikir
bahwa aku sakit.
Tapi
tidak.
Kenyataannya
aku hanya manusia. Sebagus apapun aku memoles sikapku, akan selalu ada yang
salah dengan diriku di mata orang lain. Akupun mulai membiasakan diri tidak
mencintai terlalu dalam. Toh, hidup di dunia ini hanya sebentar. Toh, aku akan
bertemu orang berbeda yang menempati posisi yang sama di hidupku. Meskipun demikian,
seperti kutipan salah satu buku psikologi yang kubaca, bahwa rasa cinta yang
dibagikan pada setiap orang di hidup pribadi tidak akan pernah sama. Simple thing-nya, siapa sih yang tak
pernah jatuh cinta? Tapi “rasa” dari cinta dari satu orang dengan yang lain
akan berbeda. Sayangnya, kebanyakan orang—termasuk aku—sering terjebak dalam
pusaran kerinduan. Ada sesuatu yang kurang dari yang satu dimiliki yang lain. Tapi
yang lain tidak memiliki apa yang sesuatu yang lain pula. Tidak sempurna. Manusiawi,
bukan?
Aku
nyaris tidak pernah mengikuti arus dengan tenang. Aku menyadarinya. Aku mengejar
kesempurnaan. Akan tetapi, aku makhluk yang tidak sempurna. Dunia ini juga
bukan tempat yang sempurna. Tapi itu tidak menyurutkanku—nanti—mendapatkan tempat
dan akhir yang sempurna.
Jadi,
pada
suatu titik
:
maafkanlah segala ketidaksempurnaan ini.
Bandarlampung,
28 November 2016
Prima
Helaubudi
Sumber gambar: random dari Google dengan kata kunci the sexy backbone over the rain
Sumber gambar: random dari Google dengan kata kunci the sexy backbone over the rain
Komentar
Posting Komentar