Hujan Ketiga Belas dalam Bumi
Ada hujan yang harus
kujaga hari ini—agar tetap ada di hati. Kata orang, hujan adalah analogi
tentang rasa sedih yang mendalam. Aku tidak menyangkal itu. Hanya saja, kurasa
adalah sesuatu yang bijak menganggap bahwa di samping ada rasa sedih yang mendalam
itu; ada rasa harap—bangkit. Apa salahnya bagi kita tenggelam dalam rinai hujan
ketiga belas dalam bulan ini? Mempertemukan pedihnya air mata dengan air hujan
rimbun. Setidaknya, air hujan akan menyatu dengan air mata: jatuh dengan ringan
dan pasrah. Lalu sebentar, saat terang matahari esok hari, air mata ini telah
menyatu bersama embun. Sebentar lagi mengangkasa menjadi awan.
Awan yang diam-diam
kaulihat dari balik jendela pagi ini. Penuh senyuman tatkala kaumakan dengan
beberapa orang. Pura-purakah kemarin? Atau pura-purakah hari ini? Ah, tak tahulah
yang mana. Hanya saja, mungkin hati manusia itu laksana cuaca yang bisa berubah
dengan cepat. Semua tergantung angin takdir—bisa kita sebut asal sebagai
keberuntungan—untuk membuat perasaan yang semula ada menjadi tiada. Perasaan yang
semula tiada menjadi ada. Kautahu, manusia itu terbuat dari tanah? Pada
akhirnya; bumi hanya menerima hujan. Tak pernah bertanya akan jadi apa.
Bandarlampung,
19-5-2016
Prima
Helaubudi
Komentar
Posting Komentar