Sebab Aku Tidak Suka

Diam-diam aku mengasingkan diri setelah padatnya hari.
Diam-diam menduduki ayunan dan menyaksikan anak-anak kecil berlarian menyusuri lapangan berlapiskan tegel.
Diam-diam menyermin diri sekitar masih kanak-kanak.

Kata orang masa anak-anak adalah masa emas yang tidak boleh disia-siakan. Sebab pada masa kanak-kanak kecerdasan dapat dibangun. Aku pribadi susah sekali yang namanya kontak mata lama dengan orang lain walaupun dengan perempuan dari kecil. Bukan masalah jaga pandangan saja. Sebab mataku silinder sehingga tidak bisa fokus kalau menatap. Dan aku malu kalau dilihat balik. Langsung panik. Makanya kalau urusan maju presentasi, kalau bisa, yang lain saja. 

Paling enak memang menatap mata anak kecil. Kata pepatah jiwa seseorang bisa terlihat dari matanya. Dan kalau melihat anak kecil, jernih bagaikan air yang mengalir dari telaga kehidupan. Mata mereka masih sangat jujur, tulus, dan menyiratkan keingintahuan yang sedemikian nyata. Benar-benar menyejukkan hati. Sungguh berbeda acapkali melihat mata orang-orang dewasa. Isinya seolah menyuarakan barisan strategi, kesulitan hidup, sinisme, keliaran, dan ambisi. Itu tidak lebih karena banyaknya hal yang masuk dan menjadi pertimbangan dalam pikirannya.

Kalau kata kelebat informasi mengenai anak-anak, aku cuma tahu semacam: mengelus ubun-ubun dan mencium kening agar meningkatkan kecerdasan, banyak memuji agar terbangun percaya dirinya, dilibatkan dalam pekerjaan rumah agar menghargai orang dewasa, jangan membentak, jangan berbohong, jangan terlalu sering dibantu kala terjatuh dan harus disemangati bangkit sendiri, jangan mengucapkan kata "jangan", "tidak", dan beberapa hal kecil lainnya.

Soal implementasi, ehm, jangan tanya. Susah luar biasa.

Dan salah satu yang aku tidak suka ketika melihat keadaan TK... O Allah... Masih belum berubah jugakah? Masih juga anak yang aktif yang jadi pusat perhatian guru? Masih juga anak diam dipinggirkan dari pergaulan? Masih juga anak berkelakuan buruk langsung dicap buruk dan bukan diajak sebaliknya? Masih juga sering langsung menyalahkan tanpa melihat kebenaran lapangannya? Masih juga?!

Aku bukan orang yang paham dalam hal-hal pendidikan karena bukan dari FKIP. Tapi aku akan melihat dari sudut pandang pribadiku.

Oke, I open the case... Aku puas dapat perlakuan tidak menyenangkan sedari TK sampai SD alias bullying.

Actually, aku orang yang hiperaktif dulu. Banyak bertanya. "Kenapa langit itu biru?", "Kenapa warna daun hijau?", "Kenapa mobil berjalan?", "Kenapa kalau jalan kita ke depan?", dan pamungkasku sewaktu kelas 4 atau 5 SD, "Tuhan itu di mana?" Sedikit intermezo, makanya aku sering tertawa kalau mendengar orang baru bertanya hal ini. Teringat kecerewetan dahulu.

Saking cerewetnya, pertanyaanku sampai tidak berhenti kecuali ketemu waktu tidur. Bayangkan tuh. Tapi lingkunganku justru marah-marah padaku. Saking sering dimarahi, menangis, ok, jadilah aku diam. Aku tidak mau lagi bertanya kepada mereka. Biarlah aku cari jawabanku sendiri atau mencari orang yang bisa berbagi/diskusi denganku.

Ternyata, diam (jadi introvert) juga bukan solusi. Dan jadi agak bipolar sekarang.

Sewaktu TK--dan ini kelemahanku sampai sekarang--aku sangat perlu ekstra memaksa kalau sudah perkara matematika. Mungkin sudah tidak terhitung dari kecil sampai sekarang aku menangis karena tidak bisa. Makanya kalau sudah matematika aku selalu wanti-wanti kawanku yang bersedia mengajarkan, "Please, sabar banget sama aku, ya?"

Ingat dulu, kadang dikacangin, atau malah dimarahi karena tidak bisa. Aku sungguh tidak suka. Dibandingkan dengan juara kelas. Padahal yang juara kelas itu super jelek kalau soal melukis. Tapi melukis? Never get any appreciate from my teachers.

Kawan-kawanku dulu selalu jago berbohong. Ditambah pula aku orangnya super kikuk. Jalan lurus saja bisa jatuh. Jadilah sewaktu TK dan SD, kawan-kawanku sering menyandungku. Kalau dia perempuan sering didorong dari belakang. Kalau dia laki-laki sering disandung. Pernah dijambak teman satu bangku, ditendang, buku tulisku dicoret, dirobek, dan lain-lain. Sudah deh, tidak terhitung berapa kali tulang kering biru, bonyok, dan berdarah. Atau badan biru-biru dicubit pakai kuku.

Pulang sekolah aku jalan sendiri. Darah menetes-netes dari kulit. Aku keras kepala untuk diam saja. Kenapa? Guru lebih percaya kata kawan-kawanku bahwa aku jatuh sendiri! Ya sudah. Diam. Terima sajalah.

Tapi jangan harap kalau sudah buku catatan yang dilempar, dirobek, dan dicoret aku diam saja. Perkara satu ini aku bisa adu mulut.

Anak yang lain? Baik-baik saja. Anggaplah aku mendramatisir cerita.

Alhamdulillah, pada saat kelas 4 SD ada seorang kawan yang menolongku untuk membuka diri kembali. Sewaktu SD, dia satu-satunya sahabat dekatku. Preman dan jago berkelahi padahal perempuan. Salah satu titik baliknya adalah ketika dia "melabrak" kawan sebangkuku yang merobek buku dan mememarkan tulang keringku.

Tapi sudah begitu, aku masih juga diam ketika besoknya dijahati lagi. Sampai dia bilang, "Kalo lo nggak ngelawan, Prim, gw nggak mau jadi sahabat lo lagi!!!" Aku pusing tujuh keliling. Jadi, terpaksa--pada awalnya--sok galak. Sambil belajar pelan-pelan.

Sedikit bawa suku, aku dari kecil diajarkan masalah piil pesenggiri atau kalau dalam bahasa Indonesia harga diri. Aku merasa harga diri tergores karena selalu dibantu. Alhasil, ya, begitu. Jadilah aku yang sekarang.

Aku tidak suka.
Aku tidak suka.
Aku tidak suka.

Makanya ada bara-bara amarah yang bangkit ketika tadi aku melihat guru-guru demikian.

"Biarlah. Dia memang pendiam. Nggak perlu diambil hati atau capek-capek diajak ngobrol. Emang susah."
"Kok ngitung aja nggak bisa?"

Apa-apaan?

Ingat sebuah film yang kawanku putarkan karena sarat makna. Dia sampai menangis dibuatnya. And so do I. Sebuah kalimat sederhana namun bermakna,

"Every child is special..."

Karena setiap kita itu pasti punya kelebihan dan kekurangan. Jangan selalu masalah kekurangannya saja yang dibicarakan. Pasti ada kelebihan. Masalahnya, di mana. Itu yang harusnya ditemukan dan bantu.

Karena aku tidak suka. Maka aku sebisa mungkin jangan melakukannya.

Bandarlampung, 12-3-2014
Ini super dipoles pake ameliorasi. Apa yang terlintas di pikiranku kalimatnya sangat "sadis" untuk diungkapkan...
Sedikit tidak ada hubungannya sih... Tapi seorang ibu itu luar biasa... Apa lagi yang sanggup mengurus beberapa anak yang lahir selang setahun... Beuh... Itu pasti capek badai!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA