SDM Daisuki!

SDM Daisuki!

*Bismillah.. Catatan ini penulisannya induktif sih.. Jadi, intinya di akhir.. Tapi bagian awal menurut saya untuk meruntut kenapa saya berpemikiran begini (agak) penting...

“Gue nggak ngerti SDM itu ngomong apa, Prim.” Itu yang sering aku denger saat mengajak teman-temanku sesama jurusan manajemen untuk ambil SDM. Semua yang gagal kuajak beralasan yang satu ini. Ini sih bagiku wajar aja.. Soalnya kalo di ekonomi jelas yang sering dipelajari adalah hitungan. Dan alhasil, meskipun SDM adalah jurusan dengan taburan nilai A di mata kuliah konsentrasinya, yang masuk konsentrasi ini sedikit. Di angkatanku, cuma ada 15 orang awalnya. Makin ke sini jadi cuma 12 orang yang keliatan terus-menerus.

Kenapa saya memilih konsentrasi ini? Pertama, kalo masuk konsentrasi keuangan, saya nggak seberapa kuat hitungan. Tau diri aja. Meskipun sebenernya bisa aja sih kalo diusahain. Cuma gak punya keinginan di sana. Kedua, kalo masuk ke pemasaran, saya emang lumayan cerewet. Tapi saya nggak punya keinginan menawarkan sesuatu yang kuat kayak anak-anak konsentrasi pemasaran. Ketiga, truly, saya nggak mau masuk manajemen tadinya. Dan awalnya aja, saya nggak tau manajemen belajar apa. Awalnya, aku tidak percaya *nah, alay* tapi pas ketemu SDM, rasa exciting saya yang kata kakak tingkat SMA sampe diejek-ejek sebagai “anak IPS tulen” itu tiba-tiba dateng gitu aja. Dan ada kayak bunyi “klik” gitu. Yah, kalo agak romantis ngejijikkin sih, ya, first love at first sight *halllaaah...

Sejujurnya, kalo ditanya organisasi, saya punya pengalaman yang cukup campur baur selama kuliah. Bukan bermaksud durhaka terhadap organisasi *emang ada?* namun—mungkin karena saya cinta sama SDM jadinya—saya merasa lebih organisatoris pas belajar SDM. Gimana nggak? Orang awal masuk SDM aja kami selalu dikasih brainstorming yang luar bi(n)asa. Kami selalu dikasih dilema etis. Dan kerennya SDM, dosen selalu berhasil ngebuat kami dalam banyak kesempatan jadi debat. Aku sih nggak terlalu *dibaca anak SDM pasti bilang “bohong!”*.

Kalo ada yang kenal saya waktu SMA dan awal kuliah, tau. Saya nggak suka ngobrolin di antara suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yaitu ras dan antargolongan. Kalo suku dan agama saya masih sering ngobrolin. Disusul nggak suka ngobrolin kepemimpinan, politik, dan koleganya. Tapi, sayangnya, setiap mata kuliah SDM yang setiap mata kuliahnya 3 SKS itu, pasti ada bab mengenai ketiga hal tersebut. Beberapa yang aku inget sih, ya: desain organisasi, perilaku organisasi, motivasi dan kepuasan kerja, hubungan industrial, manajemen perubahan, manajemen SDM, manajemen SDM lamjutan, manajemen perubahan, dan leadership. Mungkin ada yang lain, tapi saya lupa. Atau mungkin juga itu sudah semua mata kuliahku. Semua berarti. Nggak beberapa. Hahaha...

Kenapa saya berubah pikiran? Hem, ada kawan yang bilang begini, “Prim, yang namanya mata kuliah di FISIP itu, ngubah pola pikir orang tau.” Tapi kemudian, saya sadar, sebagaimana ada yang bilang bahan bacaan dan kawan mengubah pemikiran seseorang, hal ini juga berlaku dengan kuliah. Mengubah cara pandang.

Soal SARA, ceritanya begini. Jadi, yang paling berkesan itu pas dosen masuk dan dia bilang begini, “Siapa di ruangan ini yang menyatakan bahwa membicarakan SARA adalah hal yang tidak baik untuk dilakukan?”

Banyak di antara kami di ruangan, termasuk aku sepertinya yang mengangkat tangan. Setelah menghitung jumlah kami yang mengangkat tangan, beliau melanjutkan dengan pertanyaan menjebak, “Kenapa SARA tidak patut diperbincangkan?”

Banyak yang kami lontarkan kenapa menurut kami tidak patut diperbincangkan. Demikian pula dosen memberikan kesempatan bagi yang pro membicarakan SARA untuk berargumen. Dosen tidak menyela. Setelah selesai, beliau memberikan jawaban.

“SARA itu penting dibicarakan juga lho. Apalagi kalian anak SDM.” Sontak kami seruangan bingung. Melihat kebingungan kami dosen melanjutkan berdasarkan teori di buku, kemudian dilanjutkan dengan realita di lapangan.

“SDM merupakan manajemen yang konsen-nya mengelola apa? ... ya, manusia. Membicarakan manusia, maka kita tidak bisa menyamaratakan satu manusia dengan manusia lainnya. banyak faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku. Cara melihatnya adalah dengan SARA itu. Nilai yang dianut seorang berbeda dengan orang lain...” Saat masuk kemari aku langsung ngecun-nya ini sudah masuk antargolongan.

“Kalo tidak membicarakan SARA, di bisnis contohnya, apa yang terjadi? Maka, seharusnya tidak ada yang protes kalo hari Lebaran tidak libur.” Kami bergumam tidak setuju. “Lho? Katanya nggak SARA? Atau okelah kalo ada yang bilang itu libur nasional. Tapi bagaimana ceritanya kalo misalnya masalah wanita ada cuti dua hari per bulan karena dua hari awal menstruasi? Atau cuti karena melahirkan? Kalo tidak bicara soal SARA, seharusnya tidak ada cuti untuk kedua hal itu. Disamaratakan dengan laki-laki. Contohnya lagi, kalo ada laki-laki memasang lampu di tempat tinggi misalnya. Kalo nggak pake SARA, seharusnya wanita pasang lampu sendiri. Lalu termasuk juga, ngelas, angkat beban berat. Oke, ada yang bilang wanita ada yang tomboy. Tapi seberapa wanita sanggup menjalani itu semua? Pasti sekuat-kuatnya wanita soal tenaga lebih kuat laki-laki. Maka jujur, saya termasuk orang yang tidak pro atas emansipasi wanita. Boleh bekerja, boleh berkarir, tapi tetap kita tidak sama rata.”

Sudah deh, kami diam. Di kesempatan lain, kami membicarakan masalah dilema etis bagaimana perusahaan-perusahaan besar yang membuat cabang di negara yang benar-benar baru. Ternyata, selain pertimbangan biaya, budaya orang-orang di suatu negara menjadi pertimbangan yang cukup kritis untuk dilakukan.

Selanjutnya, soal kepemimpinan. Sudah lumrah kalo di organisasi itu ada deh yang namanya seminar berbau kepemimpinan. Diklat-diklat begitu bentuknya. Saya pernah ikut beberapa di antaranya. Demikian pula dengan kawan di satu konsentrasi. Karena di konsentrasi saya nggak ada yang bukan orang organisasi.

Tapi, pas saya telah mendapatkan mata kuliah leadeship yang ber-kode pelajaran (kopel) 3 di awalannya itu—selain memang kalo soal ilmu walaupun tahu tapi kita harus mendengarkan seolah-olah belum pernah tau—rasanya kayak bener-bener nggak pernah ikut diklat sebelumnya. Ternyata benar kata Imam Syafi’i. Kalo yang namanya ilmu itu waktu juga memiliki peran penting. Perbadingan antara diklat satu hari dengan pelajaran satu semester. Beuh, jauuuh beda, Mastah!

