Ketika Diri Belum Sanggup

Banyak ketidakpastian di dunia ini. Mencari yang pasti saja terkadang sudah ribet bukan main. Apalagi memang main-main? Setiap kita pada akhirnya kembali pada satu ruas hulu: Apakah kita memiliki komitmen?

Di mata perkuliahan Leadeship yang aku ikuti cukup seksama--karena suka--bahwa tujuan yang efektif harus diikuti komitmen yang kuat. Tentunya, kita butuh menganalisis diri sendiri. Jangan sampai tujuan kita sepah. Sudah bersusah-susah, namun salah.

Jika menilik lansiran status Facebook-ku, aku mengingat mengetik beberapa status yang bermuara bahwa paradigma adalah akar dari segala perbuatan kita. Jadi, kalau paradigma salah, ya sudah.

Apa yang harus kita lakukan saat tidak berkomitmen?

Kalau kamu tanya aku pribadi--dan kamu kenal aku di dunia nyata--aku akan menjawab: memaksakan diri. Mari kita gunakan kaidah ilmu humaniora bahwa sebagian kebenaran ada pada orang lain--walaupun dalam hal prinsip, aku menafikkan kaidah ini karena dibutuhkannya ketegasan--. Kawan, terkadang kita buta terhadap diri kita sendiri! Sebut saja potensi, prinsip, pengalaman, sifat, kepribadian, dan lain sebagainya. Sehingga mendengarkan dan mengikuti paksaan orang lain adakalanya benar. Apalagi yang diarahkan adalah pada hal-hal yang baik. Laksana obat dokter, telan saja dengan (super)(di-)ikhlas(-ikhlas-kan).

Adakalanya juga kita tolak.

Kapan?

Saat semua menjadi tak tertahankan.

Kawan, kawan-kawanmu, orang tuamu, kolegamu, dan orang-orang itu memang penting. Tapi menjadi seperti apa dirimu itu yang penting. Kebanyakan orang lupa hal ini. Demikian pula diriku di awal-awal kehidupanku. Kamu mendapatkan suatu kehendak untuk memilih jadi apa dirimu.

Toh, pada akhirnya apa yang kaulakukan akan berteriak melebihi kapasitas suara dan gerakmu. Mungkin kamu bisa iri total dengan mereka-mereka yang punya beragam kenikmatan, berani ini-itu, dan sebagainya. Tapi coba renungkan, ketika hal tersebut, yang dalam kadar pemikiranmu tidak kausanggupi, tidak kausukai, tak dapat dipaksakan, justru kaupaksa-paksakan, itu merusak. Dan kita pun tak bisa menjamin apakah kita bisa lulus akan godaannya.

Hanya ada dua kemungkinan: ya atau tidak. Bisa jadi kita memang sebenarnya punya level lebih dibandingkan yang kita irikan. Hanya saja, ruang kita dipersempit. Atau bisa jadi kita lebih sepele dari yang kita irikan. Sehingga dipaksa juga takkan sanggup.

Sebenarnya di penghujung November lalu, aku hampir kehilangan keyakinan 'halus' tentang kalimat di bawah ini:

"Berlian akan tetap menjadi berlian meskipun di dalam lumpur."

No matter what, apa pun dan di mana pun we have our own style! Dan ini adalah kelegaan yang dikaruniakan Sang Pencipta kepada kita.

Kita sanggup atau tidak, pada akhirnya kembali pada diri kita untuk menakarnya. Mungkin kalian tidak sependapat denganku,-- namun aku punya latar belakang kehidupan yang agak panjang yang mungkin bisa dibahas panjang lebar di dunia nyata, tidak di sini--orang sering terjebak dengan kuantitas (jumlah) perbuatan. Tapi tidak pernah risau dengan kualitas perbuatan.

Sanggup atau tidak sanggup it depends on you! Orang belum pernah jadi kamu. Dan kamu juga belum pernah jadi orang lain.

Bandarlampung, 17-12-2013
Menyaksikan dari jauh dan mengomparasikan diri diam-diam. Terpekur...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA