Masa Kecilku #1
K
|
ebosanan menyergapku malam ini dengan tangan
dinginnya. Aku menonton sebuah film edukasi.
Entah sudah berapa lama aku tidak menonton film edukasi semacam ini. Film ini
tiba-tiba mengingatkanku dengan desa di Way Kanan tempatku kuliah kerja nyata
(KKN) dulu. Hanya saja, di film ini keadaannya lebih beruntung. Setidaknya
jalan sudah diaspal dan juga rumah-rumahnya lebih bagus dibandingkan dengan
rumah tempat tinggal sementaraku dan kawan-kawan di Way Kanan yang benar-benar
“baru dibangun” dalam arti sebenarnya. Buktinya saja, lantainya masih tanah.
Itu membuatku sangat bersyukur. Kata kawanku sampai-sampai saat mendengarkan
cerita kami satu demi satu dengan lugas menyatakan definisi KKN-ku adalah yang
paling original karena penuh penderitaan. Aku tidak bisa menampik hal tersebut.
Berkunjung dalam film Laskar Pelangi ini, aku
tersenyum sedih. Setidaknya tokoh-tokoh di sana sungguh-sungguh dalam keadaan
bisa mencicipi bagaimana rasanya nakal, bagaimana rasanya berlari tanpa lelah,
dan lain sebagainya. Kalau aku pribadi? Meskipun tinggal di ibu kota, aku
tergolong anak yang tidak punya cerita masa kecil yang menyenangkan semacam
itu. Aku akan ceritakan sedikit pengalamanku bermain.
Aku adalah anak kecil yang mudah sekali jatuh.
Setiap bermain, entah kenapa aku selalu jatuh. Meskipun ada kawanku yang lain
yang turut jatuh, entah kenapa lukaku pasti lebih parah. Pernah suatu ketika,
aku terluka di bagian kiri dan kanan kaki. Membaret panjang dari lutut sampai
unjung pergelangan yang tidak ditutupi kaus kaki. Berdarah-darah. Aku rela
menaikkan kaus kakiku sampai rasa sakitnya berubah jadi kebas saking aku tidak
ingin orang tuaku tahu. Aku selalu pulang dengan wajah tertunduk. Aku tahu,
ayah pasti marah melihatku jatuh. Sampai-sampai, ayahku selalu tidak pernah
absen dengan pertanyaan, “Jatuh lagi?” Dan aku adalah anak kecil yang dididik
untuk bodoh dalam hal berbohong. Alhasil, aku selalu menunduk tanpa menjawab
dan siap dengan kuping yang akan merah setelah ayahku melihat baretan panjang
lukaku.
Ayahku sangat marah karena aku memang sangat
sensitif sama debu, kotoran, dan juga air yang tidak bersih. Aku sama seperti
beliau yang berkulit sensitif. Bahkan lebih sensitif dari beliau. Jadilah aku
mudah luka. Beragam obat ayahku berikan untuk kesembuhanku. Ini sebab musabab
kenapa aku sangat benci dengan dokter. Bosan sudah aku menghabiskan waktu di
ruangan dokter setiap minggu dimintai obat untuk kulit, dicekoki dengan beragam
jenis obat. Aku muak. Sangat muak. Tapi, demi menyenangkan ayahku, aku terus
minum sampai akhirnya aku marah dan tidak mau minum lagi.
Kala itu, umurku lima tahun. Taman kanak-kanak
(TK) nol besar. Orang tuaku punya seorang pembantu rumah tangga saat itu. Aku
biasa bermain dengannya. Suatu ketika, ayahku memberinya perintah untuk membeli
sesuatu di apotek. Dan aku ikut dengannya. Apotek itu berada di seberang
rumahku. Tentu itu berakibat aku dan pembantu tersebut harus menyebrang jalan.
Ketika pulang, BRRRAAAK! Kami tertabrak. Setelah kini dipikir-pikir, lucu juga
bagaimana kami berdua ditabrak oleh angkutan umum (angkot) Rajabasa yang
berwarna biru muda itu.
Aku setengah sadar, setengah pingsan. Sementara
pembantu itu terkapar di dalam angkot di sebelahku. Kepalaku terbentur dan ada
semacam tayangan siaran televisi yang dipenuhi semut berkelahi di dalam
kepalaku. Sedari kecil, aku memang keras kepala. Saking keras kepalanya, aku
bahkan menolak untuk benar-benar pingsan.
Kami dibawa ke ruang gawat darurat. Aku setengah
sadar. Sesekali membuka mata. Aku ingat sekali ketakutan saat itu. Sebab, aku
ingat salah satu perintah ayah dan mama sewaktu aku kecil adalah bahwa aku
dilarang dekat dengan lelaki asing. Jadilah, aku langsung beringsut menjauhi
supir angkot tersebut. Kemudian, ayahku datang.
