Apakah Antum Bahagia



*Bahagia, entah kenapa bahasan lama ini kembali mengambil sebagian pikiranku siang ini, pukul 14.00 tatkala sedang melihat birunya langit tanpa awan yang begitu sejenak. Terdapat dua pikiran; dua kenangan yang akan aku bagikan di blog ini. Insya Allah akan aku usahakan bersebelahan tempatnya ketika dibagikan.

***

Apakah antum bahagia? Empat tahun yang lalu ada seorang laki-laki mengirimkan SMS padaku dengan diksi yang persis sama. Hari itu adalah Hari Minggu. Hari perbabuan nasional di rumah. Jelaslah aku membereskan apa yang bisa dibereskan. Meskipun, aku akui bahwa aku tidak lagi secanggih ibuku soal beres-beres rumah. Aku saat itu sedang super acak-acakan, berkeringat, dan juga berputar-putar di rumah sembari membawa lap pel. Dan SMS itu masuk bersebelahan dengan SMS lainnya. Akupun tersenyum.

Akupun tersenyum; mengabaikan SMS tersebut dan membalas SMS lain yang masuk berderetan. Aku melewati menjawab SMS itu. Aku kembali mengurus pekerjaan rumah dan ditunggu untuk acara kampus waktu itu. Kenapa aku mengabaikannya? Well, itu karena aku bingung bagaimana menjawab pertanyaan tersebut. Mungkin aku akan sangat mudah menjawab jikalau yang SMS diriku bukanlah orang yang paham dan/atau lebih dulu belajar daripada diriku. Ini orang yang aku anggap pengetahuannya tinggi. Yakinlah diriku bahwa dia pastilah sudah membaca sekumpulan hadits dan juga ayat mengenai bahagia itu sendiri.

Aku pura-pura lalai membalas dan bertanya kepada kawan-kawanku lewat SMS, “Eh, kamu dapet SMS dari Fulan nggak yang nanya-nanya bahagia?” Dan aku tertawa sejenak di atas kasurku sambil sedikit mendinginkan tubuh bahwa yang di-SMS perempuan semua dan tidak satupun laki-laki. Sudah kuduga. Lebih baik tidak kujawab. Demikian ujarku dalam hati. Tapi, tapi, aku sendiri yang justru penasaran dengan apa yang akan kujawab. Aneh benar memang diriku inilah—dan kebiasaan ini berlangsung sampai sekarang. Ya sudah. Akhirnya, kuputar bola mataku mencari diksi tepat dan mengurai tanpa harus panjang lebar.

Jelaslah sudah jika melirik sejenak hadits dan ayat definisi bahagia itu adalah tatkala kita menghibahkan diri beribadah kepada Allah dengan tulus; ikhlas dan juga mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Iya, seperti yang termaktub dalam Adz-Dzariyaat ayat 56. Wa maa khalaqtul jinna wal insan ilaa liya’buduun. “Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu.” Gamblang sudah.

Aku putar otak mencari diksi yang tidak menggurui dan juga lebih bagus seraya gaul—walaupun harus kuakui aku gagal telak. Dan akhirnya aku menjawab, “Kalau saya bersyukur, saya bahagia. Jika saya tidak bersyukur, saya tidak bahagia.” Cukup.

Sederhana memang. Tapi pada kenyataannya demikian. Entah berapa kali sudah, aku berjalan sendiri menikmati sore yang beranjak maghrib, diliputi senja dengan pertanyaan ini hadir. Aku diliputi perasaan kosong juga. Berapa kali? Ah, akupun tidak lagi pandai menghitungnya. Dan aku menemukan bahwa jelas aku tidak bahagia karena diriku pun tidak punya definisi bahagia yang baik. Parameter yang tetap. Demikian keras kepala padahal banyak sudah yang lebih menderita dibandingkan diriku sendiri. Pencarianku berakhir soal ini. Persoalan ini geming lama sekali dan tidak berubah... hingga sekarang.

Bandarlampung, 2-11-2014
Prima Helaubudi
:-)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA