It Is A Big Deal Now
Saat menulis catatan kecil ini, aku sedang diserang panas cukup
tinggi. Untungnya, aku masih bisa cukup kuat beraktivitas; masih bisa bergerak
di rumah. Alhasil, aku masih bisa menyempatkan diri menulis dan juga membaca.
Ini menyenangkan.
Manusia itu berubah. Dan selalu berubah. Itu yang aku lihat pada
diriku sendiri. Banyak hal yang sebelumnya bukan hal yang penting, sekarang
iya. It is a big deal now. Kalau kamu tanyakan kepadaku sekitar tiga
bulan yang lalu perihal keluar rumah sendirian sampai batas maghrib sendirian,
aku pasti dengan lantang menyatakan bahwa itu wajar buatku. Tapi sekarang? Sama
sekali tidak. Aku mempelajari suatu hal yang mengharuskanku keluar pukul lima
sore dan kembali ke rumah pukul setengah tujuh malam. Sungguh mengejutkan! Pada
hitungan jam, aku langsung sakit seketika.
Aku diperingatkan banyak orang tentang beberapa hal, seperti:
[1] Berdebat
[2] Kebiasaan tersenyum
[3] Kerapian
[4] Pola makan
[5] Pola tidur
[6] Safar
[7] Kebiasaan keluar rumah
Awalnya, berantakan di semua hal itu buatku wajar-wajar saja. Tidak
ada satupun yang aneh. Menurutku masih wajar. Akan tetapi, seiring berjalannya
waktu, itu menjadi hal besar. Bahkan jika aku sendirian; jauh dari orang-orang
yang menyarankan. Melanggarnya itu menimbulkan rasa bersalah.
Aku menjadi berpikir keras tentang bagaimana mungkin orang bisa cuma
sekadar ikut-ikutan saja ketika melakukan sesuatu. Sementara ketika jauh dari
lingkungan, apakah hati itu tidak gelisah? Entahlah. Aku bukan mereka. Dan aku
benar-benar berharap tidak seperti itu.
Ketujuh perilakuku tadi. Aku sangat tersanjung Allah memberikanku
orang-orang yang tidak menyerah mengritisiku soal hal-hal tersebut. Terkadang
kesal, bete, sakit hati. Ini lagi; ini lagi. Meskipun begitu, tidak aku
mungkiri hatiku mengiyakan hal-hal tersebut tidak baik. Hanya saja, perubahan
itu tidak mudah. Sekadar menggeser kebiasaan-kebiasaan tersebut saja, aku butuh
waktu yang lama.
Bagian terakhir, tiga bulan lalu aku berkenalan dengan seorang
perempuan. Biasa saja. Tapi kami jadi cukup dekat. Beliau bertanya kepadaku
tentang pola keluar rumah dan terkejutlah dia mendengarnya. Dia menyatakan
bahwa aku tidak sepantasnya demikian—dan juga banyak orang lain. Dia bahkan
membuatku tertawa karena egois mengatakan, “Ana nggak mau tau.
Anti jam lima sore harus sudah di rumah!!” Aku heran dengan sikapnya
tersebut. Di suatu situasi sebelumnya, beliau juga menyatakan bahwa beliau
terbiasa pulang malam. Pulang bahkan sampai jam dua belas malam pula. Aku?
Kemarin, aku datang ke rumah beliau. Terburu-buru sebenarnya. Hanya
setengah jam. Lalu, beliau tanya aku mau ke mana dan sampai jam berapa. Beliau
tidak marah dengan frontal. Hanya mengeluarkan tatapan “aku ‘kan sudah bilang
kamu tidak boleh demikian karena buat cemas”. Aku cuma senyum atas persepsi
yang muncul saat melihat wajah beliau.
Benar saja. Saat pulang ke rumah, maghrib; hujan deras. Dikarenakan
sudah beberapa bulan terakhir aku tidak pulang jam segitu, aku ketakutan.
Pikiranku melayang ke hal yang buruk-buruk. Sampai di rumah, tiga SMS masuk
dari beliau:
Prim?
Hujan lo
...
Tiga SMS yang menunjukkan kekhawatiran. Untung saja, aku sudah sampai
rumah. Lalu, setelah kujelaskan, beliau SMS lagi:
Kalau
kehujanan, mandi pakai air hangat, minum antang*n. Jangan begadang. Cepat
tidur.
Iya. Banyak sekali yang mengritisiku banyak hal. Bertambah lucunya,
justru orang-orang yang paling keras mengritisiku mengabaikan bahwa mereka juga
kurang di sana. Mereka pulalah yang telah gamblang berkata kepadaku. Mereka
melarang ketujuh hal tersebut. Ketika sedang KKN dua tahun lalu, bahkan ketika
sedang kumpul biasa menonton televisi sejenak, aku dan kawan-kawan satu
kelompok—ada laki-laki juga di sana—berbicara ringan. Kemudian, ketika
menyinggung semisal pekerjaan, semisal keluar rumah, dan lain-lain, mereka
memperbolehkan perempuan yang lain. Tapi tidak denganku. Padahal, aku adalah
perempuan yang paling jarang bicara dengan mereka. Awalnya—dikarenakan sikap
skeptisku, aku pikir mereka ini menghina. Tapi ketika aku melihat mimik mereka,
mereka serius. Sangat serius dengan apa yang diucapkan.
Mereka membuatku awas bahwa everything is a big deal. Segala
perilaku kita perkara besar. Bukan hanya di mata manusia, di mata Allah ini
perkara besar. Benar saja. Kritikan orang itu didengarkan—tentu tidak juga
berlebihan. Jika ada yang benar, terimalah. Akui kekuranganmu. Lalu, sebisa
mungkin kurangi. Kalau bisa lebih baik sekarang, kenapa harus nanti?
Bandarlampung, 17-11-2014; 10.46 WIB
Prima Helaubudi
Komentar
Posting Komentar