Aku langsung pura-pura pingsan (lagi). Sebab, aku
takut ayahku akan memarahiku. Seumur hidupku sampai sekarang, ayahku adalah
sosok laki-laki yang paling menakutkan sejagad raya. Meskipun aku anaknya dan
mewarisi sifat galaknya, aku benar-benar butiran debu jika dibandingkan dengan
dirinya. Ayahku marah besar dengan pembantu tersebut. Saking marahnya, sampai
pembantu tersebut ketakutan, izin pulang ke rumah, dan tidak kembali lagi bulan
berikutnya. Ayahku seram, saudara/riku!
Sejak saat itu, aku dilarang keras oleh ayahku
bermain keluar rumah. Sama sekali tidak boleh. Bahkan untuk bermain sepeda roda
dua saja aku tidak diperbolehkan. Jadilah aku sekarang sukses tidak bisa
mengendarai sepeda dan sepeda motor. Aku harus menghadap ayahku jika ingin
bermain. Aku lebih memilih seperti orang gila—sewaktu awal-awal hal itu
diberlakukan, diam termangu; kadang marah-marah di depan pintu saking ingin
bermain. Saat mama memintaku minta izin ayahku, aku lebih memilih mengurungkan
keinginanku untuk bermain. Aku tidak berani. Sangat tidak berani jika harus
berurusan dengan ayah.
Aku mencari hobi baru. Melihat diriku, ibuku
sering membawakanku majalah Bobo. Sementara kala itu, ibuku suka dengan majalah
Femina. Aku menghabiskan Bobo sehari-hari. Sampai hafal ceritanya. Setiap
mencari bahan bacaan baru, aku kerap menanyakan majalah Femina milik ibuku. Ibuku
sering menjawab, “Jangan, ya, Nuk. Kamu masih kecil. Baca apa yang
sesuai dengan umurmu.” Aku tidak suka dengan jawaban ibuku dan sering menjawab,
“Yah... Bosan Ayang ini, Mama. Majalahnya habis udah dibaca.” Aku pasang
wajah sedih. Tidak lama kemudian, barisan majalah baru ibuku belikan. Mungkin
itulah kenapa aku sangat suka dengan novel, komik, dan buku-buku yang memiliki
teknik cerita dan pewarnaan yang baik.
Di sisi lain, aku mulai suka mewarnai; lalu
melukis. Aku suka dengan gambar klasik. Dua gunung, satu pohon, satu matahari,
dua burung, sawah, jalan, dan rumah-rumah. Jika mendengarkan kata psikologi,
orang yang terdoktrin gambar semacam ini saat pertama kali dimintai menggambar
adalah orang-orang yang tidak suka berpikir berbeda dari orang lain. Tapi,
mungkin ini pengecualian untukku karena aku memang pada dasarnya suka dengan
gambar ini. Aku pernah ke rumah kakek( kandung)ku di Semarang. Aku menghabiskan
waktu berjam-jam untuk mengagumi lukisan naturalis yang beliau ciptakan. Sejak
saat itu, setiap ditanya cita-cita aku selalu menjawab, “Pelukis”.
Percaya atau tidak, sebelum menggambar anime itu
tren di kalangan anak muda, sewaktu usiaku sembilan dan/atau sepuluh tahun, aku
sudah berjualan lembaran gambar komik di kertas HVS. Gambar komik itu aku buat
dengan karakter yang aku ciptakan sendiri dan dengan plot yang aku kembangkan
sendiri. Percaya atau tidak juga, aku bisa mendapatkan uang Rp 2.000 dalam
seminggu. Saat itu Rp 2.000 sangat berarti. Sementara uang jajanku sedikit kala
itu. Ini adalah salah satu latihan dari mama sedari aku kecil. Nanti insya
Allah aku ceritakan di lain kesempatan.
Aku tergolong yang paling diam di kelas—walaupun
jika bosan, aku bicara juga sedikit-sedikit. Aku tidak tahu-menahu dengan
anak-anak lain, namun sungguh, yang namanya harus tampil ke depan kelas itu
menyiksa. Aku tidak tahu ada apa dengan diriku. Kalau di hadapanku perempuan
semua, entah kenapa aku lancar bicara. Sementara jika campur, aku gugup bicara.
Aku merasa bagaikan patung pajangan berada di depan seperti itu. Rasanya ingin
menghilang saja. Jika aku ini es batu, aku sudah meleleh ke mana-mana; mungkin.
Ini juga termasuk terlalu banyak anak laki-laki dalam ruangan kelas. Parahnya,
sampai aku pernah saat kuliah tidak mau masuk ruangan karena tidak ada satu
anak perempuan pun! Aku memilih pulang lagi. Merepotkan. Tapi, aku sangat
bersyukur dengan hal ini dalam derajat tertentu saat ini.
Sewaktu SMP, aku adalah anak paling pucat di
sekolah. Bukan putih, namun pucat. Sewaktu SD aku tidak ketara karena kelasku
sebagian besar adalah anak-anak keturunan Cina. Mereka putih-putih. Sementara
kami yang pribumi, ya, standar. Inilah yang kemudian menjadikan aku selama tiga
tahun di bangku SMP selalu ditanya, “Lo sakit, ya, Prim?” Ini berkat dukungan
kulitku yang super pucat kala itu. Ditambah jarang keluar rumah. Sempurnalah
sudah.
Sewaktu SMA, untuk pertama kalinya aku mengenal
apa itu warung internet (warnet). Aku memang mengenal permainan (game)
semisal tamagochi, tetris, dan lainnya. Inipun disebabkan oleh ayahku yang
keranjingan sehingga aku pun ikutan bermain. Kawanku terkaget-kaget dengan
pengakuanku yang baru bermain warnet setelah di bangku SMA.
“Lo serius, Prim?! Lo anak Bandarlampung, ‘kan?
Kok dusun sih?” Ini biasanya yang kawanku katakan saat tahu tentang hal ini.
Alasanku sebenarnya tidak mau dan tidak tertarik mencoba dikarenakan ketika
awal belajar Microsoft Word semasa SD, guruku berkata, “Anak-anak, jangan
berani-berani mencoba buka “Internet Explorer”, ya? Itu bukan untuk anak
seumuran kalian. Kalian boleh buka itu kalau sudah SMA.” Kemudian... aku
ternyata benar-benar patuh. Ketika mengetahui hal ini juga, banyak yang
menggelengkan kepala seraya tertawa. Aku pun sering bertanya betapa bodohnya
aku ini? Atau bagaimana? Sebab, aku berpikir anak-anak yang lain juga akan
patuh dengan perintah gurunya yang ternyata mereka juga dapatkan.
Aku terbiasa dididik untuk berusaha sekuat tenaga.
Aku biasa diyakinkan bahwa apa yang diri lakukan itu bisa jadi lebih baik lagi.
Aku dididik untuk tidak mudah puas. Di sisi lain, aku punya suatu sisi rahasia yang
mana aku sangat ingin ketenangan. Aku suka dengan situasi yang tenang; tanpa
drama. Biarlah drama yang aku kenang cukup dengan orang-orang yang kuanggap
penting. Aku ingin biasa-biasa saja. Maka dari itu, aku sangat bermasalah jika
diharuskan melakukan apa yang aku tidak aku sukai. Itulah salah satu
kejelekkanku. Aku hanya fokus atas apa yang orang terdekatku katakan dan juga
apa yang aku sukai. Aku sangat istiqamah dalam hal itu. Sayangnya, istiqamah
dalam hal yang tidak sepenuhnya benar dilakukan. Aduh! Jadi, jika ingin aku
istiqamah dengan apa yang hendak aku lakukan, pastikan yang itu adalah
hal yang pasti membuatku cinta mati. Bisa juga hal yang dimintai oleh orang
yang menurutku berharga.
Itulah sedikit dari masa kecilku. Aku sering
mendapatkan pertanyaan apakah benar kiranya aku adalah anak Bandarlampung.
Sebab, aku bahkan tidak tahu alamat dan nama jalan. Jarang keluar rumah. Hal
paling menyenangkan setelah adanya larangan ayahku terutama untuk keluar rumah,
kesenangan kecilku adalah setiap sore; setiap pukul empat, bunga pukul empat
akan mekar di pojok kanan depan rumah. Aku selalu menunggu jika sekiranya waktu
bunga bersemi tiba. Warna apa yang akan ditunjukkan padaku bulan ini? Putihkah?
Ungukah? Merah? Merah muda? Atau putih dengan semburat ungu? Putih dengan
bercak merah? Aku selalu bertanya-tanya sembari menghirup aromanya yang harum.
Aku juga sering memetik bijinya untuk kubuka dan kusesapi harumnya. Bubuk dari
biji itu serupa dengan bedak wajah yang bahkan tak pernah kupakai hingga
sekarang.
Implikasinya, itu membentuk diriku. Membentuk
siapa aku... sekarang.
Bandarlampung, 24-12-2014
Prima Helaubudi
Komentar
Posting Komentar