Nuansa Hening
Nuansa Hening
Aku meminta kepadamu sejenak untuk berhenti mencibiri hari. Katamu, ia
datang dengan ransum perintah-perintah yang tak pernah kauminta. Celah jemarimu
telah banyak membukakan pintu bagi para menagih hutang, atasan yang murka,
hingga barisan setrikaan tidak rapi. Ah, mungkin hening tak lagi menemukan
sarangnya di balik waktu-waktu kita. Akibatnya, ia pergi; meninggalkan kita
sendiri. Serupa dengan hubungan yang ditinggalkan tepat sebelum dimulai.
Aku-kamu, kita, sama-sama mengaitkan kedua jemari masing-masing.
Memasang dan memajang posisi berdoa berharap hari segera berakhir. Seolah
dijamah doa kita—padahal sejujurnya aku juga tak mengerti apa yang
kudoakan—angin berdesir dari barat menyiurkan asinnya air laut. Kamu lagi-lagi
marah dengan kata-kataku dan menyelanya dengan kesimpulan logismu, “Laut hanya
kumpulan garam. Kaudapat bahkan dapat membuatnya kembali ketika memasak.”
“Aku tak berdoa.” Aku mengakui yang kurasa, kupikir, dan memang
sejujurnya aku lakukan. Aku memasang wajah mencibir seperti yang kaulakukan.
“Kenapa?” ujarmu dingin. “Sebab, menurutku hanya bodoh meminta hari berakhir.
Karena memang bukankah ia akan berakhir?” Kamu diam. Aku diam. Entah apa yang
kita pikirkan di balik diam kita masing-masing. Mungkin ada kesan dan arti berbeda.
Seolah-olah waktu sedang memberikan taruhan. Kamu, ataukah aku yang memulai
pembicaraan.
Aku tak pernah menang atas kesabaran daripada kamu. Jadilah kupandangi
wajahmu yang kian lesu. Rambutmu telah lisut. Jangan buka rahasia ini, tapi
ingin sekali aku menyusupkan jemari dan menyatakan semua akan baik-baik saja.
Entah pada akhirnya memang benar ataupun tidak. Akhirnya, kamu angkat bicara sebagai
laki-laki karismatik dalam bentuk lain. Setelah sekitar sepuluh kali—dalam
hitunganku—kamu memutar-mutar bola mata. Berpikir.
Menunggunya berpikir, aku memutuskan memunggungi cahaya mega yang
mulai seolah dikultuskan oleh burung-burung camar di luar pagar. Aku duduk di
kerangka jendela beranda kita. Tubuh mungilku langsung menggantung seperti
biasa. Sementara kamu, tetap memandangi mega tajam. Cahaya-cahayanya menyatu
dengan wajahmu yang mengeras; serius.
“Aku ingin mengumpulkan semua waktu.” Kamu sangat serius. Sampai aku
tidak lagi tega untuk menertawakannya. “Untuk apa?” Aku menjawab singkat. “Aku
ingin membuatnya membeku. Lalu hanya ada kamu dan aku; kita.” Aku terperanjat.
Aku tertawa. Kamu memandangiku heran dan tersinggung. Aku
mengernyitkan alis mata kananku sembari tersenyum lembut, “Sejak kapan kamu
menjadi tidak logis?” Kamu justru balik bertanya, “Sejak kapan kamu jadi
logis?” Kita hanya tertawa bersamaan
dalam nada yang tiba-tiba harmonis begitu saja.
Lagi-lagi, aku memandang wajahmu. Kemudian, kali ini kamu menangkap
basah diriku. Gugup, aku mencari celah menutupi ketertangkapbasahanku. “Kamu tahu,
aku punya sebuah kebiasaan buruk saat menyapu halaman.” Kamu mengernyit. “Aku
sering menuliskan sesuatu di lembaran-lembaran dedaun maple yang memerah itu.”
Kamu menarik nafas cukup berat, “Apa yang kautulis?”
“Aku menuliskan kisah kita di baliknya.” Aku tersenyum. “Lalu?” Aku
memasang wajah serius. “Aku membuangnya.” Kamu keheranan. “Kenapa?” Aku
terdiam. Dan ternyata kalimat minormu masih memiliki sambungan. “Aku pikir akan
kamu simpan. Ataupun jika ingin menulis, aku sudah berikan buku harian untukmu.
Menulislah di sana. Untukku, untuk dirimu, untuk kita.” Aku mendesah. “Itulah
beda antara kamu dan aku.” Kamu bingung. Aku segera melanjutkan kata-kataku
sebelum luncuran kalimat oleh bentuk bibirmu menguar. “Aku sengaja membuangnya.
Menjadikannya humus bagi pepohonan lain. Menyatu dengan bumi. Dan dari setiap
paragraf yang kutuliskan, ia berubah menjadi nutrisi bagi tumbuhan lain.
Bukankah menakjubkan bahwa seolah Tuhan mengizinkan mereka tumbuh di atas kisah
tentang kita?”
Kamu tersenyum tak percaya. “Dasar aneh.” Sebal! “Biar.” Kamu tertawa.
Dan sekali lagi, “Dasar aneh.” Dan sekali lagi, “Biar!” Aku membuang muka,
tersenyum. Akupun meyakini kamu tersenyum.
“Kamu...” Bicaramu terputus. “Apakah ini semua tentang menang-kalah?
Ya, percakapan kita hari ini bagimu. Kamu selalu mendebatku.” Giliranku
berpikir. Sejurus kemudian aku menjawab, “Tidak. Aku hanya ingin tahu isi
pikiranmu saja.”
“Berikan tanganmu.” Kamu bicara demikian sambil mengulurkan tanganmu
yang besar kepada tanganku yang mungil. “Untuk apa?” tanyaku bodoh. Kamu tidak
sabar dan mengenggam tanganku. Memandangi telapaknya sejurus kemudian matamu
unggun seolah memantulkan kemerlap lilin. Seolah kamu membayang adanya lilin di
atas permukaan tanganku yang basah oleh keringat karena gugup. Aku setengah
ragu melihat ke arah yang kamu lihat. Aku melihat yang kamu lihat. Lilin mungil
sedang menyala. Tetiba, kamu meniup kemerlapnya.
“Apakah kamu mematikannya?” ujarku nada kecewa. Tidak. Aku hanya
memindahkannya. Memindahkannya ke dalam hatimu. Ke dalam ingatanmu... tentang
aku.” Aku tersenyum kepadamu.
Kamu pun menghilang.
Di luar langit sudah membiru dan semilir angin berubah tajam. Tak lagi
hangat. Bukan alasan bagi air mataku yang tiba-tiba menetes.
Ilusiku berakhir. Aku tidak ingin sendirian.
Bandarlampung, 3-8-2014
Prima Helaubudi
Lagi-lagi prosa. Sebenarnya, entah kenapa aku seakan tidak sanggup
membuat puisi-puisi “tajam” yang biasanya kulakukan. Mungkin... Aku hanya bosan
:-)
Komentar
Posting Komentar