Alhasil, aku ngoceh panjang kali lebar kali tinggi *berkubik-kubik* sama kawan-kawanku diskusi yang perempuan. Semuanya anak FISIP sih. Saya ngoceh yang kira-kira, “Kesel lho, saya! ... Ya iyalah. Kamu tau nggak yang ngisi waktu itu mahasiswa. Dia bilang katanya kalo yang namanya leadership itu materinya bisa dikuasai cuma dengan baca buku aja! Nggak tau dia sejarah dan rumitnya leadership itu gimana dan gimana leadership itu memengaruhi sebuah organisasi. Dan ternyata yang dia kasih di diklat itu, kalo di buku leadership yang asli, Cuma satu lembar terakhir!!! Padahal kalo dia kupas semuanya, dijamin deh, efektif orang ngambil keputusan. Berani-beraninya dia bilang leadership nggak penting. Dia pasti nggak tau gimana para CEO perusahaan besar di dunia ternyata setiap tahunnya datang ke konsultan buat minta materi dan teknik kepemimpinan. CEO itu lho. Nah, ini? Mahasiswa yang ngomong gitu. Aduh, rasanya kalo ngeliat para CEO itu yang memang udah hebat aja mau belajar. Kok kita yang emang masih mahasiswa bisa-bisa dan berani-beraninya bilang kayak gitu? Padahal belum jadi apa-apa. Rasanya kalo balik ke zaman itu, pengen ngajak berantem deh. Rasanya stupid banget gueh anak SDM tapi diem aja. Berasa durhaka nih sama konsentrasi. Hiks...”

Kawan saya diskusi udah bosen kali ngeliat saya impulsif begini. Jadi mereka dengan santai ketawa-tawa dan bilang, “Itulah, Prim. Makanya jangan asal bacot doang. Harus berilmu dulu. Emang ya, kalo udah tau itu rasanya gemes sama orang yang asal omong serampangan.” Kalo kawan yang jarang diskusi paling reaksinya, “Sabar, Prim. Sabar!” Hahahaa...

Kenapa saya bisa sangat impulsif begini? Jadi cerita gini. Pas diklat, datang deh salah seorang mahasiswa. Terus dia ngasih teori kepemimpinan. Sebenernya itu aja nggak pantes dibilangin teori kepemimpinan. Itu lebih cocok dikatakan “gaya kepemimpinan”.

“Yah, gitu. Jadi teori kepemimpinan mah cuma gini-gini aja. Selesai kan? Belajar teori kepemimpinan sih, ya... kayak saya, 15 menit juga kelar. Yang penting itu jam terbang.” Begitu katanya dengan nada tinggi. Beliau menjelaskan gaya kepemimpinan yang otoriter, demokratis, kekeluargaan, dan eksekutif. Dan itu bener. 15 menit selesai. Terus dilanjutin dengan studi kasus. Kami dibagi dalam tim. Terus disuruh membayangkan kalo naik kapal terus tenggelam dan terdampar di pulau terpencil. Kira-kira apa yang harus dibawa dari kapal. Sebenernya, pas disuruh kayak gini, saya bingung apa relevansinya sama kepemimpinan.

Sementara dosen saya, awal masuk udah disuruh maju satu-satu. Disuruh presentasi dadakan per orang. Buat melihat penguasaan diri. Karena kalo per orang akan terlihat kemampuan penguasaan dirinya yang merupakan bekal jadi seorang pemimpin. Jujur ngomong, kalo saya menilai diri saya sendiri, dapet C aja nggak pantes. Soalnya saya nggak bisa menguasai diri pas dadakan begitu.

Pertemuan kedua, kami disuruh mengumpulkan analisis SWOT diri sendiri. Ada sebutannya dalam leadership. Nama dalam leadershipnya analisis GAPS (Goals, Abilities, Perceptions, Standards). Analisis GAPS ini akan memperlihatkan seberapa jauh orang mengenal dirinya sendiri, keinginan, kesenjangan, dan apa yang harus diperbaiki. Lalu disusul tugas tentang profil dan analisis kepemimpinan berdasarkan tiga bab yang disuruh pelajari.

Yang paling berkesan, dosen saya bicara, “Apa itu kepemimpinan, kenapa harus memimpin? ... Ya, yang namanya leadership itu kuncinya dua, penguasaan materi dan juga jam terbang. Di sini pernah berorganisasi semua? Jangan sampe nggak. Anak SDM nggak pernah berorganisasi? Malu-maluin saya yang jadi dosennya. ... Jadi, menurut kalian, mana yang lebih penting? Penguasaan materi atau jam terbang yang banyak?”

Sekelas kami menjawab jam terbang yang banyak. Dan ternyata, seperti biasa dalam SDM, ini jebakan. Hahahaa... “Jadi, jam terbang? Kalo gitu, baca aja buku yang sudah kalian punya. Terus hapus aja mata kuliah leadership-nya. Atau langsung saya kasih A semua. Gimana? ... Kok pada diem? Katanya calon pemimpin? *siapa pak yang bilang?* ... Jadi, berubah pikiran? Belajar leadership penting? Ah, beneran penting apa takut dapet E? Hahaha... (serius lagi) Jam terbang memang penting. Tapi ingat, jika pun kalian satu ruangan ini satu organisasi, yang jadi ketuanya hanya satu orang. Jadi untuk apa belajar leadership? Minimal untuk memimpin kehidupan kalian sendiri. Memimpin  rumah tangga misalnya, anak, keluarga, atau minimal diri kalian sendirilah. Ingat. Setiap kita itu adalah pemimpin. Dan setiap kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban. Sementara pemimpin yang sudah sukses, banyak di antara mereka yang belajar lagi kepemimpinan. Dan syarat utama jadi pemimpin yang baik adalah terus belajar dan memiliki pengikut yang loyal. Sebab, kalo jadi pemimpin, mereka harus satu-dua, bahkan lima langkah di depan pemikirannya dibandingkan yang lain. Jadi, tetap mereka itu, pemimpin yang baik terus belajar memimpin.”

Saya berguman dengan teman-teman saya, “Sis, kok rasanya kita ini bego banget, ya? Kayak nggak pernah berorganisasi sebelumnya?” Ternyata teman saya mengangguk dan menyatakan, “Iya, Prim.” Coba kita ambil leadership dulu baru organisasi. Serius kita melakukan kesalahan selama berorganisasi.” Dan pas tanya teman-teman lain lagi, sama perasaannya. Merasa bersalah gitu, kan?

Saya jadi inget dosen saya ini pas baru jadi anak baru. Dia masuk ke ruangan anak manajemen dan berucap lantang, “Selamat datang di fakultas ekonomi. Di sini anak manajemen semua? Wah, saya juga alumni jurusan manajemen. Saya berikan petuah buat kalian yang masuk ke manajemen. Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur dan mengelola. Jadi, kalo Anda mahasiswa jurusan manajemen, selama kuliah tidak pernah ikut organisasi apa-apa, maka Anda percuma masuk manajemen. Keluar aja dari sekarang.”

Jauh beda materinya. Memang sih, bisa dikatakan ya namanya mahasiswa lawan dosen. Tiga hari lawan satu semester. Pelajaran buat saya lain kali liat dulu siapa yang isi dan materinya lengkap apa nggak. Jangan iya-iya aja.

Balik lagi. Saya nggak tau sih temen-temen yang lain. Tapi sepulang dari kuliah tersebut, kepala gueh pus(y)ing. Di samping itu, kami belajar (lagi) teknik rapat, merencanakan konflik, dan lain-lain. Mungkin ada yang tanya *ada tah?*, “Kenapa konflik harus direnanakan?” Mudah sebenarnya. Untuk memprovokasi orang mengikuti keinginan kita. Mendapatkan kekuasaan atas orang lain yang hubungannya selalu erat dengan politik.

Btw, ngapa saya ngomongin mata kuliah yang ada bab politiknya? Karena tiba-tiba saya inget beberapa orang di FB yang waktu itu saya buat status tentang hal ini. Terus ada yang tanya tentang politik ini. Saya lupa bales dengan jelas. Entah lagi nggak mood apa gimana.

Tentu dipahami. Saya di sini nggak mau bicara di luar konteks, ya. Soal politik negara dan Islam ada yang lebih kece dalam bicara. Mereka belajar khusus hal tersebut bertahun-tahun. Sementara saya, hanya beberapa bab saja. Jadi tentu dalam skala keilmuan, nggak ada seper-sepernya.

Ketika masuk ke bab kekuasaan dan politik, lagi-lagi, awalnya aku nggak suka, tapi jadi nggak seberapa males lagi ngomongin hal ini. Pas masuk ke bab ini dan juga termasuk bagi-bagi jatah presentasi, saya berdoa nggak dapet bab ini. Gak suka aja.

Entah dosen sadar apa nggak, tapi saya berasa ke-gap pas dosen masuk bab ini dan bilang, “Saya tau di ruangan ini ada yang tidak suka dengan masalah politik. Karena politik biasanya diasosiasikan dengan hal-hal yang kotor dan buruk.” Eaaa, jleb langsung berasa.

