Isyarat Senja

Isyarat Senja

Langit terbatuk dan meneteskan air matanya.
Matahari mengantuk.
Beberapa kali ia menutup tubir bibirnya dengan awan mendung;
menunggu waktu tidur.

Pepohonan menyerupa dalam kabut bingar di antara dua pelupuk hari.
Manusia tua-muda, kakek-nenek, kakak-adik, dan suami-istri
merapatkan tubuh dalam ringkukan jaket yang kusut masai.

Selasar jalanan menjadi anggun karena berjingkat beberapa kali
menghindari keruhnya debu yang terbasuh.
Kendaraan berbulir peluh di lapangan parkir yang riuh
karena suara jeritan peluit; lagi dan lagi.

Hingga jam enam—kata jam tanganmu—
hanya makan sore dan seteguk teh senja
: terselip dalam bilah geligi pembicaraan kita.

Kita berbicara tentang ekonomi, hukum, alam, gravitasi,
aku-kamu, perjumpaan, dan perpisahan.
Tanpa pernah kautahu bahwa aku memandangi sendu
dalam sayup-sayup hampiran tempias lelampu kala itu.

Kita hanya menangkupkan malu.

Terkadang mendekatkan tubuh saat seiya sekata.
Terkadang mengernyitkan dahi saat setidak sekata.

Apa yang ditunggu dari waktu?
Sedemikian singkat dan dapat diringkas ketika dua hati saling menyapa.
Dengarlah deraian angin
—yang membawa bisik sampai jauh.

Bandarlampung, 18-3-2014
Pukul 2.22 WIB
Prima Helaubudi

***


Kejadian kemarin… Berkenalan dengan diksi baru… Kata beliau aneh… Tapi aku yang buat dari iseng justru jadi suka beneran… Bosan dengan diksi biasa… Sudah, jadikan saja… Aneh, aneh deh, jadi… *emang kapan aku nggak aneh? pemikiran hibrida gini… :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA