Meninggalkan yang Tak Tertinggalkan
P
|
erempuan itu mengambil secarik kertas dan duduk di samping Sungai
Sienne. Ia berhasil mencapai puncak hidupnya dengan berhasil tinggal di Negeri
Romantis itu. Sayang, ia tak begitu beruntung soal percintaannya. Padahal, di
rumahnya kini ranjang kian hangat. Setiap malam ada seorang laki-laki tampan
bertubuh kekar—sesuai impiannya—membuatkan secangkir cokelat hangat di hari
yang dingin. Saat-saat di mana ia kehabisan ide untuk menulis cerita anak
terbarunya.
Jangan bilang siapa-siapa. Perempuan itu memang seorang penulis cerita
anak. Tapi sebenarnya, ia adalah seorang penulis romansa yang handal. Sayangnya,
pasangan hidupnya tak berkesempatan tahu itu. Ia menutup rapat-rapat hal
tersebut. Cukup satu orang yang tahu hal itu. Tulisan-tulisan romantis
memanjanya. Seseorang dari masa lalu yang tak lagi mungkin hadir walau masih
menghela napas di suatu belahan dunia lain. Di tepi Sienne yang hening, ia
mulai menuliskan sesuatu di secarik kertas tadi.
Yang takkan pernah kusebut namanya di hadapan siapapun.
Jarak kita terlampau jauh dan tak mungkin ditempuh lagi. Tembok-tembok
raksasa Cina mungkin akan kalah memisahkan dibandingkan dinginnya hubungan kita
ini. Hubungan kita takkan mungkin diperbaiki. Siapa yang memulai, kita masih
memperdebatkannya di hati masing-masing, kurasa. Kauperlu tahu, sesaat setelah
kepergianmu, aku mampir ke rumah yang pernah kautinggali selama kita menjadi
sahabat beberapa belas tahun itu. Beberapa tahun awal, aku hanya berani melihat
dari kejauhan. Sudah cukup kegilaan adanya rasa kehilangan yang merasuki hatiku.
Hari-hariku seolah berjalan normal.
Aku masih mengingat celotehmu saat kecil tentang impianmu menjadi
astronot pertama yang datang ke Planet Pluto. Aku merasa itu aneh. Jadilah aku
bertanya kepadamu: ada apa gerangan di Pluto. Planet kecil yang tak punya daya
karena jauh dari matahari tak ada cantik-cantiknya di hadapanku. Aku pikir,
kamu akan memiliih pergi ke Saturnus yang romantis seperti kataku saat
menjelaskan Galaksi Bima Sakti. Atau bisa jadi kamu memilih Jupiter dengan
besarnya impianmu di masa depan. Tapi kamu memilih Pluto. Saat itu kamu bilang,
Pluto adalah planet yang paling dingin. Dan kamu sangat ingin tahu apa yang
membuat Pluto bertahan “hidup” dengan dinginnya suhu di sana. Seperti kamu yang
selalu merasa keheranan dengan diriku yang selalu bersikap dingin dan juga
kegemaranku dengan cuaca dingin. Kauselalu mengingat bagaimana diriku diserang
hipotermia setiap kali musim hujan muncul. Dan kamu akan selalu datang ke
rumah, meminta izin pada orang tuaku masuk ke kamar seraya menyuapiku bubur
ayam sambil mengoceh betapa pentingnya aku jadi orang yang sehat. Tentang bagaimana
aku nanti memomong anak-anak. Aku beritahu, aku memikirkan anak kita. Padahal saat
itu aku dan kamu belum lagi paham perasaan masing-masing.
Setelah beberapa tahun, aku banyak kawan, namun tak pernah ada yang
bisa menggantikan kedudukanmu. Akhirnya, aku beranikan diri masuk ke rumah di
mana kamu pernah tinggal. Rumah di mana kamu pernah bermimpi. Rumah di mana
kamu dan aku pernah bersama. Jangan tanya kenapa aku tak bisa mengingatmu di
rumahku sendiri padahal kamu sering ke sana. Jawabnya adalah: sistem tukar
kamar bodoh yang jadi tradisi keluarga itu. aku bertukar kamar dengan kakak
laki-lakiku. Dan dia mendapatkan kamarku. Serampangan, ia ubah semua yang
pernah ada di kamarku. Hadiah-hadiahmu? Aku lengah, lupa sebentar, dan ia
berakhir hilang dibawa oleh tukang sampah. Kamu boleh marah padaku poda sifat
pasif nan pelupaku.
