Dua Burung di Tengah Rerintik Hujan yang Mengingatkan


A
ku bangun dengan perasaan jengah pagi ini. Tidak bisa shalat menambah rasa suntukku yang sebelumnya memang sudah melapis. Pagi ini hujan. Di luar, warna langit putih kotor. Di bawahnya turunlah hujan rerintik yang kemudian membasahi genteng-genteng rumah yang masih terbuat dari bata merah. Warna gentengnya berubah menjadi kehitaman seakan ikut menggigil bersamaku pagi hari ini. Aku tidak bisa melihat kilau mentari yang biasanya hangat menyapa sebagaimana sebagian musim kemarau lakukan. Langit begitu kosong dipenuhi gumpalan awan tanpa celah.

Aku menengadah dan melihat lagi seekor burung hadir dan menggoda pandanganku. Menari di udara seolah sedang menegak habis air hujan yang rintik. Lalu, ia menghilang dari pandangan. Tetiba, seekor burung datang lagi. Kutebak dengan jenis yang sama. Ia hadir sembari kegelian di sayapnya. Seolah rintik hujan membuatnya tak sanggup mengangkat bulu-bulu di sayapnya. Lalu, ia menghilang dari pandangan. Datang kembali dua burung yang sama—kutebak. Kali ini keduanya datang bersebelahan. Membuat dua buah lingkaran kecil di udara. Satu searah jarum jam dan satu lagi tidak searah jarum jam. Kedua burung berwarna hitam itu kemudian pergi dan berhenti berparade mesra di hadapanku. Hujan dan awan putih kotor tebal memang mengembalikan dunia menjadi film hitam putih dalam banyak derajat.

Mereka pasangan serasi. Aku mengujar dalam hati saat tiba-tiba angin berhembus dari arah timur menuju ke wajahku yang suntuk dan kusut. Angin itu berhasil membuat wajahku tersenyum sedih. Aku menutup mata menghirupnya dalam—sensasi tenangnya luar biasa dan kauharus coba!

          Aku ingin bebas seperti dua ekor burung hitam yang mengepakkan sayap di tengah rerintik hujan itu. Aku sangat ingin.

Manusia tidak bisa lari dengan kedua kakinya bebas menerabas semua pembebanan syariat yang diberikan. Ujian pembebanan syari’at yang bahkan gunung-gunung, binatang-binatang, langit, bumi, dan semua makhluk berlari darinya. Manusia yang hina ini memilih memikulnya.

Aku melihat bahwa burung-burung tadi. Mereka lebih beruntung dariku. Mereka tidak akan ditanya kenapa pagi ini mereka tidak mendapatkan makanan yang baik. Kenapa anaknya tetap tidak makan. Kenapa mereka berebut makanan. Mereka tiada ditanya.

Aku melihat bahwa burung-burung tadi. Mereka lebih beruntung dariku. Mereka tidak akan ditanya tentang bagaimana mereka mati saat pertama kali mencoba mengepakkan sayap. Bagaimana mereka mati dengan terkoyak. Bagaimana mereka mati dengan tersayat. Mereka tiada ditanya.

Aku melihat bahwa burung-burung tadi. Mereka lebih beruntung dariku. Ketika mereka dibangkitkan nanti, mereka akan berbalasan apa yang dilakukan di dunia. Burung kecil akan membalas burung yang lebih besar akan makanan yang diambil paksa. Burung kecil akan membalas kekejaman burung besar. Setelahnya, mereka sirna menjadi tanah. Dan habis sudah.

Sementara aku akan ditanya darimana harta bendaku. Darimana makan pagiku. Kenapa aku zhalim terhadap keluargaku. Kenapa berebut makanan orang lain. Aku akan ditanyai.
Sementara aku akan ditanya mengapa aku bermaksiat. Mengapa aku lupa dizikir. Bagaimana aku menghabiskan waktu. Aku akan ditanyai.
Sementara aku akan ditanya saat Hari Perhitungan. Setiap yang terzhalimi olehku di dunia akan hadir. Mereka akan membalasku, meminta amalku, dan menimpakan dosa mereka kepadaku jikalau aku gagal di dunia ini. Aku akan ditanyai.

Setelahnya, hanya ada kebahagiaan abadi... atau kesengsaraan abadi.

Aku ingin bebas seperti dua ekor burung hitam yang mengepakkan sayap di tengah rerintik hujan itu. Aku sangat ingin. Meskipun... tidak bisa.

Bandarlampung, 9-12-2014

Prima Helaubudi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA