Guris Keramaian
Guris
Keramaian
Suatu hari, aku dan kedua kawanku
pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka sedang mengalami suatu masalah di kehidupan
keluarga mereka. Dan seperti biasa, aku jadi pusat diseret ke mana-mana karena
sikapku yang easygoing, diajak ke
mana-mana ikut.
Sewaktu di parkiran kampus, aku
menunggu mereka menyusun rencana—yang jelas juga aku membantu—masalah hendak
pergi ke mana. Mereka adalah anak kosan yang nota benenya sangat irit jika
sehabis mata kuliah kami yang semester ini bersisa dua mata kuliah wajib dan
satu pilihan ini mereka pulang. Akan tetapi, mereka menglaim bahwa mereka
memiliki masalah-masalah tersendiri di rumahnya. Namanya orang lagi ada
masalah, ya, kalau mereka tidak mau cerita aku sangat maklumi. Sebab, aku juga
tidak suka didesak-desak kalau ada masalah. Lagipula, menyembunyikan keluhan,
bersabar, dan tidak heboh menceritakan musibah merupakan hal yang patut
diutamakan.
Lama sekitar setengah jam aku menunggu
mereka galau—sebenarnya aku juga ada kegalauan juga—sambil mengutak-atik handphone mencari info-info bagus lewat
media sosialku, akhirnya mereka menentukan pilihan. Aku jelas sebagai nebengers, ya, ikut-ikut saja.
Aku sebal sebenarnya kalau disuruh
berkeliling yang ada bau-bau beli-beli kebutuhan wanita seperti sepatu, baju, aksesoris,
dan/atau bahkan yang serba cuma lihat-lihat saja. Ada tiga tempat yang malas
total aku datangi, yaitu salon, rumah sakit, dan pasar. Tapi okelah. Alhasil
aku menemani mereka beli sepatu dan galau mau atau tidak membeli tas dan replika
anime.
Sebelum pulang, kami makan ringan.
Mereka hanya menyenangkanku sebenarnya. Sebab aku kelihatan badmood. Sebenarnya karena aku tidak
nyaman beli-beli begitu. Berhubung hari Senin, ternyata salah satu kawanku
sedang berpuasa. Dia menglaim dia baik-baik saja kami makan di hadapannya. Kami
meminta maaf, kemudian makan. Di akhir, aku memakan sebuah es krim yang kubagi
dengan kawanku. Dan ternyata, lagi-lagi kebodohan, kawanku yang sedang berpuasa
itu suka sekali dengan es krim.
Sembari menunggu es krimku habis, kami
merencanakan kegiatan selanjutnya. Kawanku langsung pulang ke Seputih Banyak.
Sementara kawanku yang sedang berpuasa ini memutuskan mampir ke rumah untuk
shalat dzuhur.
Wajah kawanku yang sedang berpuasa mellow sekali. Lalu, aku berkelakar,
“Awas kamu, Sus. Nanti jangan-jangan pas buka puasa aku disuruh nemenin beli es.” Kawanku tersebut
menjawab, “Nggak kok, Prim.” Dia
tersenyum manis.
Kami berpisah. sesampainya di rumah
orang tuaku dan shalat. Kawanku merebahkan badannya di ranjang kamarku bersebelahan
denganku. Dia bercerita banyak tentang masalahnya. Sebagai titik balik, aku
menceritakan masalah-masalahku karena pancingannya. Aku menceritakannya dengan
seceria mungkin, sekanak-kanak mungkin. Dia cuma menggumam dan kaget.
Di sela keheningan, kawanku memanggil
namaku yang sedang menerawang jauh melihat plafon-plafon kamar yang mulai
lapuk. “Prim?”
“Hem?” ujarku sambil menggeserkan
kepalaku yang lelah.
Kawanku memasang wajah merajuk,
“Temani aku beli es, yuk, nanti?”
“Nah, ‘kan?”
“Ayolah…” ujarnya lebih merajuk lagi.
Aduh, aku lemah kalau ada orang merajuk seperti ini. Apalagi ditambah tatapan
imut nan menggoda.
Aku memutar bola mataku dengan gaya
yang benar-benar bosan, “Ya, ya…”
Kawanku mengenggam lenganku yang
bersebelahan dengan lengannya sambil tertawa ringan.
Singkat cerita, memasuki waktu magrib,
kusuguhkan segelas teh kepada kawanku. Seusai shalat magrib—dan izin kepada
ibuku—, kami meluncur ke pusat perbelanjaan tadi. Ternyata yang menjual es krim
tersebut tutup. Aku melihat kekecewaan di wajah kawanku ini.
“Udah
ah. Jangan pasang wajah cemberut kayak gitu. Jelek tau! Ayok ke… (aku
berpikir) kita ke pusat perbelanjaan lain aja.”
Kuseret kawanku itu. Dan kami sampai
di tempat perbelanjaan lain. Dia mendapatkan es krim yang dia inginkan. Dan
memakannya dengan riang gembira. Kawan, jangan remehkan pengorbanan seorang
ayah yang menuruti ibu kalian jika sedang ngidam. Subhanallaah, itu nggak enak.
Aku sedang galau sih, tapi seperti
dalam shirah, melihat orang berbahagia itu menyenangkan. Makanya para sahabat
selalu mendahulukan sahabatnya yang lain. Belum lagi, kawanku membagi es
krimnya. Aduh, romantis sekali satu es krim berdua pakai disuapi pula.
Di tengah penghabisan es krim ,
kawanku—yang belum pernah ke pusat perbelanjaan itu sambil memperhatikan
lamat-lamat arsitekturnya—mengatakan suatu kalimat yang mengguris.
“Prim?”
“Hem?”
“Aku suka takut lho ngeliat kerumunan orang kayak gini.”
“Kenapa, Sus?”
“Menurutku, seperti ini udah rame banget. Bayangin kita di Padang Mahsyar
nanti saat semua manusia berkumpul.”
Aku tercekat. Melihat sekeliling,
sedikit menerawang, dan mengangguk kepadanya.
“Prim, kayak gini belum ada apa-apanya di Padang Mahsyar. Allah akan
mengumpulkan kita semua. Nggak ada
yang mustahil buatNya. Bayangin aja.
Pasti mengerikan banget.”
“Iya. Bagi Allah, mengumpulkan semua
orang dari zaman Nabi Adam sampai kita, generasi akhir zaman, itu sangat
sepele, Sus.” Aku berkata sambil menjentikkan jari memberikan suatu penegasan
lewat gesture bahwa itu memang sepele
sekali.
“Apa nanti kamu akan bersebelahan
denganku, ya, Prima?”
“Wallahu ‘alam, Sus.”
“Nggak
sempet ‘kan, ya, melihat kiri-kanan?”
Aku mengangguk dalam tundukkan.
“Iya, iya. Gimana, ya, kabar orang
kafir?”
Aku menjawab, “Nanti kita akan tenggelam
dalam keringat kita masing-masing, Sus. Tidak terkecuali. Bayangkan, Sus,
sekarang di dunia, kita tidak perlulah ke bioskop. Nanti di Padang Mahsyar,
Allah akan siapkan layar super besar yang menampilkan segala perbuatan kita di
dunia. Segala maksiat bisa ditampilkan dengan detail. Saking lamanya, Sus,
dalam hadits dikatakan bahwa orang kafir meminta agar Allah menyegerakan
perhitungan mereka. Mereka tidak merasa keberatan masuk neraka. Tapi pas masuk
neraka dalam Alquran dikatakan mereka ngomong sama Malaikat Malik biar mati
saja. Dan mereka juga meminta keringanan kepada Allah atas siksa mereka.
Padahal, mereka yang di Padang Mahsyar minta disegerakan masuk neraka. Tidakkah
kita lihat? Bahkan di akhirat saja orang kafir, umumnya manusia, masih sempat saja
membantah. Na’udzuubillaah.”
Kawanku memasang wajah kaget. “Mereka
minta neraka, Prim?”
Aku mengangguk.
“Iya, sih, minta cepet. Tapi neraka?
Disentuh sedikit saja apa kita tidak mendidih ini otak?”
“Makanya kubilang. Di akhirat aja manusia masih banyak bantah.”
Kami terdiam sejenak. Lalu, aku
melanjutkan lagi sambil menundukkan kepala, “Gimana ngomongnya, ya? Harusnya kita takut dan memperbanyak amal. Tapi
aku sendiri sering sudah tahu ini tapi maksiat jalan. Betapa beraninya aku?”
Kami tersenyum rawan. Sepintas, aku
menerawang lagi; terguris keramaian yang tiba-tiba menjadi sangat mencekam.
Sesampainya di rumah dan ketika kami
berpisah, aku memikirkan apa yang kukatakan kepada kawanku. Rasanya ingin
sekali kutendang diriku sendiri jika memungkinkan. Aku memang sangat sanguinis. Kadang berkata-kata tanpa
(terlalu) dipikir. Kata-kataku sendiri terngiang di telingaku. Dan menggetarkan
nyaliku sendiri.
Wahai keramaian! Kamu mengguris
hatiku…
Bandarlampung, 12-12-2013
Kejadian: 9-12-2013
Komentar
Posting Komentar