Aku berjingkat masuk ke dalam rumahmu. Semua berelemen kayu. Lalu,
seolah ada butiran salju yang menumpuk karena kain-kain putih sempurna menutupi
perabotan rumahmu. aku masih ingat betapa kamu benci rumah itu. seorang calon
penjelajah Planet Pluto yang futuristik terjebak dalam ruangan berelemen kayu. Katamu,
itu sangat menyedihkan. Sama menyedihkannya dengan diriku yang sangat ingin
memiliki rumah pohon untuk menulis. Sementara rumahku minimalis futuristik. Jangan
marah. Aku menginjak ujung-ujung salju itu. Aku sangat berhati-hati. Siapapun yang
datang takkan pernah bisa awas bahwa ada seseorang yang memasuki rumah itu.
Pada mulanya, aku datang ke rumah itu sebulan sekali. Lalu, dua minggu
sekali. Lalu seminggu sekali. Pada akhirnya, setiap hari. Aku penjaga rahasia
yang selalu baik. Tak ada yang tahu aku mampir ke rumahmu dengan selalu
mengucap salam setiap masuk. Setiap hari kedatanganku dikarenakan aku akan
pergi ke sini, ke Negara Paling Romantis di dunia ini. mengejar cita-citaku
keluar negeri. Apakah aku ingin kembali? Sangat… tidak ingin. Aku takut
mengingat tentangmu. Pada hari keberangkatan, aku sempatkan beberapa menit
mampir ke rumahmu, lagi. Sejenak, kosong. Setelah aku naik ke dalam pesawat,
aku baru menyadarinya: aku mencintaimu. Lebih, lebih dari sekadar kawan berusia
belasan tahun.
Apakah aku harus katakan aku mencintaimu? Mungkin perlu. Aku cinta
padamu. Sayang, aku sudah berjanji tak sebut namamu lagi. Jika kusebut, akan
ada serum pengembali ingatan tersuntik otomatis ke otakku. Aku masih ingat hari
menghilangnya dirimu dan keluargamu—tanpa bekas dan jejak. Malam itu, kamu
bilang akan pergi ke tempat yang jauh. Kamu bilang tak perlu aku rindu padamu. Wajahmu
pucat. Tiba-tiba hidungmu mengeluarkan darah. Katamu, ini kesempatan terakhir
untuk mencari tahu apakah Planet Pluto bisa dijangkau oleh dirimu. Aku tidur. Kamu
mengatakan besok, kita akan main bersama lagi. Aku tidur dengan bermimpi. Aku mengancang-ancang
permainan scrabble yang biasa kita mainkan. Kaumenangkan tanpa telak. Aku juga
merindukan mendebatmu dalam segala hal. Segala hal yang bahkan aku tahu kamu
pasti tahu benar soal itu. Aku selalu memancing amarahmu—dan itu selalu. Aku suka
mendengar nada panasmu. Dan di sela-selanya, akan selalu kucari cara
menyelipkan pertunjukkan rasa sayang yang membuatmu terdiam seribu bahasa. Cara
yang romantis tanpa perlu aku ditertawakan olehmu walaupun aku jelas sudah
kehilangan muka. Kamu, Si Pendiam, akan bicara di hadapanku.
Di hadapanku kini, kunci-kunci melambangkan hati sudah bergelantungan. Aku
tak percaya takhayul. Tak akan pengaruh semua itu. Aku menjalankan saranmu menjadi
rasional sebaik-baiknya. Lagipula, hatiku sudah tak punya kunci. Kunci itu
telah kamu rusak tanpa permisi. Meninggalkan kamu sendiri dan tak dapat keluar.
Laki-laki dalam hidupku hanya coba mendobrak. Tapi tak bisa. Bagaimana mereka
bisa? Sementara aku sendiri tak sanggup.
