Sebut Saja Maria

Sebut Saja Maria

Tetiba telah terbilang seminggu aku memikirkan dia.

Aku memasuki ruangan putih besar itu bersama kawan setimku kala itu. Dan kami menerima materi menarik yang lama-kelamaan menjenuhkan. Lalu di penghujung hari, pemateri meminta kami untuk tampil di depan kelompok lainnya satu per satu. Di sanalah aku bertemu dia.

Perempuan itu berambut keriting bergelombang, memiliki gurat-gurat keras nan tegas di wajahnya, tapi diimbangi dengan wajah kekanakkan yang sangat purna. Intonasi suaranya takkan kulupa. D ia mengucapkan salam dengan tatapan yakin dengan menyapukan pandangannya kepada kami, suara yang khas, dan menggetarkan hatiku seketika.

Sungguh, aku ingin tahu siapa dia. Di hari terakhir kami mengikuti pelatihan, aku putus asa untuk mengenalnya. Ya, kelemahanku. Aku tidak sanggup mengucapkan kalimat perkenalan. Melangkah satu-satu ke arahnya pun aku tak mampu. Dengan setengah menahan rasa maluku, aku meminta kawanku yang luar biasa cair untuk menemuinya, menanyakan namanya, dan meminta nomor handphone miliknya.

"Apa? Lo minta gua nanyain dia? Gila. Sejak kapan prima mau kenalan duluan sama orang? Padahal 'kan lo cerewet? Tanyain sendiri ngape?" Begitu reaksi kawanku. Aku memohon dan hanya menunjukkan wajah masam ke arahnya. Memintanya saja sudah menghancurkan sebagian harga diriku.

Kawanku datang dengan membawa sebaris nama dan nomor telepon di handphone-nya. Aku lupa siapa namanya. Mungkin...  Ah, sebut saja Maria.

Degupan jantungku tidak teratur saat aku hendak mengetik barisan kata basa-basi untuk memulai percakapan. Berulang kali kuketik dan hapus kata-kata dipesan handphone-ku. Hingga akhirnya, aku berhasil mengirimkan sebaris kalimat canggung gaya anak SMA kala itu.

Dia membalas singkat, "Iya, benar. Siapa ini?" Lalu kujelaskan bahwa aku adalah salah satu peserta yang meminta kawanku untuk meminta nama dan nomor handphone-nya lengkap dengan ciri-ciriku.

Dia menjawab lagi, "Oh, kamu. Iya. Kamu tahu? Puji Tuhan. Aku ingin sekali berkenalan denganmu juga. Hanya saja, jarak kelompok kita jauh.Jadi tidak sempat."

Entah itu hanya basa-basi, aku tersenyum di kamar. Dan melanjutkan percakapan kami.

Suatu hari, aku bertanya masalah sekolah kepada Maria. Dia murid teladan di sekolahnya. Maka dari itu, dia dikirim ke pelatihan itu dan bertemu denganku. Berlanjut, aku bertanya masalah kuliah dengannya. Dia memintaku menceritakan rencanaku terlebih dahulu. Dan aku pun menceritakannya. Lalu, dia menjawab,

"Prima, ayahku hanyalah seorang tukang becak. Aku sudah sangat bersyukur kepada Tuhan, Dia mau menolong ayahku untuk menyekolahkanku seperti sekarang. Aku tidak akan berkuliah setelah lulus, Prima. Aku akan bersegera membantu ayahku bekerja. Kasihan beliau memeras keringat untuk kami. Dan aku ingin berbakti sebagai anak dengan membantunya. Jika Tuhan memberkati, aku akan kuliah suatu saat nanti."

Aku berbalas pesan sedari jam tujuh malam dan ditutup dengan kalimat satire semacam itu pada jam sebelas malamnya. Dan aku? Aku merasa sangat bersalah membiarkan Maria tahu rencana-rencanaku. Aku tak pernah tahu itu diam-diam melukai hatinya. Dan kemudian hari, aku pun mendapat perlakuan serupa dari beberapa orang. Ternyata sangat tidak enak.

Maka seorang Maria, dia mengajarkanku untuk menggunakan kata-kata yang paling anggun dan elegan. Dia mengajarkanku untuk tidak mengumbar rencana bahkan seberapa dekatnya pun dengan kenyataan. Dan dia mengajarkanku untuk tidak menyerah, tetap berharap bahkan di tempat yang paling tidak kusukai. Karena darinya kuingat betapa banyak di luar sana yang rela menukar seluruh milikinya untuk satu nikmat yang Allah berikan kepada kita dan kita anggap remeh.

Bagaimana kabar Maria sekarang? Aku juga tidak tahu. Sejak ada suatu masalah, aku harus menjual handphone kesayanganku dahulu. Di sana terdapat nomor Maria dan orang-orang inspiratif lainnya yang lupa kupindahkan. Kami tak pernah saling mengirim pesan lagi. Namun, ya, seorang Maria telah mengajarkanku.

Terima kasih kepada Allah yang membuatku tertarik dan dapat berkenalan dengan sesosok perempuan yang kulupa namanya hingga kusebut "Maria" dalam hati.

Bandar Lampung, 15 Oktober 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA