Cupis: Rambo vs Romeo
Penokohan:
Aku—kelas XII SMA; gender adalah
perempuan, manusia kacau, suku Lampung—Jawa Tengah.
Sebut saja H—kelas XII SMA;
gendernya adalah perempuan, kompetitif, suka dengan orang cerdas, kalau tertawa
sesuatu banget, cerdas, suku Jawa Timur—Jawa Tengah.
Sebut saja F—kelas XII SMA;
gendernya adalah laki-laki, suka memotong pembicaraan siapapun, cerdas, suku
Batak.
Sebut saja I—kelas XII SMA;
gendernya adalah perempuan, frontal, keras, cerdas, suku Palembang—Jawa Tengah.
Pak R—Pengajar Sejarah
Suatu hari yang cukup cerah, seperti
biasa sebuah tempat les dipadati anak-anak SMA yang hendak menuntut ilmu guna
mendapatkan tempat di perguruan tinggi. Salah satu tempat itu berada di
pinggiran kota di dekat Masjid Babussalam. Hari itu, adalah giliran anak kelas
IPS yang mendapatkan waktu mengenyam pelajaran sejarah.
Suasana kelas berisik—namanya juga
kelas IPS. Kemudian, Pak R masuk. Sekelas belajar.
Pak R : “Jadi, apa jawaban nomor 5?”
Yang ditanya : “Jawabannya A, Pak.”
Pak R : Belum tepat...
yang tepat...
F : (memotong) “Salah, huuuh!” Yang bener
itu B.”
Kejadian potong-memotong pembicaraan
berlansung hampir dua jam mata pelajaran. Sekelas sudah menghujat F
habis-habisan. Kecuali dua orang, tokoh “aku” dan “H”.
I : “Woy, ia. Kitaorang tau lo
itu pinter. Tapi, please nggak usah motong guru.”
F :
(lanjut memotong pembicaraan)
I : “Beuh,
terlalu ni anak. Gw ke sini belajar buat denger guru gw ngomong.
Bukan lo yang ngomong!” (buang muka ke kiri; menghadap tokoh aku) “Prim,
kok lo nggak ikutan marah? Tumben lo diem? Marah sih?”
Aku :
(suara serius) “Ntar, I. Gw beneran udah mau marah banget.
Makanya diem.”
Situasi hujat-menghujat sekaligus
menjawab pertanyaan terus berlangsung. Akhirnya, tokoh “Aku” tidak tinggal
diam.
Aku : (menggunakan suara rendah; messosopran,
mendelik ke arah F) “Weh, boy. Congor lo bisa ditutup, nggak?
Jadi orang kok suka motong orang ngomong sih? Nggak punya
otak. Moral lo ke mana, Boy?”
F : (melihat dan langsung diam
seketika sementara sekelas masih pada ribut)
Kejadian intens itu yang mana tokoh
“Aku” marah semacam itu hanya empat orang yang melihat karena ia tidak
menggunakan suara kencang. Hal itu hanya dilihat tokoh “Aku”, “F”, “H”, “I”,
dan “Pak R”. Sejenak hening. Kelas dilanjutkan dengan menjawab pertanyaan. Dua
pertanyaan awal, tokoh “F” bisa menahan diri. Tapi, pertanyaan selanjutnya?
Teknik potong-memotong dilanjutkan lagi.
Aku :
(gebrak meja pelan) “Anah kidah! Masih juga?”
F :
(terdiam kembali)
Aku :
(menggumam pelan) “Iya sih. Tau gw mah. Anak pinter, juara debat,
orang kaya lo itu. Tapi motong orang. Guru pula! Nggak punya otak
apa? Peduli amat sehebat apa. Gw ladenin deh kalo lo itu mau berantem.
Dasar sialan!”
I :
(segan) “Udah, Prim. Sabar.” (mengelus punggung tokoh “Aku”)
Aku : (tetap dengan gumaman pelan)
“Brengsek banget tuh anak!”
Tiga hari berikutnya, tokoh “Aku”
sudah tidak marah-marah lagi. Kemudian, ia melihat kejadian aneh dengan tokoh
“F” selama dua minggu berikutnya. Ia begitu penasaran kemudian bertanya ke
tokoh “H” yang mana saat itu murid yang datang baru tokoh “F, “Aku”, dan “H”.
Aku :
“Ih, si F itu kenapalah? Setiap ngeliat gw kayak ngeliat hantu. Langsung
kabur. Gw perhatiin, dua minggu ini dia nggak mau satu ruangan
sama gw?”
H :
“Ya gimana nggak? Orang lo marah-marah sama dia dua minggu lalu?”
Aku :
“Yaudah sih, biasa aja. Sekelas juga marah sama dia. Tapi dia nggak
kabur kayak ke gw.”
H : “Ya, lo serem gitu
marahnya. Tau nggak, pas lo marah ke dia, dia nanya ke gw
bisik-bisik. Dia tanya waktu itu, “H, Prima marah, ya, sama gw?” Ya, gw jawab
aja iya.”
Aku : (kaget) “Ya, ampun! Helllooo!
Sekelas marah sama dia. Masa dia nggak sadar? Dia cuma inget gw
yang marah? Unbelievable!”
H :
“Ya, dia mah emang bodo-bodo amat orangnya. Pas lo marah itu, Prim. Kena
banget sama dia. Dia kayak gitu karena ngerasa bersalah. Jadinya, nggak
mau satu ruangan sama lo. Dia juga mau minta maaf, bingung caranya. Dia itu cowok
sensitif, tau, Prim.”
Aku :
“Lucu sih. Sensitif, tapi nggak sadar. Aih, aih.” (menggelengkan
kepala)
H : “Bilang aja dimaafin gitu,
Prim. Beres urusan.”
Aku :
(pusing sendiri) “Gimana pula caranya? Anah. Dia yang salah
kenapa jadi aku yang harus bilang dimaafin, sih? Macam mana pula?”
Akhirnya, tokoh “Aku” masuk ke kelas
dan tokoh “F” mau keluar (lagi). Kemudian, tokoh “Aku” bilang dengan suara
lantang, “Udah, biasa aja.” Dan tiba-tiba semua selesai.
***
Tokoh “Aku”, “H”, dan “F” tak
diduga-duga semakin dekat dan akrab. Mereka bertiga kerap satu ruangan saat
yang lain sudah malas les. Sisanya selalu mereka bertiga. Suatu ketika, sebelum
bel masuk, tokoh “Aku” dan “H” duduk di depan kelas sambil meminum segelas teh
botol. Tokoh “Aku” bercerita tentang kejadian lucu perihal kelas tadi pagi yang
terlewat oleh “H” yang notabenenya tidak suka sama kelas mereka sendiri.
Aku :
“... Jadi gitu.”
H :
“Jadi gitu? Haha. Gila. Nggak tau gw ada kejadian lucu begitu. Padahal
satu kelas kita ini.”
Aku :
“Yah, lo juga sih nggak gaul sama diaorang.”
H :
“Males gw gaul sama diaorang. Nggak cocok gw, Prim.”
Tiba-tiba datanglah tokoh “F” dengan
cara jalannya yang unik. Dia mendatangi kedua perempuan tersebut.
F :
(sambil berjalan mengambil segelas teh botol) “Hayooo! Pasti lagi ngomongin
cowok itu!”
H dan Aku : (melongo)
F :
“Gw kasih tips nih, ya?” (menghabiskan segelas teh botol langsung saat itu
pula) “Gini nih...” (ia menghadapkan badannya ke arah kedua perempuan
itu sambil berdiri gagah dan kedua perempuan itu merasa ada yang ganjil dari
apa yang akan dibicarakan) “Kalo mau cari cowok itu kayak gw dong.
Tampang rambo, hati Romeo.” (sambil mengangkat kerah kemeja birunya)
H :
“Hahahahahahaaa...!!!” (tertawa dengan sangat keras)
Aku :
(minum dan kemudian keselek; batuk) “Aduh, woy! Ember mana ember? Muntah gw
sekarang! Huuuueeeekk!”
Bandarlampung, 25-12-2014
Prima Helaubudi
Punya aku ternyata teman kayak
gitu.. :D
Komentar
Posting Komentar