Diperlakukan Seperti Hewan Langka
Dekat-dekat akhir Bulan Sya’ban lalu, Gramedia sedang mengadakan bazar
buku, seperti biasa. Aku berputar-putar bersama kawanku. Kami mendiskusikan
beberapa tampilan (layout) buku yang menarik. “Prima, lihat buku ini.”
Aku melihat bahasan yang diberikan oleh bukunya. Kemudian aku berkata, “Wah,
temanya menarik. Kalau kamu beli, aku pinjam, ya? Hehehe...” Temanku justru
berbalik menyatakan, “Bukan itu. Maksudku, layout dari buku tersebut.”
Ah, memang kalau persepsi bukan milik sendiri, kita harus sering konfirmasi
derajat kesamaan agar tidak salah paham.
Aku memperhatikan layout buku yang dimaksud dan aku menyatakan,
“Memang kenapa dengan layout-nya?” Kemudian, ia menjawab, “Layout-nya
unik banget, Prim. Batik bunga-bunga.” Aku melihat lagi sembari menaruh buku
itu kembali di tempat semula—karena buatku layout-nya biasa, “Oh,
begitu. Kamu tahu, kalau aku pribadi nggak terlalu tertarik sama layout-nya.
Soalnya, aku pernah membuat slide power point persis dengan teknik
begitu.”
Kawanku tersenyum kecil sambil membuat simpul huruf O tanpa suara dari
bibirnya. Selanjutnya, dia menyatakan
dengan menggeleng, “Kamu... klasik banget.” Ya ampun, lagi-lagi ini.
Kami pun beranjak ke atas Gramedia. Ah, memang buku-buku berkualitas
itu jarang didiskon, saudariku. Kemudian, setelah berdiskusi kami bersepakat
mencoba tes sidik jari. Aku sempat berdiskusi dengannya apakah ini mubah atau
haram. Sampai-sampai, aku bertanya kepada temanku yang lebih paham. Dia
menyatakan itu tidak menyangkut aqidah. Oke, jadilah kami ke sana. Temanku
sebelumnya pernah mencoba hal serupa. Akan tetapi, dia masih penasaran banyak
hal dikarenakan dahulu saat tes, dia sedikit mendapatkan informasi. Jelaslah
hal itu disebabkan oleh waktu yang sedikit.
Kami hampir saja batal dikarenakan yang jaga laki-laki semua. Aduh,
bagaimana ini? Pikir kami pusing. Kami—lebih tepatnya aku karena temanku
anti sekali bicara sama laki-laki kecuali ada keperluan—bertanya pada yang
menunggu stan apakah bisa tanpa memegang tangan. Dan jawabannya bisa.
Aku dinyatakan sebagai orang hiperkatif, ambisius, perfeksionis, benci
pada pengingkar janji, konsentrasinya jangka panjang, dan multitasking. Satu
lagi... melankolis. What? Itulah pikirku saat itu. Sementara kawanku
dinyatakan sebagai orang yang easygoing, benci pada pengingkar
janji—namun kata bapak itu dibandingkan denganku, kadar kawanku tidak parah,
konsentrasi jangka pendek, dan harus fokus pada satu pekerjaan.
Lucunya adalah, entah kenapa bapak yang menunggu stan itu begitu exciting
bicara denganku. Aku pribadi, jikalau bertemu orang yang terlalu exciting
begitu sering curiga dengan pikiran semacam: Apa yang orang ini mau
dariku? Ini pasti ada maunya. Sementara tatkala bicara dengan kawanku, dia
terlihat biasa saja. Aku melihat raut wajah sebal dari kawanku dibilang easygoing.
Sementara aku sebal dinyatakan perfeksionis, melankolis, dan ambisius.
Terutama bagian perfeksionis dan melankolisnya.
