Bahagia Seperti Anak Kecil
M
|
elihat siang ini aku jadi teringat
diriku semasa kecil. Mirip Dora; itu yang di acara edukasi anak-anak Dora The
Explorer. Bedanya Dora itu kulitnya sawo matang, gemuk, dan hobi pakai celana
pendek untuk berpetualang. Sementara aku berkulit kuning langsat, kurus, mata
agak sipit, dan suka dipaksa mama pakai baju princess yang suka
membuatku gatal-gatal.
Aku memikirkan
kebahagiaan dan kemudian teringat ujaran sebuah artikel yang intinya: orang
dewasa itu memiliki pemikiran yang teramat kompleks dalam menyelesaikan suatu
permasalahan. Padahal jawabannya sudah ada di depan mata. Berbeda dengan anak
kecil yang berpikir dengan sederhana. Mereka juga jauh dari perasaan buruk,
semisal dendam. Tapi mohon dicermati. Aku bukan menyatakan orang yang
berkelakuan seperti anak kecil itu baik dalam setiap derajat. Aku tegaskan
hanya pada derajat tertentu saja.
Aku menapak tilas;
menyorot balik kenanganku semasa kecil. Aku terkejut. Aku mudah sekali dibuat
bahagia. Apa yang paling membuatku bahagia dan tidak pernah gagal? Cuma satu
hal: dibelikan permen. Itu; cuma itu. Padahal, aku dahulu tidak lagi boleh
keluar rumah main jauh-jauh gegara pernah ditabrak angkutan umum—dan dengan
keras kepalanya aku menolak pingsan total waktu itu; hanya setengah pingsan.
Coba kalau sekarang. Apakah itu berlaku? Belum tentu. Padahal sederhana lho.
Cukup dengan menyukuri segala yang diberikan. Apa yang kita sukai. Itu saja.
Aku menyadari bahwa
semakin dewasa, kriteria bahagia semakin rumit saja. Benar apa benar? Memang
demikian. Tidak bahagia kalau: tidak punya rumah, mobil, pasangan rupawan, uang
milyaran, pekerjaan langitan, dan lain sebagainya.
Duhai manusia,
pengingin nikmat sempurna di dunia.
Padahal tak
pelak kauketahui sudah, bahwa dunia ini terbatas.
Manusiawi. Benar-benar
bukan makhluk langitan. Padahal kita ini ingin akhir bahagia di akhirat yang
abadi. Aku memunyai gagasan kecil yang antimainstream untuk tantangan diriku
sendiri—yang ternyata tanpa sadar telah kulakukan lama sekali. Bagaimana jika
kamu menyederhanakan konsep bahagiamu? Bisakah kamu tergelak CUMA karena
mendapatkan es krim rasa vanila? Bisakah kamu tertawa CUMA karena kamu berhasil
makan kacang kulit yang kamu dapatkan? Bisakah? Bisakah juga kamu bersikap
seperti anak kecil tatkala hari ini tidak makan? Iya. Kebanyakan anak kecil
hanya mengeluh dan menangis. Tapi sebelum usia mereka baligh kebanyakan
dari mereka tidak terubah oleh kekecewaan ini. Bisakah kamu hanya memikirkan
hari ini saja? Tapi tetap sebagai seorang manusia kamu memiliki cita-cita abadi
mendapatkan akhir hakiki—sebuah akhir yang lebih dahsyat dibandingkan timbangan
duniawi. Yakinlah, pasti kamu akan sadar bertemu dengan sosok pengangan-angan
sejati.
Mungkin ada baiknya kita
belajar dari anak kecil. Menjadi anak kecil yang gampang disogok. Gampang
disogok dengan nikmat dari Allah sekecil apapun itu. Tanpa sedikitpun rasa
meremehkan.
Bandarlampung,
2-11-2014
Prima
Helaubudi
Sebelum
menulis dua artikel tentang bahagia ini, aku tes mental ke belakang rumah dan
rebutan dengan mama kacang polong Jepang dan berlaku seolah aku ini adalah anak
berumur delapan tahun. Lucu, perasaan yang sangat lucu; sungguh... :-)
Komentar
Posting Komentar