Apakah kamu masih ada? Pluto kini tak masuk jajaran planet. Aku telah
menjadi rasional. Dan aku mencintai Galaksi Andromeda sebagai cerita fantasi
terbaruku. Cerita-cerita romansaku telah kusembunyikan dengan sedemikian rupa. Aku
mencintaimu dengan terlalu sadar setelah kamu pergi. Bagaimana aku
meninggalkanmu jika kamu tak pernah dapat tertinggalkan? Kubawa kenangan
tentang kamu. Kusembunyikan dengan baik. Kamu, Sang Angin. Akulah Sang Api. Bersama,
kita saling terperangkap: dan tak bisa keluar untuk selamanya. Selamat bertemu
di permukaan!
Aku (yang adalah milikmu)
Deana
Perempuan itu melipat kertasnya. Lalu, ia masukkan ke dalam sehelai
amplop putih gading. Ia juga memasukkan selembar foto. Selembar foto yang
didalamnya ada seorang anak kecil kunci kuda dengan senyum yang penuh arti
untuk anak seusianya. Di sampingnya, ada seorang anak laki-laki yang proporsional
apabila berdiri di sampingnya. Laki-laki itu tersenyum: bahagia. Sebuah rahasia:
laki-laki itu sesungguhnya tak bisa tersenyum. Ia hanya tersenyum demikian
dalam hari itu saja. Hari saat foto itu dibuat.
Ia mengambil stempel lilin. Di stempelnya surat itu. ditulisnya
alamat: terbanglah bersama angin. Lalu, perempuan itu merogoh jaket panda tebalnya.
Semakin lama gerak tubuhnya semakin cepat. Ternyata, ia melupakan hal
terpenting. Ia memalingkan wajahnya yang anggun. Manik matanya menemukan
seorang laki-laki di sudut jalan.
“Aku hendak membeli pemantik api.”
“Silahkan.”
Perempuan itu berbicara dengan bahasa Perancis yang fasih dengan aksen
masa lalu yang memesona si penjual pemantik api tadi. Perempuan itu menyerahkan
uang. Lalu, berlalu. Si laki-laki penjual pemantik api melihat punggung
perempuan itu dan mulai berprosa dalam pikiran dan hati yang berdesir. Punggung yang indah. Punggung adalah simbol
kedukaan. Sayang, kurasa ini lebih dari duka. Jika biasanya punggung yang indah
adalah punggung milik orang yang meninggalkan, ini berbeda. Punggung ini adalah
punggung yang ditinggalkan. Gumam panjang dalam hati. Cantik. Sayang perokok, kupikir. Sungguh disayangkan kecantikan itu
akan gugur cepat dengan sia-sia.
Perempuan itu kembali duduk membelakangi si penjual pemantik api. Bukan,
ia bukan merokok. Ia membakar surat—yang bisa disebut—cinta itu dalam suatu
wadah hingga mengabu. Lalu—bagaikan telah mengremasi seseorang, ia taburkan di
Sungai Sienne. Abu itu berterbangan ke wajahnya yang pasrah menutup mata. Lalu,
ia melihat langit. Di mana abu menuju ke sana dan warnanya pudar menjadi tiada.
Hirup! Perintah perempuan kepada lelaki yang belum tentu masih ada itu.
Terima pesanku. Biarkan ia mengalir di
dalam darahmu.
Perempuan itu mengambil kertas: menulis. Lalu, disematkan sedemikian
rupa, ia menggantung gembok yang begitu simetris bentuknya dan sangat berbeda
dari lainnya. Terakhir, sebagai sentuhan akhir, ia lemparkan kunci gembok itu.
Kunci gembok itu mengalir sejenak bersama arus ringan Sungai Sienne hingga
akhirnya gravitasi membawanya terserak. Perempuan itu menangis. Janji yang
belum apa-apa sudah dilanggarnya. Sebelum ia dapatkan peringatan, ia sudah
menghilangkannya dengan sejenak tenggelam dalam sarung tangannya. Sarung tangan
yang setelahnya dipakai sempurna. Lalu, ia pergi dari jembatan Sungai Sienne
itu, memasang wajah tegas yang sungguh berbeda, dan tak menoleh—bahkan bisa
jadi tidak akan kembali dan ingat lagi.
Aku penasaran apa isinya. Mari kita lihat apa yang sudah jadi kenangan
bagi perempuan itu. tulisnya:
Aku kini belajar berahasia!
Bandarlampung, 18-11-2015
Prima Helaubudi
Campuran ingatan tentang banyak hal: buku, kenangan, diksi, dan
penyelesaian.
Komentar
Posting Komentar