Setelah pulang, benar saja kawanku protes soal keduanya terutama. Aku
pun protes masalah easygoing-nya. Menurutku itu diriku. Akupun
bersepakat kalau perfeksionis dan melankolis itu kawanku yang lebih tepat
diberikan label demikian. Aku mengungkapkan kesebalanku, “Bapak itu kok ngomong
sama aku kayak ketemu hewan hewan langka sih? Aku risih ngeliatnya.
Nyebelin tau, nggak. Argh!”
Kawanku mengumam, “Iya. Aku juga sadar. Wajar, Prim. Orang yang fokus marketing
memang gitu. Motivator juga gitu.” Aku menjawab, “Ah, iya juga. Dan aku anti
banget sama motivator. Karena memang sejenis sih. Aku nggak suka sama
orang yang terlalu memandang sesuatu terlalu sempurna. Kayak nggak
memperkirakan kegagalan saja.” Demikian aku utarakan pendapatku kira-kira.
Kawanku melanjutkan lagi, “Tapi, iya lho, Prim. Bapak itu lebih exciting
sama kamu dibanding ngomong sama aku.” Aku tanya balik, “Kenapa,
ya?” Kawanku berasumsi, “Karena kamu nggak memberikan jarak personal,
Prim.”
Aku kaget dan jelas tidak sepakat, “What? Kamu nggak tau
tah? Tadi itu aku udah keringet dingin. Laki-laki lho. Udah gitu
hadep-hadepan pula. Nah, dan aku udah ngasih jarak personal yang nggak main-main.”
Gantian temanku yang kaget, “Iya, tah? Kamu itu cair banget, Prima. Kayak nggak
ngasih jarak personal. Mungkin itu yang menyebabkan dia asyik banget
ngomong sama kamu. Aku sampe susah mau nanya saking bapak itu exciting
ngomong ke kamu.”
Aku heran, “Nah, ngapa kamu nggak nanya saja?” Lalu, dia
menjawab, “Nggak, ah. Terus, kamu mau periksa sidik jari yang
(menyebutkan harga) itu?” Aku menjawab, “Iya sih. Kamu ‘kan udah. Aku
belum. Tapi liat isi dompetlah, ya? Ada, ikut. Nggak ada, ya syudah.”
Aku sejenak melihat langit yang mulai menguning. Kemudian sejenak menumpukan
mata ke spion motor kawanku. Maklumlah, aku ini jadi yang dibonceng terus. Jangan
tanya ke aku kapan bisa berangkat berkendaraan sendiri. Itu, kayaknya
mengumpulkan niatnya payah.
“HAH!” Aku berseru. “Kenapa, Prim?” Kawanku terkejut. Aku merasa melihat
hantu(?). “Ya ampun. Mukaku merah!!! Wah, dari kapan ini? Ini udah sepuluh
menit lalu agaknya. Dari di depan bapak itu.” Kawanku bergumam tidak jelas. Aku
minta dia mengulangi gumamannya, “Iya, dari tadi. Tenang saja. Di sana tadi
kita membelakangi cahaya. Nggak keliatan.” Lalu... perjalanan
dilanjutkan dengan aku pusing masalah: muka-saya-ditaruh-di-mana.
Sepulang dari sana, aku memang tetap bersepakat untuk lanjut tes.
Tapi, aku benar-benar meminta tidak bertemu bapak itu lagi. Sayangnya, aku
bertemu beliau lagi sebanyak dua kali. Total tiga kali. Sebelum pertemuan
terakhir, aku benar-benar mengafirmasi diri untuk tenang. Aku berasumsi bahwa
mungkin dikarenakan sikapku yang memang agak terlalu heboh buat sebagian
oranglah penyebabnya. Tapi... meski sudah mengafirmasi diri dan lebih tenang,
bapak itu tetap membuatku merasa diperlakukan seperti hewan langka. Ada apa
dengan orang ini? Pikirku seterusnya.
Bandarlampung, 10-11-2014
Prima Helaubudi
Semoga tidak ketemu bapak itu lagi!
Komentar
Posting Komentar