“Tapi, jangan lihat politik dalam artian luas saja. Sebenarnya, sedari bayi kita sudah berpolitik. Coba lihat pengertian politik (menjelaskan)... Kenapa saya bilang kita memang punya gen untuk berpolitik? Contohnya begini. Saat masih kecil, masih bayi, kita belum bisa ngapa-ngapain. Siapa di sini yang lahir langsung bisa lari-lari bicara? (tertawa) dengan apa kita meminta sesuatu kepada orang tua kita? Dengan menangis. Dengan menangis itulah si bayi memperoleh kekuasaan atas orang tuanya sehingga keinginannya dipenuhi.

Kalau penangkapan saya sih, ya. Ini politik dalam artian mikro. Sementara kalo makro, seperti yang awal saya bilang, i am not capable. Haha... Banyak beud yang kudu dirinci kalo kata gueh sih. Mulai dari politik tingkat apa nih? Negara, propinsi, keluarga, individu? Siapa ke siapa? Individu ke kelompok, individu ke individu, kelompok ke kelompok? Politik pake ideologi apa dulu nih? Berhubung saya emang dari kelas 2 SMA gawenya telen masalah ideologi, jadi kalo diperhatiin memang gaya politik tergantung penegrtian ideologinya. Beberapa orang bilang ke saya buat nggak sering-sering belajar masalah ideologi semacam ini. Tapi, maaf, mbak-bro. Mau nggak mau nih.. tuntutan keilmuan. Hehe..

SDM rumit? Iya. Bahkan ada buku tentang riset yang dilakukan perusahaan menyatakan bahwa manajemen SDM itu adalah yang paling dibenci dalam organisasi bisnis. Banyak yang bilang SDM nggak ngelakuin apa-apa tapi sok sibuk. Oke, pembelaan, ya? SDM itu paling buanyak tugasnya ribet pula. Harus ngedengerin orang dari keuangan estimasi biaya buat karyawan berapa, harus dengerin masing-masing departemen itu butuh kualifikasi kayak mana, kalo orang yang direkrut jelek, SDM disalahin. Huhuhuuhuu... Ditambah ngurus desain organisasi, rekrutmen, gaji, tunjangan, ngurus pelatihan, mencermati yang stress, beda persepsi, sampe PHK. Buanyak, broh... SDM sendiri irisan banyak ilmu. Kadang saya ngerasa agak aneh manajemen SDM masuk ekonomi. Kadang lho, ya.. Habis... Hubungannya sama psikologi industri, sosiologi, manajemen, hukum, dan beberapa kesejahteraan sosial. Ribet.

Yang buat saya admirer lagi... Pelajaran-pelajaran SDM bisa diimplementasikan di kehidupan kita *kita?* pribadi. Bagaimana cara melakukan perubahan, bagaimana menyamakan persepsi, melihat stres, mendengarkan dan berkomunikasi dengan orang lain, menyatukan antara teori dan praktis. Oh, iya. Soal yang terakhir ini. Kebanyakan orang yang teoritis sering bilang ke saya, “Kamu ini asal jalan aja lho, Prim.” Sementara orang yang praktisi sering bilang ke saya, “Ah, kamu ini teori doang.” Itu benar. Kadang sebagai manusia setelah banyak menelaah diri sendiri, adakalanya kita nggak pertengahan dalam menjalankan sesuatu; tidak seimbang. Tapi adakalanya, kita sendiri sebelum bicara demikian melihat diri kita dulu. Kadang, saya sering punya temptation untuk bicara sama kayak begitu ke orang lain dengan frontal. Tapi, saya sering melihat mungkin saya bicara dia terlalu teoritis karena proporsi saya bersikap praktis lebih banyak dari dia. Demikian pula sebaliknya. Ada waktu dan tempat buat semuanya. Buat saya sih, ya... SDM membuat saya jadi lebih wise. SDM daisuki!

“Seorang yang memiliki kompetensi bagus, biasanya menjauhi untuk mendekati pemimpin. Hal ini karena dia ini adanya posisi tawar (bargaining position) yang baik.”
“Jika ada strategi baru tapi tidak ada perubahan, strateginya berarti omong kosong!”
—Dosen—

Bandarlampung, Juli 2014
Ceracau nggak penting aja.

Nggak terima debat. Ini just my opinion dari konsentrasi gueh.. cekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA